Pagi itu, Syifa berdiri di teras depan rumahnya, menunggu kedatangan Rumi. Teras itu dihiasi dengan banyak bunga yang indah, warisan dari tanaman yang dulu ditanam oleh ibunya. Bunga-bunga itu mekar dengan cantiknya, menyebarkan aroma yang lembut dan menenangkan. Suasana di teras rumah terasa begitu nyaman dan sejuk, seolah menyambut hari baru dengan penuh harapan.
Sambil menikmati sejuknya udara pagi, Syifa merasakan ketenangan yang mengalir dalam dirinya. Namun, tak lama kemudian, suara mobil yang mendekat membuyarkan lamunannya. Mobil Rumi memasuki pekarangan, dan Rumi segera turun, menatap Syifa dengan senyuman yang hangat. "Assalamualaikum," sapa Rumi, suaranya lembut namun penuh kehangatan.
Syifa membalas senyumnya, "Waalaikumsalam." Rumi kemudian dengan sigap membukakan pintu mobil untuk Syifa, gestur yang sederhana namun penuh makna, menandakan perhatian dan kasih sayangnya.
Perjalanan hari itu dimulai dengan mengunjungi rumah RT dan RW setempat untuk mengurus berkas-berkas yang diperlukan. Mereka disambut dengan ramah oleh para tetangga dan pejabat setempat, yang membantu mempermudah proses administrasi. Selesai dari rumah RT dan RW, mereka melanjutkan perjalanan ke kelurahan untuk mendapatkan surat pengantar yang diperlukan sebelum menuju KUA.
Proses di kelurahan berjalan lancar, dan tak lama kemudian mereka sudah berada di KUA. Di sana, mereka menyerahkan semua dokumen yang sudah lengkap, dan petugas KUA memeriksa dengan cermat sebelum memberikan persetujuan.
Begitu semua proses selesai, Rumi dan Syifa saling menatap dengan penuh rasa syukur. "Alhamdulillah," mereka mengucapkannya serentak sambil tertawa kecil, merasa lega karena semua berjalan dengan lancar.
"Alhamdulillah, lancar banget prosesnya," kata Syifa dengan senyum puas. "Mudah-mudahan ini pertanda baik."
Rumi membalas senyum Syifa, merasa bahagia melihat calon istrinya begitu tenang dan bahagia. "Insya Allah, ini memang pertanda baik," ujarnya sambil mengangguk. "Gimana kalau kita makan dulu sebelum pulang?"
Syifa setuju, dan mereka memutuskan untuk makan di sebuah warung bakso yang terletak di jalan menuju rumah Syifa. Warung itu sederhana namun terkenal dengan baksonya yang lezat. Mereka menikmati bakso panas yang menggugah selera, sambil terus berbincang ringan tentang persiapan pernikahan mereka.
Namun, ketika selesai makan, Rumi bertanya sesuatu yang tiba-tiba mengubah suasana hati Syifa. "Mas Kala kita undang, kan?" tanya Rumi dengan suara hati-hati.
Syifa terdiam sejenak, wajahnya yang semula ceria mendadak berubah. "Ngapain kita undang narapidana sih, Bang?" jawabnya pelan namun tegas. "Bukannya nambah suasana bahagia, takutnya malah ngerusak suasana."
Rumi tertegun, tak menyangka Syifa akan merespons demikian. Tapi Rumi merasa bahwa Mas Kala, kakak Syifa yang sedang menjalani hukuman, berhak tahu tentang kabar bahagia ini. "Tapi, Mas Kala perlu tahu, Syif. Adiknya mau menikah."
Syifa menggelengkan kepala, menolak dengan tegas. "Syifa mau minta tolong sama Abang, untuk nggak usah kita bahas Mas Kala. Dengar namanya aja, hati Syifa nggak mau, Bang, apalagi ketemu dengan orangnya."
Suasana hati yang semula penuh dengan kebahagiaan kini berubah menjadi berat. Rumi mengerti bahwa luka di hati Syifa terhadap Mas Kala masih dalam, namun ia juga tahu bahwa ini adalah masalah yang tidak bisa diabaikan begitu saja.
