"Kekuatan kita sebagai pasangan bukan diukur saat semua baik-baik saja, tapi saat kita mampu bersama melewati badai."
Rumi membuka pintu kamar rawat inap dengan hati yang penuh dengan kegelisahan. Saat ia melangkah masuk, suasana ruangan terasa begitu sunyi, ada cahaya lampu yang redup menambah keheningan yang menekan, membuat ruangan itu terasa semakin kecil dan sesak.
Syifa dengan wajah pucat, matanya yang masih lelah perlahan beralih pada Rumi. Saat melihat suaminya masuk, ia mencoba tersenyum, meskipun senyumnya tampak lemah dan dipenuhi kebingungan.
"Bang... ada apa? Dokter bilang Syifa harus dirawat. Tapi kenapa? Syifa gak apa-apa, kan?" tanyanya dengan suara yang hampir tak terdengar, penuh harap akan jawaban yang menenangkan.
Rumi menelan ludahnya dengan berat, mencoba menyiapkan kata-kata yang tepat. Tapi, bagaimana mungkin ada kata yang cukup baik untuk menyampaikan kabar seburuk ini? Dengan perlahan, ia mendekat dan duduk di tepi tempat tidur Syifa, menggenggam tangan istrinya yang dingin.
"Sayang..." Rumi memulai dengan suara bergetar. "Sebenarnya,…"
Syifa menatap Rumi dengan penuh kecemasan, matanya mulai berair, seolah tahu bahwa apa yang akan disampaikan bukanlah kabar baik.
"Sayang... tadi dokter bilang, Syifa keguguran," kata Rumi akhirnya, suaranya serak dan nyaris tak terdengar.
Syifa membeku. Kata-kata itu menghantamnya seperti badai yang tiba-tiba muncul di tengah laut yang tenang. Ia merasakan detak jantungnya mempercepat, dan matanya membesar, mencoba mencerna apa yang baru saja didengarnya. "Keguguran...? Berarti sebenernya, Syifa ini hamil?" tanyanya dengan suara gemetar, antara percaya dan tidak percaya.
Rumi mengangguk, air mata mulai mengalir dari matanya. "Iya, Sayang. Maafin Abang yang gak ngeuh dari awal yah.” Rumi tak sanggup melanjutkan apa yang mau ia sampaikan, suaranya pecah.
Syifa terdiam sejenak, lalu perlahan-lahan tangisannya meledak. "Kenapa... kenapa aku gak tahu...? Kenapa aku gak bisa menjaga dia...? Kenapa aku gak bisa menjaga anak kita...?" teriaknya dengan penuh duka dan amarah, air matanya mengalir deras, membasahi bantal yang di bawah kepalanya.
Rumi terhenyak mendengar jeritan Syifa. Hatinya terasa hancur melihat istrinya begitu tersiksa, menyalahkan dirinya sendiri. "Sayang, ini bukan salahmu...," ucap Rumi dengan nada putus asa, mencoba meraih tangan Syifa lagi, tetapi Syifa menarik tangannya, menolak untuk disentuh.
"Enggak, ini salah Syifa! Syifa yang terlalu banyak aktivitas, Syifa yang tidak menjaga tubuh ini... Syifa yang gak peka, Syifa yang gak serius menantikan kehadirannya," isaknya, menutupi wajahnya dengan kedua tangan, tubuhnya bergetar hebat.
Rumi tak bisa menahan lagi air matanya. Ia merasa tak berdaya, tidak tahu bagaimana harus menghibur istrinya. Dengan lemas, Rumi terduduk di lantai, punggungnya bersandar pada sisi tempat tidur. Ia menangis, air mata mengalir tanpa henti, merasakan rasa sakit yang sama dengan yang dirasakan oleh Syifa.
Ruangan itu menjadi saksi dari dua hati yang hancur. Suasana semakin berat, seolah dinding-dinding ruangan ikut menahan duka yang begitu pekat. Cahaya redup dari lampu ruangan tak mampu mengusir bayangan kesedihan yang menyelimuti mereka.
Tangisan Syifa memenuhi ruangan, terdengar seperti jeritan dari jiwa yang terluka, sementara Rumi hanya bisa duduk di bawah, merasakan setiap kepingan hatinya runtuh bersama air matanya. Ia ingin sekali bisa memutar balik waktu, menggenggam Syifa dengan lebih erat, melindungi dia dan anak mereka yang bahkan belum sempat mereka kenal.
Namun, kenyataan yang pahit ini harus mereka hadapi bersama. Rumi tahu bahwa sekarang, di tengah semua kesedihan dan rasa bersalah ini, mereka hanya memiliki satu sama lain. Ia mencoba menguatkan diri, meski rasa duka terus menguasai.
Perlahan, Rumi mengangkat wajahnya, memandang Syifa yang masih terisak di atas ranjang. "Sayang, kita akan melewati ini bersama... Kita harus kuat, Sayang. Abang ada di sini...," ucap Rumi dengan suara yang masih bergetar, meski tangisannya belum sepenuhnya reda.
Syifa tak menjawab, hanya menangis lebih keras. Namun, di tengah duka yang tak terkatakan itu, ada sedikit rasa tenang yang muncul, mengetahui bahwa mereka masih bersama, menghadapi cobaan ini berdua. Meski berat, meski penuh kesedihan, mereka tahu bahwa cinta mereka adalah satu-satunya harapan yang bisa mereka pegang di saat gelap seperti ini.
Syifa terus terisak di tempat tidurnya, tubuhnya masih bergetar hebat. Rasa bersalah yang begitu dalam menyelimuti hatinya, menambah luka yang sudah teramat dalam. Di antara tangisannya, sebuah ingatan muncul di benaknya, seperti jarum yang menusuk langsung ke hatinya.
Dalam hatinya, ia teringat pernah berkata pada dirinya sendiri, "Aku belum siap hamil... Aku masih ingin menikmati masa pacaran bersama suamiku." Ucapan yang dulu terlintas tanpa beban itu kini menghantamnya dengan kekuatan yang luar biasa, seolah menjadi kutukan atas apa yang baru saja terjadi.
"Ini semua salahku...," bisik Syifa di antara isak tangisnya, suaranya nyaris tak terdengar. "Aku... aku pernah bilang dalam hati kalau aku belum siap... aku masih ingin... masih ingin menikmati masa-masa ini bersama abang. Tapi... tapi malah...," suaranya terhenti oleh tangisan yang semakin keras.
Rumi yang mendengar kata-kata Syifa itu, merasakan hatinya semakin hancur. Ia tidak pernah menduga bahwa istrinya pernah merasa seperti itu, dan sekarang, melihat betapa Syifa menyalahkan dirinya sendiri karena pikiran itu, membuatnya semakin tak berdaya.
"Sayang... jangan bilang begitu," ucap Rumi dengan suara yang tercekik, berusaha menenangkan istrinya meski ia sendiri masih dikuasai oleh rasa duka. "Itu bukan salahmu. Perasaan itu wajar, Sayang. Kita semua punya pikiran dan perasaan yang berbeda-beda. Tapi apa yang terjadi sekarang bukan karena itu. Ini adalah cobaan, dan kita harus menghadapi ini bersama."
Syifa menggeleng dengan keras, air mata terus mengalir tanpa henti. "Gak, Bang... Ini salah Syifa... Syifa yang pernah berpikir begitu, Syifa yang mengucapkan itu dalam hati... dan sekarang... Syifa kehilangan calon anak kita karena Allah yang mengabulkan niat Syifa sebelumnya...," isaknya, semakin merasa bersalah dengan setiap kata yang keluar dari mulutnya.