Cinta Untuk Hasna

Dea Ayusafi
Chapter #16

Awal Perjalanan

Hasna memandang nanar untuk terakhir kali bingkai foto dalam genggamannya. Tiga anak manusia yang masih memakai seragam putih abu-abu. Perempuan tersebut mengulas senyum kecil, lalu memasukkan benda kecil itu ke dalam kotak bewarna cokelat. Menjadi satu dengan barang pengembalian Farhan.

Ia menghela napas panjang. Besok adalah hari pernikahannya dengan Raafi. Semuanya masih terasa seperti mimpi. Dengan gerakan cepat, Hasna menutup kotak itu dan hendak menyimpannya di gudang. Namun, langkah kakinya terhenti, kala seseorang mengetuk pintu kamarnya. Secepat kilat ia menyembunyikan kotak itu di kolong tempat tidur. 

“Hasna!” Seseorang memanggilnya. Hasna yakin seribu persen, itu adalah suara sahabatnya.

“Iya? Tunggu sebentar.” Hasna berjalan mendekat ke pintu kamar lalu menarik kenop pintu ke dalam.

Isti tersenyum hangat. Tanpa menunggu aba-aba, perempuan itu langsung memeluk tubuh Hasna dengan erat. Membuat Hasna agak kesulitan mengatur napas dan tawanya.

“Isti aku nggak bisa napas!” teriak Hasna sekuat tenaga.

“Biarin! Aku nggak mau kehilangan sahabatku yang besok bakal jadi milik orang lain!” Isti memperat pelukannya, namun seperdetik kemudian ia melepaskan pelukan itu. 

Tampak Hasna tengah menyuplai oksigen sebanyak-banyaknya. Sedangkan Isti asyik tertawa melihat pipi Hasna yang merah merona seperti tomat. 

“Kapan kamu pulang?” tanya Hasna kemudian. Ia mengajak Isti duduk di atas sofa yang ada di kamarnya. 

“Tadi pagi. Dan asal kamu tahu, dari bandara aku langsung ke sini!” jawab Isti antusias. 

Hasna kaget. “Serius?”

Isti mencubit pipi Hasna gemas. “Jangan bilang kamu berharap aku benaran nggak bisa datang, ya?”

Hasna tertawa. “Nggak kok. Serius. Aku senang kamu pulang Isti.”

Isti memegang telapak tangan Hasna tiba-tiba. “Maaf, ya, Hasna.”

Melihat raut wajah Isti yang berubah sendu membuat Hasna bertanya-tanya. “Maaf untuk apa? Kamu kentut? Mana? Kok nggak ada baunya?”

“Maaf soal Mas Farhan.” Isti melanjutkan. 

Mendengar nama Farhan disebut-sebut, membuat Isti menarik tangannya. “Aku sudah melupakan masalahku dengan mas Farhan. Juga, perasaanku. Semuanya sudah berakhir. Kamu nggak perlu minta maaf untuk kesalahan yang nggak kamu lakukan.”

Isti kembali memeluk Hasna, kali ini tidak cukup erat. “Sebenarnya aku yang menyuruh Mas Farhan untuk ikut taaruf online. Aku benar-benar sahabat yang payah. Sahabat yang tidak bisa membaca perasaan sahabatnya sendiri.”

Hasna melepaskan pelukan Isti. Menatap perempuan itu dengan tatapan yang sulit diartikan. “Kamu tahu siapa yang lebih payah?”

“Siapa?” tanya Isti. 

“Aku.” Hasna beranjak dari posisinya. “Aku yang nggak pernah jujur tentang perasaanku sejak awal. Meskipun begitu, nggak ada hal yang harus aku sesali sekarang.”

“Aku sangat senang mendengarnya.” Isti segera beranjak dan menyusul Hasna yang berdiri di dekat jendela. 

Hasna tersenyum hangat. “Bagaimana kabar Nayya? Dia baik-baik saja, kan?”

“Seharusnya begitu. Mas Farhan yang bodoh. Hanya gara-gara Nayya membantu temannya mencari pekerjaan. Dia malah mikir istrinya selingkuh dan malah meragukan anak yang dikandung Nayya.” Isti tampak sebal menceritakan hal tersebut. 

“Cemburu itu tanda cinta,” komentar Hasna. 

“Cemburu yang berlebihan juga nggak baik.” Isti menambahkan. “Ngomong-ngomong bagaimana perasaanmu sekarang? Besok bakal jadi istri orang loh!”

Lihat selengkapnya