Cinta untuk Rumi

Jee Luvina
Chapter #3

Terus Saling Mengenal #3

Pagi itu, Rumi menyambut hari dengan semangat. Meski hari Minggu, Rumi bangun lebih awal dari biasanya. Setelah menyelesaikan jogging pagi di taman dekat rumahnya, ia segera kembali ke rumah, mandi, dan bersiap-siap. Hari ini, ia memutuskan untuk pergi ke rumah Syifa lebih awal, tanpa memberi kabar terlebih dahulu. Ada dorongan dalam hatinya untuk membuat kejutan kecil, berharap bisa melihat senyum ceria Syifa kembali.

Di perjalanan menuju rumah Syifa, Rumi mengendarai mobilnya dengan tenang. Matahari pagi mulai naik, sinarnya menembus celah-celah pepohonan di sepanjang jalan, memberikan pemandangan yang menenangkan. Pikiran Rumi dipenuhi dengan bayangan Syifa, dan bagaimana caranya untuk memperbaiki suasana yang sempat tegang kemarin. Dia tersenyum sendiri, membayangkan reaksi Syifa saat melihatnya datang lebih awal.

Sesampainya di rumah Syifa, Rumi memarkir mobilnya di pekarangan yang luas. Rumah Syifa adalah rumah mewah dengan arsitektur modern namun tetap mempertahankan nuansa klasik. Dinding-dindingnya berwarna krem lembut, dengan jendela-jendela besar yang dikelilingi oleh tanaman hijau yang subur. Di depan rumah, terdapat taman yang tertata rapi dengan bunga-bunga beraneka warna, menambah kesan asri pada rumah tersebut.

Rumi berjalan menuju pintu depan dan menekan bel. Tak lama kemudian, pintu dibuka oleh Bi Imah. "Oh, Bang Rumi, silakan masuk," sambut Bi Imah dengan senyum ramah.

"Terima kasih, Bi," jawab Rumi sambil melangkah masuk.

Bi Imah kemudian naik ke atas untuk memberitahu Syifa. "Neng Syifa, ada Bang Rumi di bawah," katanya.

Syifa yang sedang bersantai di kamar langsung merasa terkejut. "Lho, kecepetan ih Bang Rumi, ini belum jamnya makan siang," gumamnya sambil buru-buru mengambil kerudungnya dan turun ke bawah. "Syifa aja belum mandi, ih Bang Rumi bikin Syifa malu aja," katanya dengan nada bercanda, wajahnya sedikit memerah.

Rumi hanya tersenyum, senang melihat Syifa sudah ceria kembali. "Gapapa, Abang nunggu di halaman belakang aja ya. Syifa kalau mau mandi dan siap-siap boleh, tapi jangan buru-buru ya, santai aja," ucap Rumi dengan lembut.

Syifa tersenyum dan mengangguk, merasa lebih nyaman setelah melihat Rumi tidak tergesa-gesa. "Iya, Bang. Syifa siap-siap dulu, ya," katanya sebelum kembali ke kamar.

Setelah Syifa kembali ke atas, Bi Imah mendekati Rumi dengan tawaran yang sopan, "Bang Rumi mau minum apa? Dingin, panas? Teh, kopi, atau es jeruk?"

"Hmm, boleh kopi, Bi. Kasih gula, tapi sedikit aja ya," jawab Rumi sambil tersenyum.

Bi Imah mengangguk dan pergi ke dapur untuk menyiapkan kopi. Sementara itu, Rumi berjalan ke halaman belakang rumah Syifa.

Halaman belakang rumah itu luas dan rapi, dikelilingi oleh pohon-pohon besar yang memberikan keteduhan alami. Di tengah halaman, terdapat sebuah kolam ikan dengan air yang jernih, dipenuhi ikan koi yang berenang dengan tenang. Di sisi lain, ada gazebo kecil yang terbuat dari kayu, dikelilingi oleh kursi-kursi rotan yang nyaman, tempat yang sempurna untuk bersantai. Suara gemericik air dari kolam dan kicauan burung-burung di pepohonan menambah kedamaian di tempat itu.

Rumi merasa tenang berada di sana, seolah semua beban pikiran yang dia rasakan kemarin sedikit demi sedikit menghilang. Dia duduk di salah satu kursi, menikmati suasana pagi yang sejuk, sambil menunggu Syifa bersiap-siap. Pikirannya melayang pada masa depan mereka, bagaimana semua persiapan ini adalah langkah awal untuk memulai kehidupan baru bersama.

