"Hidup ini seperti bersepeda, untuk menjaganya tetap seimbang, kamu harus terus bergerak. Jangan menyerah, teruslah mengayuh."
Hari telah berganti, dan suasana di rumah sakit terasa hening, seolah ikut merasakan beban berat yang tengah dipikul oleh Syifa. Ia masih terbaring di ranjang, berusaha keras untuk menerima kenyataan pahit yang harus dihadapinya. Kehilangan ini bukanlah yang pertama baginya, namun setiap kehilangan terasa sama menyakitkannya, menambah luka yang semakin sulit untuk disembuhkan.
Mata Syifa terbuka, menatap langit-langit kamar rumah sakit dengan tatapan kosong. Pikirannya dipenuhi oleh bayangan-bayangan masa depan yang kini terasa semakin jauh dari genggamannya. Namun di tengah kesedihan yang mendalam itu, Syifa tahu bahwa ia harus mencoba kuat, untuk dirinya, untuk Rumi, dan untuk masa depan mereka.
Di sisi lain, di tempat yang berbeda, suasana sangat kontras dengan apa yang dirasakan oleh Syifa. Zara dan Ali sedang berbahagia, menjalani hari-hari pertama mereka sebagai pasangan suami istri. Cinta mereka kini telah diikat dengan kalimat suci ijab kabul, menandai awal dari perjalanan baru yang penuh harapan dan kebahagiaan. Senyum dan tawa menghiasi wajah mereka, menyambut masa depan dengan penuh optimisme.
Syifa tahu bahwa hari ini adalah hari penting bagi sahabatnya, Zara. Meski hatinya masih dipenuhi duka, Syifa ingin tetap membagikan rasa kebahagiaannya pada Zara, meski hanya melalui kata-kata. Ia mengambil ponselnya yang tergeletak di samping tempat tidur, dan dengan perlahan, ia mengetik sebuah pesan untuk Zara. Jari-jarinya bergerak pelan di atas layar, seolah-olah setiap kata membawa beban emosional yang berat.
"Assalamualaikum, Zar. Alhamdulillah, akhirnya lo dan Ali udah resmi jadi suami istri. Gue turut berbahagia untuk kalian berdua. Maafin gue karena gak bisa hadir langsung di hari istimewa kalian. Gue yakin kalian akan menjadi pasangan yang hebat dan saling mendukung satu sama lain. Doa terbaik dari gue dan Bang Rumi selalu menyertai kalian. Semoga pernikahan kalian penuh berkah dan kebahagiaan. ❤️"
Syifa menekan tombol "kirim," lalu menatap layar ponselnya yang kembali ke layar utama. Ada perasaan lega yang sedikit mengalir di hatinya, meski rasa sakit itu masih ada. Setidaknya, ia bisa ikut berbagi kebahagiaan untuk Zara, meski dari kejauhan.
Tak lama kemudian, ponsel Syifa berbunyi, menandakan pesan balasan dari Zara. Syifa membuka pesan itu dengan hati-hati.
"Waalaikumsalam, Syif. Terima kasih banyak ya, sahabat gue yang sekarang malah jadi kakak ipar gue. Gue tahu kondisi lo lagi gak enak, tapi jangan pernah lupa kalo gue di sini terus ngedoain lo. Pokoknya, lo fokus untuk pulih dulu. Insya Allah, kita akan segera ketemu dan ngobrol banyak lagi. Get well soon, ya. ❤️"
Membaca pesan Zara, Syifa merasakan perasaan hangat menyelimuti hatinya. Meski duka itu masih begitu kuat, ada rasa syukur dalam hatinya karena memiliki sahabat seperti Zara yang begitu memahami dan mendukungnya. Dengan perasaan yang sedikit lebih tenang, Syifa meletakkan ponselnya kembali di samping, lalu menarik selimut, mencoba mencari kenyamanan dalam kehangatan kain itu.
Di tengah gelombang emosi yang terus menghantam, Syifa tahu bahwa hidup akan terus berjalan. Di balik setiap kepedihan, selalu ada harapan yang menunggu untuk diraih. Dan ia bertekad untuk terus berjuang, demi dirinya, demi Rumi, dan demi masa depan yang masih mungkin untuk dibangun kembali.
Selepas magrib, suasana di kamar rumah sakit yang semula sunyi mulai terasa lebih hangat ketika Papa, Ibu, Ali, dan Zara datang berkunjung. Mereka semua datang dengan satu tujuan: memberikan dukungan dan cinta yang sangat dibutuhkan oleh Syifa dalam masa-masa sulit ini. Ketika Zara melihat Syifa yang sedang terbaring lemah di tempat tidurnya, tanpa ragu-ragu ia langsung mendekat dan memeluk sahabatnya itu dengan erat.
Syifa, yang mencoba untuk menahan semua perasaan sedihnya, akhirnya tak mampu lagi membendung air matanya. Dalam pelukan Zara, tangisnya pecah, mengalir tanpa henti, seolah melepaskan semua kesedihan dan rasa sakit yang selama ini ia tahan. Zara mengusap punggung Syifa dengan lembut, membiarkan sahabatnya itu menangis, sementara ia terus memberikan dukungan dengan sentuhan penuh kasih dan doa yang tulus.
"Ssshhh, gak apa-apa Syif, semua akan baik-baik saja. Allah punya rencana yang lebih indah untuk lo dan Rumi. Gue di sini ada buat lo, selalu," bisik Zara dengan lembut, matanya juga berkaca-kaca melihat sahabatnya begitu terluka.
Di sisi lain, Ibu mendekati Syifa, duduk di sebelahnya, dan menggenggam tangannya dengan penuh kasih. Dengan suara yang lembut dan penuh kebijaksanaan, Ibu berkata, "Nak, keguguran ini bukan akhir dari segalanya. Ini adalah tanda bahwa rahimmu siap dan berfungsi sebagaimana mestinya. InsyaAllah, buah cinta kalian yang berikutnya akan tumbuh sehat dan kuat, dan suatu hari nanti kalian akan bertemu dengan Rumi Junior dan Syifa Junior." Ibu tersenyum, menyampaikan kata-katanya dengan penuh keyakinan dan harapan.
Mendengar kata-kata Ibu, Syifa mulai merasakan sedikit ketenangan. Meski hatinya masih penuh dengan rasa duka, ada secercah harapan yang mulai muncul. Senyum kecil terbit di bibirnya, meskipun air matanya masih mengalir. Ada benarnya apa yang Ibu katakan—rahimnya masih bisa berfungsi, dan peluang itu masih ada. Peluang untuk suatu hari nanti menjadi ibu, untuk membawa kebahagiaan itu ke dalam hidup mereka.
Papa juga memberikan semangat, berdiri di samping tempat tidur dengan pandangan penuh kasih sayang. "Nak, apa pun tantangan yang kalian hadapi, selama kalian masih bersama, semuanya bisa dihadapi. Tidak ada yang terlalu berat kalau kalian saling menguatkan. Ingat, kita semua di sini mendukung kalian, dan yang terpenting, kalian saling memiliki."
Syifa mengangguk pelan, merasa sedikit lebih kuat dengan kehadiran keluarganya. Mereka tidak hanya datang dengan doa dan harapan, tetapi juga dengan cinta yang tulus, yang membantunya merasa lebih aman dan didukung.
Ali, yang biasanya pendiam, juga ikut berbicara, memberikan doanya yang tulus. "Saya turut doakan yang terbaik untuk kalian. Semoga Allah memberikan kalian kekuatan dan kesabaran. Kami juga mohon doa dari kalian untuk pernikahan kami yang baru dimulai ini."