Cinta Untuk Hasna

Dea Ayusafi
Chapter #4

Sebuah Undangan

Pagi ini seperti biasanya gadis cantik itu sudah rapi dan siap berangkat ke galeri. Dengan baju kemeja merah muda yang dipadukan celana baggy berwarna putih. Lengkap dengan kerudung berwarna senada. Siapa pun yang melihat penampilannya sekarang. Pasti tidak akan pernah menduga jika ada sesuatu yang mengganjal di hatinya.

Jika Hasna boleh jujur, jauh di dasar lubuk hatinya. Ia belum bisa menerima sepenuhnya kenyataan bahwa hanya tinggal tiga minggu pernikahan Farhan dan Nayya akan segera berlangsung.

Farhan adalah laki-laki pertama yang berhasil mencuri ruang di hatinya. Bertahun-tahun lamanya ia menyimpan nama laki-laki itu di dalam diam. Dan tidak bosan-bosan menyelipkannya dalam bait-bait doa. Terkadang di saat-saat sendiri, Hasna sering kali menyesali waktu-waktu yang telah berlalu.

Seandainya ia berani jujur atas perasaannya lebih awal. Apakah mungkin jalan ceritanya akan berbeda? Apakah mungkin masih ada harapan untuk mendapatkan balasan cinta? Dan apakah mungkin ia bisa mendapatkan hati pria itu seutuhnya?

Semakin dipikirkan, semakin membuat Hasna gundah gulana. Gadis itu menghela napas panjang sebelum akhirnya membuka pintu mobil, lalu duduk di kursi pengemudi. Ia memegang erat stir kemudi. Sekali lagi, ia mencoba menyakinkan dirinya sendiri bahwa rencana Allah jauh lebih baik dari seindah apa pun rencana miliknya.

Setelah bergelut tiga puluh menit di tengah hiruk-pikuknya jalan raya, akhirnya Hasna tiba di galeri. Tampak luar galerinya sudah tampak bersih dan asri. Bismillah, gumam Hasna dalam hati sambil mendorong pintu kaca galerinya.

“Asalamualaikum,“ ucap Hasna sembari melangkahkan kaki masuk ke dalam.

“Walaikumsalam.”

Reni lebih dulu menjawab salam Hasna. Sebelum akhirnya diikuti oleh beberapa pegawai yang ada di sana. Dan juga, satu suara yang tidak asing di telinga Hasna. Suara yang pertama kali ia dengar beberapa hari terakhir.

Hasna mengedarkan pandangan. Mata cokelatnya menangkap siluet pemuda berkemeja biru yang beranjak dari posisi duduknya. Seketika Hasna kaget akan kehadiran pria itu. Jangan bilang sedari tadi Raafi sudah menunggu kedatangannya?

“Kamu sudah ditungguin Mas Raafi dari tadi,” bisik Reni yang sudah berdiri di samping Hasna.

Hasna melempar senyum canggung pada Raafi. Lalu menghampiri Raafi yang menatapnya dengan tatapan hangat. Sedangkan para pegawai lainnya kembali sibuk dengan urusan masing-masing. Kecuali Reni yang memilih duduk tidak jauh dari keberadaan Hasna dan Raafi. Pura-pura sibuk merapikan rangkaian bunga.

“Silahkan duduk,” kata Hasna sembari mengambil posisi duduk di hadapan Raafi.

Setelah Hasna duduk di tempatnya, Raafi kembali dengan posisinya semula. “Sebelumnya maaf jika kehadiranku sekarang menganggu waktumu.”

“Nggak kok, kamu sama sekali nggak menganggu waktu saya. Tapi maaf, ada urusan apa kamu mencari saya?” tanya Hasna hati-hati.

Dengan gerakan cepat Raafi mengeluarkan selembar kertas undangan dari dalam ransel miliknya. “Ini undangan resepsi pernikahan kakakku. Aku berharap kamu berkenan menghadirinya. Sebagai seorang tamu.”

“Oh, terima kasih atas undangannya. Insyaallah saya akan datang kalau nggak ada halangan.” Hasna mengmbil alih undangan tersebut dari Raafi.

Tiba-tiba Raafi berkata dengan suara pelan. Ia khawatir kalau-kalau pegawai di sana akan mendengar ucapannya. “Maaf kalau ini terdengar lucu. Boleh nggak aku meminta nomor whatsapp-mu?”

“Untuk apa?” tanya Hasna dengan suara normal. Membuat Raafi sedikit kaget.

“Aku nggak berniat jahat kok. Aku hanya ingin berteman denganmu.”

Melihat eskpresi wajah Raafi yang mendadak was-was. Hasna tak bisa menahan diri untuk tidak tersenyum. Perempuan itu tidak pernah tahu. Bagi seorang Raafi, ini kali pertama baginya meminta nomor ponsel seorang perempuan. Apalagi orang itu adalah Hasna. Perempuan yang ingin ia kenal lebih dari sekadar teman biasa.

“Ini nomor WhatsApp saya.” Hasna mengeluarkan ponsel dan menunjukkan nomor kontak miliknya.

“Terima kasih.” Dengan semangat Raafi menyalin nomor Hasna di ponselnya dan langsung mengirim pesan alih-alih tes kontak.

“Ok, baiklah, sudah saya simpan. Namamu Raafi, kan?” tanya Hasna memastikan nama pria itu sambil mengotak-atik ponselnya, tanpa memandang lawan bicara.

“Iya, namaku Raafi. Kalau begitu aku langsung pamit, ya. Mau lanjut mengantar undangan.” Raafi beranjak dari tempat duduknya.

Hasna mengangkat wajah dan mendapati Raafi sudah berdiri. Dengan gerakan cepat ia pun berdiri. Melirik air mineral cup yang disusun rapi di atas meja. “Nggak minum dulu?”

Raafi menolak tawaran Hasna. “Terima kasih. Mungkin lain kali aku bakalan traktir kamu minum kopi. Itu, sih, kalau kamunya suka kopi.”

Lihat selengkapnya