"Perjalanan cinta kita seperti naik gunung; ada tanjakan yang sulit, tapi pemandangan di puncak selalu sepadan."
Hari-hari berlalu dengan rutinitas yang mulai teratur. Syifa kembali ke florist secara rutin, sementara Rumi sibuk dengan pekerjaannya di kantor. Mereka semakin jarang bisa bertemu untuk makan siang bersama karena beban kerja Rumi yang sedang padat. Meskipun begitu, keduanya tetap saling mendukung, menyadari bahwa ini adalah bagian dari kehidupan mereka yang sedang berkembang.
Suatu hari, saat Syifa sedang asyik merangkai bunga di tokonya, dua pria berpenampilan rapi dengan kemeja putih masuk ke dalam florist. Mereka menyapanya dengan sopan dan hangat, membuat Syifa menoleh dari pekerjaannya.
"Selamat siang, Mbak Syifa. Masih ingat kami yang dulu ditugaskan almarhum ayah Mbak untuk melakukan audit florist ini?" sapa salah satu pria yang tampak sudah separuh baya.
Syifa mengangguk, mengingat mereka dari pertemuan sebelumnya.
"Berikut hasilnya, Mbak," lanjut pria itu sambil menyerahkan dokumen tebal kepada Syifa.
Syifa mengambil dokumen itu dan membukanya dengan hati-hati. Pria tersebut melanjutkan, "Semua hasilnya sangat baik. Pertumbuhan florist ini sangat sehat. Sebelum ayah Mbak berpulang, beliau sudah menyiapkan tempat untuk cabang florist ini. Tempatnya sangat strategis."
Mata Syifa membulat dan mulai basah. Ia terharu mengetahui bahwa ayahnya telah mempersiapkan segalanya dengan baik, bahkan sebelum ia menyadarinya.
"Ayah Mbak sudah yakin sejak awal bahwa florist ini akan berkembang," kata pria itu dengan optimisme yang tinggi.
"Alhamdulillah," ujar Syifa dengan napas lega. "Terima kasih banyak, Pak. Lalu apa yang harus saya lakukan untuk memulai ini?"
Pria itu tersenyum dan bertanya, "Nanti yang akan mengurus cabang kedua ini apakah langsung dengan Mbak Syifa atau Mbak Syifa mau memberikan amanah ke orang yang Mbak Syifa percayai?"
Syifa melihat ke arah Ajeng, seorang karyawan yang sedang bekerja di balik komputer. Ajeng selama ini telah menunjukkan kinerja yang luar biasa, selalu rapi dan tepat dalam setiap tugas yang diberikan.
Syifa mengangguk, lalu memanggil Ajeng. Ajeng segera mendekat dengan raut wajah penasaran, menunduk sedikit seakan bertanya, "Ada apa, Mbak Syifa?"
Syifa tersenyum hangat, "Ini, Pak, perkenalkan namanya Ajeng. Saya akan kasih amanah ke Ajeng untuk mengurus cabang kedua."
Mata Ajeng terbuka lebar, tampak kaget dan sedikit bingung dengan apa yang Syifa katakan.
Dua pria itu kemudian menjelaskan langkah-langkah yang perlu dilakukan oleh Ajeng dan Syifa untuk mempersiapkan pembukaan cabang baru tersebut. Ajeng mendengarkan dengan penuh perhatian, masih terkejut namun juga merasa sangat terhormat atas kepercayaan yang diberikan kepadanya.
Syifa merasa lega dan bahagia, mengetahui bahwa usahanya yang telah dirintis olehnya akan terus berkembang, dan ia bisa mempercayakan tanggung jawab besar ini kepada seseorang yang kompeten. Hari itu menjadi momen penting bagi Syifa dan Ajeng, sebagai awal dari babak baru dalam perjalanan bisnis mereka.
Di rumah, setelah seharian penuh dengan kejutan dan kabar baik, Syifa segera mengabarkan kabar bahagia tentang rencana pembukaan cabang florist kepada Rumi. Rumi, yang baru saja pulang dari kantor, tersenyum senang mendengar berita tersebut. "Alhamdulillah, itu kabar yang luar biasa, Sayang. Abang senang mendengarnya," ucap Rumi dengan penuh kebanggaan.
Namun, dalam percakapan mereka, keduanya tiba-tiba tersadar bahwa hari pernikahan Papa Rumi sudah tinggal menghitung hari. Syifa mulai memikirkan apa yang akan ia kenakan nanti di acara tersebut, juga di acara pernikahan Zara. Ia merasa koleksi pakaiannya untuk kondangan dengan style berhijab masih kurang memadai.