Mereka pun pulang dengan suasana mobil yang sunyi. Kedua hati mereka kini dipenuhi dengan perasaan yang berbeda—Syifa dengan penolakan yang keras, dan Rumi dengan kegelisahan yang belum terjawab. Jalan pulang terasa lebih panjang dari biasanya, dengan keheningan yang menyelimuti mereka, seolah dunia di luar sana tidak lagi relevan.
Perasaan berat itu membayangi mereka, seperti awan gelap yang menggantung di langit, belum siap untuk pergi. Mereka tahu bahwa masalah ini akan muncul lagi, dan keputusan yang mereka buat akan menentukan bagaimana hubungan mereka akan berlanjut. Meskipun begitu, keduanya tetap berharap bahwa hari-hari mendatang akan membawa ketenangan yang mereka butuhkan, dan mungkin, suatu hari nanti, mereka akan menemukan cara untuk menghadapi kenyataan ini bersama.
Setelah tiba di rumah, Syifa langsung masuk ke kamarnya, mencoba meredakan perasaannya yang berkecamuk. Ia duduk di tepi tempat tidurnya, menghela napas panjang, dan memandang cermin di depannya. Dalam keheningan malam, pikirannya dipenuhi oleh bayangan Mas Kala, kakaknya yang dulu begitu ia hormati, namun kini menjadi sosok yang sulit ia terima.
Syifa tahu, sekeras apapun ia mencoba menjauh, ikatan darah antara dirinya dan Mas Kala tidak bisa diputuskan. Cepat atau lambat, mereka akan bertemu lagi, dan mungkin saat itu, ia harus menghadapi kenyataan yang selama ini ia hindari. Namun, luka yang Mas Kala tinggalkan masih terlalu dalam. Kabar terakhir tentangnya telah menghancurkan banyak hal yang dulu Syifa percayai. Syifa merasa perlu mendengar penjelasan dari Mas Kala, memahami apa yang sebenarnya terjadi, tapi di sisi lain, ia lebih baik tidak tahu apa-apa lagi. Terlalu sakit untuk diingat, terlalu berat untuk dimaafkan.
Sementara itu, di tempat lain, Rumi juga sudah bersiap untuk istirahat. Setelah membersihkan diri dan berganti pakaian, ia berbaring di tempat tidurnya. Namun, pikiran tentang pertemuannya dengan Syifa tadi masih terus menghantuinya. Dia tahu bahwa pembicaraan tentang Mas Kala telah mengganggu Syifa, dan ia merasa bersalah karena telah membawanya ke dalam percakapan mereka.
Rumi meraih ponselnya dan mengetik pesan singkat, "Selamat tidur, Putri Cantik. Jangan lupa besok kita tester untuk catering ya. Semoga mimpi indah. 😊"
Ia mengirimkan pesan itu dengan harapan bisa meredakan suasana hati Syifa, meskipun ia tahu itu mungkin tidak cukup. Setelah mengirim pesan, Rumi meletakkan ponselnya di samping dan mencoba memejamkan mata, namun pikirannya masih penuh dengan kekhawatiran tentang hubungan mereka dan bagaimana masalah ini akan mempengaruhi masa depan mereka.
Di kamar Syifa, ponsel yang berada di atas meja bergetar, menandakan pesan masuk. Syifa meraihnya dan membaca pesan dari Rumi. Namun, perasaannya yang masih terluka membuatnya enggan untuk membalas. Ia menatap layar ponselnya sejenak, merasa bahwa Rumi telah merusak suasana hatinya dengan membawa nama Mas Kala dalam pertemuan mereka tadi. Meskipun ia tahu Rumi tidak bermaksud buruk, perasaan kecewa itu terlalu kuat untuk diabaikan.
Syifa akhirnya meletakkan ponsel di sampingnya tanpa membalas pesan Rumi. Ia berbaring di tempat tidurnya, menarik selimut hingga menutupi tubuhnya, dan memejamkan mata. Namun, pikiran tentang Mas Kala, perasaannya terhadap Rumi, dan semua keraguan yang bercampur aduk membuatnya sulit untuk segera tertidur.
