Cinta untuk Rumi

Jee Luvina
Chapter #1

Suka Cita Menjelang Pernikahan #1

Di pinggir jalan yang cukup ramai, sebuah toko florist kecil berdiri dengan manis. Di depan toko, papan nama bertuliskan "Syifa Florist" dengan huruf-huruf yang elegan, dikelilingi oleh berbagai tanaman hias berwarna-warni yang menghiasi area depan toko.

Jendela-jendela toko memperlihatkan rangkaian bunga yang indah, mencuri perhatian setiap orang yang lewat. Di dalam toko, suasana harum dan tenang menyelimuti ruangan, dengan dinding berwarna lembut dan meja kerja kayu yang dipenuhi alat-alat merangkai bunga, pita-pita berwarna, dan berbagai jenis bunga segar.

Syifa, dengan kerudung yang rapi dan wajah yang fokus, sedang asyik merangkai bunga buket untuk pernikahan pelanggannya. Tangannya lincah mengatur bunga-bunga mawar putih, baby's breath, dan eucalyptus, menciptakan harmoni warna dan bentuk yang sempurna. Wajahnya tampak tenang, tetapi matanya memancarkan kebahagiaan, seolah merasakan kebahagiaan yang akan datang dari pernikahan pelanggannya.

Tiba-tiba, pintu toko terbuka, dan suara lonceng kecil berbunyi. Rumi, dengan senyum lebar di wajahnya, melangkah masuk. Namun, langkahnya terhenti sejenak ketika pandangannya tertuju pada Syifa. Matanya sedikit melebar, kaget melihat Syifa yang kini mengenakan kerudung. Wajahnya menampilkan campuran perasaan terharu dan bahagia.

"Syifa, kamu sudah pakai kerudung?" tanyanya dengan suara pelan, penuh keheranan. "Bukannya kamu bilang mau mulai pakai kerudung di hari pernikahan?"

Syifa tersenyum lembut, menyadari ekspresi Rumi. "Iya, Bang. Tadinya memang Syifa ingin mulai di hari pernikahan, tapi Syifa pikir perlu latihan dari sekarang. Biar nanti terbiasa dan lebih mantap."

Rumi tersenyum lebar, penuh kekaguman. "Kamu sangat cantik, Syifa. Abang sampai pangling. Serius, kamu makin terlihat anggun dengan kerudung ini."

Syifa tersipu, sedikit tersenyum mendengar pujian Rumi. "Makasih ya, Bang. Syifa senang kalau Abang suka."

Setelah momen itu, Rumi melanjutkan niatnya untuk mengajak Syifa makan siang bersama.

"Sayang, ehh udah boleh manggil sayang belum sih?” Niat mengajak makan siang jadi terpotong ketika Rumi menyadari ia memanggil Syifa dengan sebutan sayang untuk pertama kalinya.

Pipi Syifa memerah. “Ih Bang Rumi apaan siihhh… Gak, gak boleeehh. Nanti aja kalau udah nikah. Malu tahu, Baang.”

Rumi tersenyum dan senang sekali melihat ekspresi Syifa yang malu-malu tapi mau itu. Rumi mengangguk. “Iyaaa.. iyaaa saaa…. Eh Syifa.. Putri Cantik.”

“Oh iya, gimana kalau kita makan siang bareng? Ada yang mau Abang diskusikan soal dokumen nikah buat daftar ke KUA," katanya sambil mendekati Syifa.

Syifa mengangguk, senyum lembut masih menghiasi wajahnya. "Boleh, Bang. Syifa selesaikan buket ini dulu. Lima menit lagi selesai."

Setelah Syifa menyelesaikan pekerjaannya, Rumi menghampiri Syifa, dan mereka berjalan bersama menuju sebuah tempat makan yang tidak jauh dari florist. Tempat makan itu adalah sebuah kafe kecil yang cozy, dengan menu makanan sehat dan suasana yang nyaman. Mereka memilih meja di dekat jendela, menghadap jalanan yang ramai.

Setelah memesan makanan, Rumi membuka ponselnya dan mulai memeriksa dokumen apa saja yang harus mereka persiapkan untuk pendaftaran nikah.