Sesaat kemudian, Bi Imah datang membawa kopi yang dipesan Rumi, meletakkannya di atas meja kecil di dekatnya. "Terima kasih, Bi," kata Rumi sambil mengambil cangkirnya. Dia menyesap kopi itu perlahan, menikmati rasa pahit yang hangat di pagi yang masih muda, sementara pikirannya terus berkutat pada bagaimana membuat hari ini menjadi lebih baik untuk Syifa dan dirinya.

Ketika kopi di cangkir Rumi sudah setengah habis, ia menikmati kehangatan pagi di halaman belakang rumah Syifa. Suasana yang tenang dan damai membuatnya semakin rileks, namun pikirannya tetap terfokus pada Syifa dan bagaimana mereka akan melanjutkan hari ini.

Tak lama kemudian, Rumi mendengar suara langkah kaki mendekat. Dia menoleh dan melihat Syifa turun dari tangga dengan senyum ceria di wajahnya. Syifa terlihat begitu segar dan rapi, dengan pakaian yang penuh warna seperti es krim pelangi—campuran warna pastel yang lembut dan menyenangkan. Wangi parfum yang manis dan lembut menyertai kehadirannya, membuat Rumi sejenak tertegun.

"Hai," sapa Rumi, suaranya sedikit kaget namun penuh kehangatan. Matanya memancarkan kekaguman melihat Syifa yang tampak begitu cantik dan penuh semangat pagi ini.

Syifa tersenyum malu-malu melihat reaksi Rumi yang jelas-jelas terkesan dengan penampilannya. "Hai juga, Bang," balasnya sambil berjalan mendekat. "Maaf ya bikin Bang Rumi nunggu lama."

Rumi menggelengkan kepala sambil tersenyum, "Nggak apa-apa, Abang malah senang lihat Syifa yang ceria dan cantik gini. Warnanya cocok banget sama kamu," katanya dengan tulus, matanya masih menatap Syifa dengan rasa kagum yang tak bisa disembunyikan.

Syifa duduk di sebelah Rumi, suasana yang sempat canggung kemarin seolah hilang begitu saja. Mereka berdua merasa lebih dekat dan nyaman, seolah semua ketegangan yang sempat ada sudah lenyap.

Rumi duduk dengan nyaman menikmati suasana yang tenang dan asri. "Di sini nyaman banget ya," ungkapnya sambil memandang sekeliling, matanya tertuju pada pepohonan yang rimbun dan kolam ikan yang berkilau di bawah sinar matahari.

Syifa mengangguk, senyumnya lembut. "Iya, di sini tempat paling sering Ayah dan Ibu ngobrol, berdua. Entah apa yang mereka bicarakan, rasanya tak ada habisnya," kenangnya dengan nada penuh kasih.

Rumi tersenyum, membayangkan momen-momen itu. Tiba-tiba sebuah ide muncul di benaknya. "Gimana kalau kita makan siang di sini aja?" usulnya, matanya menatap Syifa penuh harap.

Mata Syifa membulat, ekspresinya menunjukkan kegembiraan yang tulus. "Wah setujuuu! Kita makan di gazebo itu," jawabnya dengan antusias sambil menunjuk ke arah gazebo kayu yang terletak di sudut halaman.

Rumi tertawa kecil melihat semangat Syifa. "Mau masak atau beli?" tanyanya.

"Bebas sih bang, tapi kita tanya Bi Imah ada bahan makanan apa. Kalau lagi nggak ada, beli juga boleh," jawab Syifa sambil tersenyum.

Mereka pun memanggil Bi Imah, yang segera datang dengan senyum ramah. "Bi, kita mau makan siang di sini, di halaman. Kira-kira, bisa masak apa ya?" tanya Syifa.

Bi Imah mengangguk setuju dengan rencana itu. "Oh, bisa, Neng. Kalau begitu, Bi Imah masak ayam bakar, sayur sop, dan sambal. Ditambah minumnya es jeruk, gimana?"

Rumi langsung tersenyum lebar. "Ah, itu pasti nikmat banget, Bi," katanya dengan semangat.

Bi Imah tersenyum puas melihat antusiasme Rumi. "Baik, Bang Rumi, Neng Syifa, Bi Imah siapkan ya. Tunggu sebentar ya," ujarnya sebelum kembali ke dapur untuk menyiapkan makanan.

