Pagi di rumah baru mereka dimulai dengan suasana yang tenang dan penuh kesegaran. Udara pagi masih terasa sejuk, dengan sinar matahari lembut menyelinap melalui jendela, menerangi ruangan dengan cahaya keemasan yang hangat. Rumi, yang selalu disiplin dengan rutinitas olahraganya, memulai harinya dengan jogging di sekitar kompleks perumahan mereka.
Saat Rumi berlari, ia merasakan angin pagi yang sejuk menyapu wajahnya, memberikan energi baru untuk menghadapi hari. Suasana di sekitar perumahan masih tenang, hanya ada beberapa orang yang juga sedang berolahraga atau berjalan-jalan dengan hewan peliharaan mereka. Rumi menikmati setiap langkahnya, merasakan kebahagiaan yang semakin tumbuh sejak mereka pindah ke rumah baru ini.
Sementara itu, di rumah, Syifa sudah mulai menyiapkan sarapan. Aroma harum nasi goreng dan telur mata sapi yang digoreng memenuhi dapur, menciptakan suasana hangat dan nyaman. Syifa, dengan cekatan, menyusun sarapan di meja makan, sambil sesekali tersenyum, membayangkan Rumi yang pasti akan senang dengan masakannya pagi ini.
Tak lama kemudian, Rumi kembali dari jogging, keringat membasahi dahinya, namun senyum lebar tetap terukir di wajahnya. Setelah membersihkan diri dengan cepat, ia menuju meja makan, di mana Syifa sudah menunggunya dengan sarapan yang siap disantap.
"Makasih ya, Sayang," ucap Rumi sambil mencium kening Syifa, kemudian duduk untuk menikmati sarapan yang telah disiapkan istrinya dengan penuh cinta. Suapan demi suapan, Rumi menikmati setiap rasa, merasakan kehangatan yang lebih dari sekadar makanan, tetapi juga cinta dan perhatian yang Syifa berikan.
Setelah sarapan, Rumi bergegas mandi dan bersiap untuk ke kantor. Suasana rumah yang tenang dan nyaman membuatnya merasa lebih siap menghadapi hari yang penuh dengan pekerjaan. Sebelum pergi, ia berpamitan dengan Syifa, memberikan ciuman di pipinya.
"Abang berangkat dulu ya, Sayang. Nanti siang kita makan bareng, ya?" kata Rumi dengan nada penuh kasih.
Syifa mengangguk, tersenyum hangat. "Hati-hati di jalan, Bang."
Setelah Rumi pergi, Syifa kembali ke dalam rumah, memutuskan untuk menghabiskan hari dengan beres-beres. Ia merapikan barang-barang yang masih belum tertata sempurna, membersihkan setiap sudut rumah, dan memastikan semuanya berada di tempat yang tepat. Meski lelah, Syifa merasa bahagia bisa membuat rumah mereka semakin nyaman dan indah, tempat di mana mereka akan membangun masa depan bersama.
Saat Syifa sedang asyik menata beberapa hiasan dinding di rumah barunya, ponselnya tiba-tiba berdering. Melihat nama Zara muncul di layar, Syifa segera mengangkat telepon.
"Assalamualaykum," sapa Syifa lebih dulu, dengan senyum yang masih terukir di wajahnya.
"Wa alaykum salam... Lagi apa lo, Syif?" tanya Zara dari seberang sana.
"Beres-beres rumah, Zar. Alhamdulillah baru pindahan," jawab Syifa sambil meletakkan hiasan dinding yang tadi dipegangnya.
"Wah, alhamdulillah! Selamat ya, ikut seneng gue kalian bener-bener memulai hidup baru," ungkap Zara, suaranya terdengar hangat namun sedikit ragu, seperti sedang memikirkan kalimat berikutnya.
"Alhamdulillah, doain ya, Zar, semoga pernikahan ini sakinah, mawaddah, warrahmah," balas Syifa, dengan harapan yang tulus.
"Aamiin ya Allah," sambut Zara dengan ikhlas. Namun, suaranya berubah serius, "Syifa, gue mau ngomong."
Syifa sedikit terkejut mendengar nada Zara yang tiba-tiba serius. Ia memilih duduk di sofa, bersiap mendengarkan apa yang akan disampaikan Zara. "Ya, ada apa, Zar?" tanya Syifa dengan penuh perhatian.
"Sebelumnya, gue mau ngucapin makasih buat lo dan juga Bang Rumi yang dulu pas di Bandung udah ngasih kesempatan gue dan Ali berkenalan," kata Zara, dengan nada yang terdengar tulus.
Syifa mengangguk meski Zara tidak bisa melihatnya, menunggu kelanjutan kabar dari sahabatnya itu.
Zara tertawa kecil, terdengar canggung namun bahagia. "Lucu ya, takdir Allah itu. Susah ditebak. Siapa yang nyangka, Syif, ternyata gue nerima lamaran Ali kemarin."
Syifa terkejut, ia berdiri seketika, "Serius, Zar? Alhamdulillah! Gue ikutan seneng, Zaraaaa, akhirnyaaaa kita merasakan kebahagiaan di waktu yang hampir sama!"
Zara tertawa, merasakan kebahagiaan yang sama. "Terus, lo udah tahu kabar bahagia kedua?" tanya Zara, suaranya penuh dengan antusiasme.
Syifa yang masih terkejut, bertanya bingung, "Apaan?"
"Nyokap gue juga mau nikah," jawab Zara, menahan tawa.