Namun, seiring berjalannya waktu, kelelahan fisik dan emosional yang ia rasakan perlahan mulai mengalahkan pikirannya yang penuh dengan kegelisahan. Napasnya mulai teratur, dan tubuhnya yang tegang mulai melemas. Syifa akhirnya tertidur, meski perasaan yang berkecamuk dalam hatinya belum sepenuhnya mereda. Malam itu, mimpi dan kenyataan seolah bercampur menjadi satu, namun setidaknya, untuk sesaat, ia bisa menemukan ketenangan dalam tidur.
Hari ini adalah hari Sabtu, hari yang mereka tunggu-tunggu untuk melanjutkan persiapan pernikahan mereka. Syifa melupakan perasaannya yang tidak nyaman semalam, ia ingin hari ini bisa dilalui dengan suka cita.
Seperti biasa, pagi-pagi sekali, Rumi sudah berada di depan rumah Syifa untuk menjemputnya. Mobilnya melaju perlahan ke pekarangan rumah Syifa, berhenti di depan teras yang masih dihiasi oleh bunga-bunga warisan dari ibunya. Syifa, yang sudah siap dengan penampilannya yang anggun dan sederhana, segera keluar dan menemui Rumi. Mereka saling tersenyum, menikmati kebersamaan pagi itu yang terasa begitu penuh harapan.
Tujuan pertama mereka hari ini adalah tester catering. Mereka tiba di sebuah tempat yang khusus disediakan oleh penyedia jasa catering untuk calon pengantin. Tempat itu bersih dan rapi, dengan meja-meja yang dihiasi kain putih dan bunga-bunga segar di tengahnya. Di meja paling tengah, berbagai hidangan telah disiapkan dengan cermat, menunggu untuk dicicipi oleh mereka.
Rumi dan Syifa duduk bersebelahan, dan pelayan mulai menyajikan satu per satu hidangan yang telah mereka pilih sebelumnya sebagai calon menu untuk acara pernikahan. Mereka mencicipi berbagai macam hidangan, mulai dari makanan pembuka yang ringan hingga hidangan utama yang kaya rasa. Setiap suapan disertai dengan diskusi kecil antara mereka tentang rasa, tampilan, dan kesesuaian dengan konsep acara mereka.
"Ini enak, Bang," kata Syifa sambil tersenyum, mencicipi salah satu hidangan ayam panggang dengan bumbu rempah yang kaya. Rumi mengangguk setuju, "Iya, Syif. Rasa rempahnya pas, tidak terlalu kuat tapi tetap terasa."
Mereka melanjutkan mencicipi berbagai menu lainnya, hingga akhirnya memutuskan beberapa hidangan utama dan pencuci mulut yang mereka rasa paling cocok untuk hari istimewa mereka. Setelah keputusan dibuat, mereka merasa puas dengan pilihan mereka, dan Rumi pun mengucapkan terima kasih kepada pihak catering sebelum mereka melanjutkan perjalanan.
Tujuan berikutnya adalah ke tempat desainer pakaian pengantin. Mereka tiba di sebuah butik pengantin yang terkenal dengan koleksi gaun dan jas pengantinnya yang indah. Interior butik tersebut elegan, dengan dinding berwarna krem lembut dan cermin-cermin besar yang memantulkan cahaya lembut dari lampu-lampu gantung kristal.
Syifa berjalan perlahan menyusuri deretan gaun pengantin yang tergantung rapi. Ia menyentuh bahan-bahan yang halus dan melihat detail setiap gaun dengan teliti. Namun, Syifa merasa bahwa ia tidak perlu membuat gaun dari awal.
"Bang, Syifa rasa cukup menyewa saja. Model yang sudah ada ini juga bagus. Prosesnya lebih simpel, dan Syifa juga nggak berniat menyimpan gaun pengantin ini nanti. Khawatir mubazir kalau cuma disimpan," ujarnya dengan bijak.
Rumi mengangguk setuju, "Iya, Syif. Abang setuju. Yang penting kamu nyaman dan suka dengan pilihannya."
