"Dalam sunyi, ada harapan yang tumbuh, meski belum sempat dirayakan."
Saat Rumi duduk di ruang tunggu dengan perasaan cemas yang tak kunjung reda, ponselnya berdering. Nama Papa muncul di layar, dan Rumi segera menjawab panggilan itu.
"Assalamualaikum, Pa," sapa Rumi dengan suara lelah.
"Waalaikumsalam, Rumi. Kalian sudah sampai di rumah sakit?" tanya Papa, suaranya terdengar khawatir meskipun mencoba tetap tenang.
"Iya, Pa. Kami sudah di sini. Tapi... Syifa masih diperiksa. Belum ada penjelasan apa-apa dari dokter," jawab Rumi sambil melirik ke arah pintu ruang pemeriksaan, berharap ada kabar baik yang segera datang.
Papa menghela napas, "Baiklah. Selesai acara ini, Papa akan langsung ke sana.”
Rumi menggigit bibirnya, mencoba menahan emosi yang bercampur aduk. "Tapi tolong, Pa, selesaikan dulu acaranya. Ini hari istimewa Papa. Rumi minta maaf kalau kejadian ini mengganggu acara."
Papa terdiam sejenak sebelum menjawab, "Tidak usah minta maaf, Rumi. Kesehatan Syifa lebih penting. Tapi Papa tetap akan ke sana setelah acara selesai."
Rumi mengangguk meski Papa tak bisa melihatnya. "Terima kasih, Pa. Tapi tolong nikmati dulu acaranya, ini momen bahagia Papa."
Papa tersenyum kecil di seberang sana, merasakan kebesaran hati Rumi. "Papa akan selesaikan acara dengan baik, tapi tetap berikan kabar secepatnya kalau ada perkembangan."
"Iya, Pa. InsyaAllah Rumi akan kabari," jawab Rumi dengan suara yang lebih tenang, meski hatinya masih dipenuhi kecemasan.
Mereka menutup telepon dengan perasaan masing-masing yang berbeda, Papa dengan kekhawatiran seorang ayah, sementara Rumi sebagai suami berusaha menenangkan diri, berharap yang terbaik untuk istrinya.
Setelah menunggu dengan cemas di ruang tunggu, seorang perawat akhirnya keluar dari ruang pemeriksaan dan memanggil Rumi. "Pak, dokter ingin berbicara dengan Anda. Silakan ikut ke ruangannya," ucap perawat itu dengan nada serius.
Jantung Rumi berdetak lebih cepat, dan perasaan khawatir yang tadi sempat mereda kini kembali menguasai dirinya. Ia berdiri, langkahnya terasa berat seolah ada beban yang tak terlihat menahannya. Perlahan, ia mengikuti perawat menuju ruang dokter.
Di dalam ruangan yang tenang namun terasa sangat dingin, dokter yang menanganinya tampak serius. Setelah mempersilakan Rumi duduk, dokter mulai berbicara dengan nada yang penuh kehati-hatian. "Pak, pertama-tama kami turut berduka cita..."
Rumi merasa ada yang tidak beres. Kata-kata dokter itu membuat dadanya terasa sesak. "Ada apa, Dok? Apa yang terjadi?" tanyanya dengan nada bingung dan cemas.
Dokter menatap Rumi dengan empati sebelum melanjutkan, "Istri Anda mengalami keguguran."
Kata-kata itu menghantam Rumi seperti pukulan yang sangat keras. Tubuhnya seketika terasa lemas, seolah tenaga yang ada dalam dirinya mendadak lenyap. Ia merasakan keheningan yang pekat di telinganya, seolah semua suara di sekitarnya menghilang, hanya menyisakan gema dari kata "keguguran" yang berulang-ulang dalam pikirannya.
"Ya, Pak. Saya tahu ini sangat sulit. Namun, yang terpenting sekarang adalah menjaga kondisi istri Anda, agar dia bisa pulih dengan baik," jelas dokter dengan hati-hati.
Rumi menunduk, kedua tangannya mencengkeram ujung kursi dengan kuat, seolah mencoba mencari pegangan di tengah kekacauan emosi yang sedang melandanya. Pikiran-pikirannya melayang ke arah Syifa yang saat ini terbaring lemah. Ia merasakan duka yang mendalam, bukan hanya karena kehilangan janin yang bahkan belum sempat ia ketahui, tetapi juga karena Syifa harus melalui ini semua.
Air mata mulai membasahi sudut matanya, namun Rumi berusaha keras untuk tetap tegar. "Apa yang harus saya lakukan, Dok?" tanyanya dengan suara bergetar.
Dokter menatap Rumi dengan penuh simpati. "Untuk saat ini, yang terbaik adalah berada di sisi istri Anda dan memberikan dukungan. Kami akan melakukan yang terbaik untuk memastikan kondisinya stabil."
Rumi mengangguk lemah, meski hatinya masih terasa berat. Ketika ia berdiri untuk kembali ke ruang perawatan Syifa, langkahnya terasa goyah, seakan beban yang ia rasakan semakin bertambah. Namun, di tengah duka yang mendalam, ia tahu bahwa Syifa membutuhkan kekuatan dan kehadirannya. Dengan tekad yang tersisa, Rumi berusaha untuk tetap kuat, meskipun hatinya hancur oleh kabar yang baru saja ia terima.
Dokter melanjutkan penjelasannya dengan nada penuh empati, "Pak, istri Anda mengalami pendarahan yang menyebabkan keguguran itu. Sepertinya ini disebabkan oleh kelelahan yang berlebihan. Janin belum menempel dengan kuat di rahim, dan kondisi tersebut membuatnya rentan. Saat ini, istri Anda masih belum sadar. Kami akan menunggu hingga kondisinya stabil dan dia sadar sebelum melakukan proses kuret untuk membersihkan rahimnya."
Rumi merasa dunia seolah runtuh di sekelilingnya. Setiap kata yang keluar dari mulut dokter terasa seperti beban berat yang menekan dadanya. Rasa bersalah mulai merayapi pikirannya—apakah terlalu banyak yang ia bebankan pada Syifa? Apakah ia seharusnya lebih peka terhadap kondisi istrinya? Pikiran-pikiran itu berputar-putar di kepalanya, membuatnya semakin tak tenang.
Rumi mengangguk pelan, meskipun hatinya masih terasa berat dan tak menentu. Ia berterima kasih kepada dokter dan dengan langkah yang lemah, ia keluar dari ruangan itu. Pikirannya terus dipenuhi dengan kecemasan dan rasa takut akan apa yang akan terjadi selanjutnya.
Ia kembali ke ruang tunggu, duduk dengan punggung menunduk, wajahnya tertutup oleh kedua tangannya yang bergetar. Keringat dingin mengalir di pelipisnya, namun ia tahu bahwa sekarang bukan waktunya untuk meratapi nasib. Syifa membutuhkannya, dan meskipun hatinya hancur, Rumi bertekad untuk tetap kuat di hadapan istrinya. Ia hanya bisa berdoa, berharap Syifa segera sadar dan proses kuretasi berjalan lancar, serta bahwa mereka berdua bisa melewati cobaan ini bersama.
Tak lama setelah Rumi kembali ke ruang tunggu, seorang perawat datang menghampirinya. "Pak, istri Anda sudah sadar. Silakan masuk," katanya dengan lembut.