Cinta untuk Rumi

Jee Luvina
Chapter #4

Cinta yang Mekar #4

"Aku dan kamu adalah dua helai daun yang jatuh dari pohon yang berbeda, namun angin takdir mengarahkan kita untuk bertemu, bersatu dalam musim cinta yang akan mekar abadi dalam ikatan pernikahan."

 

Hari pernikahan semakin dekat, dan semua persiapan telah dilakukan dengan sempurna. Syifa telah meliburkan diri dari florist, memberikan dirinya waktu untuk beristirahat dan mempersiapkan diri secara mental menjelang hari besar. Saat sedang bersantai di kamarnya, ponselnya berbunyi, menandakan ada pesan WhatsApp masuk. Pesan itu dari Zara, sahabatnya yang selalu mendukungnya sejak awal.

"Hai calon pengantin, gimana? Aman semuanya? Gue nanti hadir ngajak nyokap gue ya," tulis Zara.

Syifa tersenyum lebar saat membaca pesan itu. Hatinya terasa hangat mengetahui bahwa Zara telah memperbaiki hubungan dengan ibunya, sesuatu yang tidak pernah terbayangkan sebelumnya. Dengan cepat, Syifa mengetik balasan, "Amaann alhamdulillah, doain yaaa... Waaahh tentu boleh bangeeett, ditunggu kehadirannya yaa..."

Setelah mengirim pesan itu, Syifa merasa tenang dan bahagia. Sahabat terbaiknya akan hadir di hari paling istimewa dalam hidupnya, dan lebih dari itu, Zara akan datang bersama ibunya, yang menunjukkan bahwa hubungan mereka telah berubah menjadi lebih baik.

Tak lama kemudian, terdengar ketukan lembut di pintu kamar. Bi Imah, yang sudah lama bekerja di rumah Syifa, masuk dengan senyum hangat seperti biasa. "Neng Syifa, ayo makan siang dulu," ajaknya dengan lembut.

Syifa mengangguk dan bangkit dari tempat tidurnya, siap untuk mengikuti Bi Imah ke ruang makan. Namun, sebelum mereka keluar dari kamar, Bi Imah memberitahu sesuatu yang membuat suasana menjadi haru.

"Neng, nanti pas hari pernikahan, suami Bi Imah juga akan datang. Ali, anak Bi Imah yang di Jerman, juga akan pulang. Sekalian Bi Imah mau pamit sama Neng Syifa," ucapnya dengan nada yang sedikit bergetar.

Syifa terdiam sejenak, merasakan gelombang emosi yang mendalam. Bi Imah sudah seperti bagian dari keluarganya, dan mendengar bahwa Bi Imah akan pamit setelah pernikahan, membuat hatinya terasa berat.

Syifa sudah tahu perpisahan ini akan terjadi, tapi entah kenapa saat ini disampaikan kembali rasanya perasaan haru itu tetap terasa.

"Bi Imah... Terima kasih banyak untuk semua yang Bi Imah lakukan selama ini," ujar Syifa dengan tulus, matanya sedikit berkaca-kaca.

Bi Imah tersenyum lembut, mencoba menahan emosinya sendiri. "Neng Syifa jangan sedih ya. Bi Imah senang bisa jadi bagian dari hidup Neng. Dan Bi Imah akan selalu mendoakan yang terbaik untuk Neng Syifa dan Bang Rumi."

Mereka berdua berjalan ke ruang makan dengan perasaan yang campur aduk—bahagia, haru, dan penuh syukur. Syifa merasa sangat beruntung dikelilingi oleh orang-orang yang begitu peduli dan menyayanginya, membuat hari-hari menjelang pernikahannya menjadi momen yang penuh dengan cinta dan kenangan indah.

Setelah duduk bersama di ruang makan, suasana yang tenang dan penuh keakraban membuat Syifa merasa bahwa ini adalah momen yang tepat untuk menyampaikan sesuatu kepada Bi Imah. Sambil menikmati makan siang, Syifa akhirnya membuka pembicaraan.

"Bi Imah," Syifa memulai dengan lembut, "Ada satu hal lagi yang ingin Syifa sampaikan."

Bi Imah menatap Syifa dengan penuh perhatian, menunggu apa yang akan dikatakan oleh gadis yang sudah seperti anaknya sendiri itu.

"Setelah pernikahan nanti, Syifa berencana untuk menjual rumah ini," ungkap Syifa dengan suara yang agak bergetar. "Syifa ingin benar-benar memulai hidup baru bersama Bang Rumi, dan bagian dari itu adalah melepaskan masa lalu dan memulai dari awal."

Bi Imah mendengarkan dengan seksama, lalu mengangguk pelan. "Bi Imah ngerti, Neng. Memang kadang kita harus merelakan sesuatu untuk bisa melangkah maju. Kalau semua dibawa, berat ya, Neng." Bi Imah tertawa dan berupaya mencairkan suasana.

Lihat selengkapnya