“Rasa sakit menjadi bagian dari perjalanan, ia bagaikan peta yang membuat kita sampai pada titik kekuatan yang tidak pernah kita duga.”
Pagi di rumah Syifa dan Rumi dimulai dengan keheningan yang berbeda. Udara pagi terasa segar, dan sinar matahari yang lembut menembus jendela, memberikan kehangatan di dalam rumah. Di dapur, aroma kopi yang baru diseduh dan roti panggang memenuhi udara, tetapi pagi ini terasa lebih santai bagi Syifa. Setelah melewati masa sulit, mereka telah memutuskan untuk menyewa asisten rumah tangga, yang kini membantu meringankan beban pekerjaan rumah tangga.
Syifa duduk di ruang makan, mengenakan pakaian santai, menikmati secangkir teh hangat yang disiapkan oleh asisten rumah tangga. Ia merasa sedikit lebih lega karena tidak perlu lagi memikirkan pekerjaan rumah yang biasa membuatnya lelah. Namun, meski tubuhnya mulai pulih, hatinya masih dipenuhi oleh berbagai perasaan yang sulit diungkapkan.
Sementara itu, Rumi mengawali paginya seperti biasa. Setelah shalat subuh, ia mengenakan sepatu larinya dan keluar rumah untuk jogging. Jogging pagi hari selalu menjadi caranya untuk mengosongkan pikiran dan menjaga tubuhnya tetap bugar. Namun, pagi ini, pikirannya masih tertuju pada Syifa. Ia berharap bukan hanya fisik Syifa yang membaik, tetapi juga mentalnya. Setelah keguguran yang mereka alami, Rumi tahu bahwa luka di hati Syifa membutuhkan waktu untuk pulih.
Setelah selesai jogging, Rumi kembali ke rumah dan melihat Syifa sedang duduk di ruang makan. Ia tersenyum, meski hatinya masih diliputi kekhawatiran. "Pagi, Sayang. Gimana tidurnya? Sudah merasa lebih baik?" tanyanya dengan lembut, sambil mencium kening Syifa.
Syifa tersenyum kecil. "Pagi, Bang. Tidurnya lumayan. Alhamdulillah, ada Bu Siti yang bantuin, jadi lebih santai," jawabnya, meski ada keraguan dalam suaranya.
Rumi mengangguk, merasa sedikit lega bahwa Syifa tidak perlu merasa terbebani dengan pekerjaan rumah. Namun, ia tetap memperhatikan ekspresi Syifa yang masih tampak muram. "Kalau kamu mau, Abang bisa izin kerja hari ini, nemenin di rumah," tawar Rumi, meski ia tahu Syifa mungkin tidak akan menyetujuinya.
Syifa menggeleng pelan. "Enggak perlu, Bang. Abang kerja aja. Syifa baik-baik aja di rumah."
Rumi tersenyum dan mengangguk, meski di dalam hatinya masih ada kekhawatiran yang tersisa. Sebelum berangkat kerja, ia mendekati Syifa dan memberikan pelukan hangat. "Kalau ada apa-apa, langsung telepon Abang, ya. Jangan dipendam sendiri."
Syifa mengangguk lagi, meski ia sendiri masih merasa bingung tentang apa yang harus ia lakukan hari ini. Setelah Rumi berangkat kerja, Syifa duduk di ruang tamu sejenak, lalu memutuskan untuk kembali ke kamar. Ia tahu Rumi belum mengizinkannya untuk kembali ke florist, dan sejujurnya, ia juga merasa belum siap untuk kembali bekerja.
Di kamar, Syifa duduk di atas tempat tidur dengan ponselnya di tangan. Ia mencoba mengalihkan pikirannya dengan menonton beberapa video di YouTube dan menggulir media sosial, tetapi entah kenapa, konten yang muncul di berandanya hari ini kebanyakan tentang dokumentasi ibu hamil, persiapan melahirkan, dan momen-momen kebahagiaan saat menyambut bayi baru.
Syifa menatap layar ponselnya dengan campuran perasaan yang rumit. Di satu sisi, ia merasa senang melihat kebahagiaan orang lain, tetapi di sisi lain, ada perasaan sedih yang mendalam karena ia sendiri belum bisa berada di posisi itu. Matanya mulai berkaca-kaca, dan ia merasa ada sesuatu yang berat di dalam dadanya.
Syifa meletakkan ponselnya di samping dan menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan diri. Namun, perasaan hampa itu tetap ada, seolah-olah tidak bisa dihilangkan begitu saja. Meski ia berusaha keras untuk tidak memikirkannya, bayangan tentang apa yang seharusnya bisa ia miliki—kebahagiaan menjadi seorang ibu—terus menghantui pikirannya.
Hari ini terasa panjang bagi Syifa. Ia merasa bingung dan tidak tahu apa yang harus ia lakukan untuk mengisi waktu yang seakan-akan berjalan begitu lambat. Ia hanya bisa berdoa dalam hati, memohon kekuatan untuk bisa melalui semua ini, sambil menunggu waktu berlalu hingga Rumi pulang ke rumah, berharap kehadiran suaminya bisa memberikan sedikit kelegaan dalam hatinya yang masih rapuh.