"Kita cek di Google, ya," katanya sambil tersenyum ke Syifa.

Syifa mulai membuat ceklist. "KTP, sudah ada. Kartu keluarga, ada. Surat pengantar dari kelurahan, itu yang harus kita urus besok. Oh iya ini sebelum ke kelurahan harus ke RT dan RW dulu nih Bang, setelah itu juga perlu foto ke studio. Kayaknya ini gak bisa izin setengah hari ngantor deh Bang. Perlu seharian, Abang izin ke kantor atau nanti ngambil cuti?" Kata Syifa sambil menulis di buku catatannya.

“Hmmm kalau gitu besok pulang kerja kita foto ke studio, lusa baru ngurus seharian untuk dokumennya yah.” Balas Rumi sambil memperhatikan apa yang Syifa catat.

Setelah beberapa saat, ketika mereka sudah selesai dengan urusan dokumen, Syifa memandang Rumi dengan ragu-ragu. "Bang, Syifa masih penasaran, Abang belum jawab pertanyaan Syifa waktu di villa Lembang dulu. Bagaimana sebenarnya almarhum ayah mengenalkan Abang tentang Syifa?"

Rumi terdiam sejenak, senyumnya perlahan memudar. "Oh iyaaa.. Makasih yaa putri cantik udah ingetin Abang. Maaf ya, Abang belum sempat cerita semuanya. Tapi sekarang, Abang akan ceritakan semuanya. Tapi kayaknya, waktunya gak cukup deh. Gimana kalau nanti aja?" Rumi melirik ke arah Syifa.

“Ihhh apaan sih Bang Rumi, itu namanya makin bikin Syifa penasaran. Yaudah, dipersingkat aja ceritanya gapapa.” Ungkap Syifa yang mulai cemberut.

Rumi tersenyum melihat Syifa yang sudah tidak sabar ingin mendengarkan cerita.

Rumi memulai ceritanya dengan nada tenang, matanya sedikit menerawang seolah mengingat masa lalu yang jauh. "Dulu itu, setelah selesai S2 di Swiss, Abang memang memutuskan untuk pulang. Kangen... pengen ngumpul lagi sama Papa," ujarnya sambil tersenyum tipis.

Syifa, yang mendengar pengakuan itu, terlihat kaget. "Abang pernah tinggal di Swiss? Berapa lama?" tanyanya, matanya membulat penuh rasa ingin tahu.

Rumi mengangguk. "Kurang lebih lima tahun, Syifa."

Syifa tampak terkejut, tapi senyumnya perlahan berkembang. "Wah, Syifa nggak nyangka Abang pernah tinggal sejauh itu. Syifa pikir Abang selama ini hanya di sini."

“Ya, makanya kita ketemunya gak dari dulu ya, karena Abang gak di sini.” Mereka pun tertawa.

Rumi tersenyum kembali, sedikit lebih lebar. "Sebenernya, setelah lulus S1, Abang udah pengen banget mulai usaha sendiri. Nyoba-nyoba bikin bisnis kecil-kecilan, tapi ya sesuai prediksi, gagal. Akhirnya, Abang memutuskan, oke deh, belajar teorinya dulu biar lebih siap. Makanya Abang ambil S2, melanjutkan jurusan sebelumnya, manajemen bisnis."

Syifa terus mengangguk, menunjukkan bahwa dia sangat tertarik dan menunggu cerita selanjutnya. Wajahnya menunjukkan kombinasi antara kekaguman dan rasa penasaran.

"Di Swiss, Abang juga kerja part-time," lanjut Rumi. "Harapannya, pas pulang nanti, Abang udah siap buka usaha sendiri. Ilmu udah dapet, pengalaman dari kerja part-time juga cukup buat modal. Tapi, pas pulang, Papa masih ragu dan belum setuju kalau Abang langsung buka usaha."

Syifa memiringkan kepalanya sedikit, memperlihatkan perhatian penuh pada cerita Rumi. "Kenapa Papa nggak setuju, Bang?"

Lihat selengkapnya