Sementara Bi Imah sibuk di dapur, Rumi dan Syifa duduk santai di gazebo, menikmati suasana menjelang siang yang tenang. Mereka berbincang-bincang ringan, sesekali membahas persiapan pernikahan yang sudah hampir selesai.

“Syifa minta maaf ya, Bang. Syifa kayaknya lagi sensitif aja jadi nanggepin Bang Rumi jadi kayak gitu.” Syifa menunduk dengan berani mengungkapkan maaf untuk saling menjaga hubungan yang akan dibawa ke jenjang lebih serius ini.

Rumi mengangguk. “Gak ada yang perlu dimaafin, putri cantik. Kita lagi proses saling mengenali. Nanti juga kalau udah ketemu polanya, jadi lebih enak.”

Syifa melihat Rumi dan tersenyum.

"Oh iya, untuk persiapan acara kayaknya semua udah kita siapin ya, Bang?" tanya Syifa, sedikit merenung.

"Iya, tapi belanja buat seserahan kan belum ya, mau hari ini?” Tanya Rumi sambil tersenyum, menatap Syifa dengan penuh kasih.

Syifa mengangguk, “Boleh.”

“Nanti untuk yang kemas barang seserahannya bisa langsung sama orang yang dekor ya, besok bisa langsung Abang bawa aja barang hasil belanjaan nanti yah.” Rumi sedikit menjelaskan untuk menenangkan Syifa bahwa persiapan untuk acara pernikahan hampir beres.

Syifa tersenyum lembut, merasa lega dan bahagia karena persiapan pernikahan mereka berjalan dengan baik. "Mudah-mudahan semuanya lancar ya, Bang.”

Rumi mengangguk, "Insya Allah, semuanya akan lancar."

Mereka pun terus berbincang, menikmati momen kebersamaan itu dengan suasana yang hangat. Angin sepoi-sepoi yang berhembus, suara gemericik air dari kolam ikan, dan kicauan burung di pepohonan seolah melengkapi keindahan siang itu.

Tak lama kemudian, aroma ayam bakar yang sedap mulai tercium dari dapur, membuat perut mereka semakin lapar. Mereka saling tersenyum, merasa bahwa hari ini akan menjadi salah satu hari yang tak terlupakan, penuh dengan kebahagiaan sederhana namun bermakna.

Makanan yang disiapkan oleh Bi Imah benar-benar lezat. Aroma ayam bakar yang menggoda dan rasa gurih dari sayur sop yang segar membuat makan siang mereka terasa istimewa. Rumi dan Syifa menikmati setiap suapan dengan penuh kenikmatan. Es jeruk yang disajikan dingin menjadi pelengkap sempurna, memberikan rasa segar di tengah hangatnya siang hari.

Sambil menikmati makanan, Syifa memandang Rumi dengan mata yang penuh dengan keyakinan. "Bang, Syifa ingin ngajak Abang untuk ketemu pengacara Ayah. Syifa rasa kita perlu memastikan semuanya jelas sebelum kita melangkah lebih jauh," ujarnya dengan nada serius.

Rumi meletakkan sendoknya, menatap Syifa dengan penuh perhatian. "Abang setuju, Syif. Kapan kita bisa ketemu pengacaranya?"

Syifa tersenyum lega mendengar persetujuan Rumi. "Syifa sudah janjian untuk ketemu pengacara Ayah di rumahnya siang ini. Lokasinya Syifa forward ke WhatsApp Abang ya."

Rumi mengangguk, "okee, kita berangkat setelah ini ya."

Setelah selesai makan, mereka tidak langsung bergegas. Sebaliknya, mereka memilih untuk duduk santai di gazebo, menikmati suasana tenang di halaman belakang. Angin sepoi-sepoi berhembus lembut, membawa aroma segar dari pepohonan di sekitar mereka. Sambil duduk, mereka berbincang-bincang tentang hal-hal ringan, dari kenangan masa kecil hingga impian mereka untuk masa depan. Momen kebersamaan ini terasa sangat berharga, seolah mereka berdua menikmati setiap detiknya sebelum akhirnya menghadapi kenyataan yang lebih serius.

Setelah merasa cukup beristirahat, Rumi dan Syifa memutuskan untuk bergegas menuju rumah pengacara Ayah Syifa. Rumi membuka WhatsApp dan melihat pesan dari Syifa yang berisi lokasi rumah pengacara tersebut. "Oke, Abang udah tahu lokasinya. Kita berangkat sekarang?"

Lihat selengkapnya