Syifa mulai mencoba beberapa gaun putih panjang yang dirancang khusus untuk pengantin muslimah yang mengenakan kerudung. Salah satu gaun yang paling menarik perhatiannya adalah gaun putih dengan potongan A-line yang elegan. Gaun itu terbuat dari bahan satin yang mengkilap lembut, dengan detail payet yang menghiasi bagian atas gaun hingga ke lengan panjangnya. Kerudung yang senada dengan gaun itu menjuntai anggun, dilengkapi dengan hiasan renda halus di tepiannya. Gaun tersebut memberikan kesan yang sangat menawan dan cocok untuk Syifa yang ingin tampil anggun namun tetap sederhana.
Setelah mencoba beberapa gaun, Syifa memutuskan untuk memilih gaun tersebut. Sementara itu, Rumi juga mencoba beberapa jas pengantin. Ia akhirnya memilih jas putih yang pas di tubuhnya, dengan potongan klasik yang memberikan kesan elegan dan formal. Jas itu dipadukan dengan kemeja putih bersih dan dasi kupu-kupu berwarna hitam, menambahkan sentuhan modern pada tampilannya.
Ketika mereka mencoba pakaian pengantin itu, mereka saling memandang di depan cermin besar. Syifa dalam gaun putih panjangnya terlihat anggun, dengan kerudung yang melambai lembut di belakangnya. Rumi, dengan jas putihnya, tampak gagah dan penuh percaya diri. Mereka tersenyum satu sama lain, merasa bahwa momen ini adalah awal dari perjalanan mereka menuju hari yang lebih besar.
Setelah menyelesaikan segala urusan di butik, mereka merasa lega karena persiapan besar lainnya sudah selesai.
Setelah mencoba pakaian pengantin dan menyelesaikan urusan di butik, Rumi bertanya dengan nada lembut, "Syifa, kita belanja untuk isi seserahan yuk, mau?"
Mata Syifa langsung berbinar mendengar tawaran itu, dan dengan semangat dia mengangguk, "Iya maaauuu..."
Rumi tersenyum melihat reaksi Syifa yang begitu antusias. "Kalau gitu, gimana kalau kita cari apa yang mau dibeli ke mall paling dekat dari sini aja ya? Tapi sebelum itu, kita makan dulu."
Mereka pun setuju untuk makan siang terlebih dahulu sebelum berbelanja. Mereka memilih sebuah restoran Jepang yang sudah bersertifikat halal, jadi aman untuk dikonsumsi. Restoran itu memiliki suasana yang hangat dan nyaman, dengan dekorasi kayu yang mendominasi ruangan. Lampu-lampu gantung bergaya Jepang menambahkan sentuhan elegan dengan cahayanya yang lembut. Di setiap meja, ada pot kecil berisi tanaman hijau, menciptakan suasana yang tenang dan alami.
Mereka duduk di sebuah meja yang menghadap jendela besar, memungkinkan mereka melihat pemandangan luar mall yang ramai. Pelayan datang dengan ramah, membawa menu yang penuh dengan hidangan Jepang yang menggugah selera. Setelah memilih beberapa hidangan seperti sushi, ramen, dan tempura, mereka mulai menikmati makanan dengan penuh kenikmatan.
Sambil makan, Syifa tiba-tiba teringat sesuatu yang mengusik pikirannya. "Oh iya, Bang, dulu kan Papa pengen selalu ngumpul sama Abang. Terus kalau kita udah nikah, Papa gimana?" tanyanya sambil menatap Rumi.
Rumi berhenti sejenak, lalu menjawab dengan tenang, "Justru kalau kita nikah, jadi lebih seru dan rame dong. Kan kita akan temani Papa di rumah."
Mendengar jawaban itu, Syifa mendadak diam. Ia tak menyangka bahwa Rumi berencana membawanya untuk tinggal bersama Papa setelah menikah. Ada perasaan yang bercampur aduk dalam hatinya.
"Jadi setelah kita nikah nanti, kita akan tinggal di rumah Papa?" tanya Syifa, mencoba meyakinkan dugaannya.
Rumi mengangguk sambil tersenyum, "Iya, gapapa kan?"