"Pulih memberimu hadiah kedua untuk hidup, kesempatan untuk mengisi setiap hari dengan makna yang lebih dalam."
Setelah menjalani pola hidup sehat yang telah direncanakannya, Syifa awalnya merasa lebih segar dan energik. Namun, belakangan ini, tubuhnya mulai menunjukkan tanda-tanda kelelahan yang tidak biasa. Tubuh yang sebelumnya terasa lebih bugar kini sering kali lemas, dan kepala Syifa sering kali terasa pusing. Meski begitu, Syifa berusaha sekuat tenaga untuk terlihat baik-baik saja di depan Rumi. Ia tidak ingin membuat suaminya khawatir, terutama karena ia tahu betapa Rumi sangat peduli padanya.
Setiap pagi, Syifa memasang senyum terbaiknya, menyembunyikan rasa tidak enak badan yang sebenarnya ia rasakan. Ketika Rumi pergi bekerja, Syifa berusaha meyakinkan dirinya sendiri bahwa istirahat di rumah sudah cukup untuk mengembalikan staminanya. Namun, kenyataannya, tubuhnya semakin melemah, dan ia semakin kesulitan untuk menjalani aktivitas sehari-hari. Nafsu makan pun menurun drastis, membuatnya semakin khawatir dengan kondisi tubuhnya.
Hari itu, setelah Rumi berangkat ke kantor, Syifa mencoba melanjutkan rutinitas hariannya. Namun, rasa lemas yang menyergap tubuhnya semakin parah. Kepalanya terasa berat, dan setiap langkah yang diambilnya terasa seperti beban. Syifa tahu ada yang tidak beres, tetapi ia masih berusaha bertahan, berharap bahwa mungkin ini hanya sementara.
Namun, semakin siang, tubuhnya semakin tidak kuat. Napasnya terasa pendek, dan ia merasa pusing yang hebat. Akhirnya, dengan sisa tenaga yang ada, Syifa mengambil ponselnya dan mengetik pesan singkat kepada Rumi, meski tangannya bergetar.
"Bang, bisa pulang sekarang? Syifa gak enak badan," tulisnya singkat.
Syifa terbaring di sofa, ponselnya masih di genggaman, berharap Rumi akan segera melihat pesannya. Tidak butuh waktu lama, ponselnya berbunyi tanda pesan masuk. Rumi segera membalas dengan nada cemas.
"Ada apa, Sayang? Abang segera pulang."
Rumi merasa kaget dan cemas. Pagi tadi, Syifa terlihat baik-baik saja, tidak menunjukkan tanda-tanda bahwa ia merasa tidak enak badan. Namun, pesan singkat dari Syifa membuatnya sangat khawatir. Tanpa berpikir panjang, Rumi segera meninggalkan pekerjaannya dan bergegas pulang.
Sementara itu, di rumah, Syifa berusaha menenangkan dirinya sendiri, meskipun tubuhnya semakin melemah. Ia menatap ke arah pintu, menunggu kedatangan Rumi dengan harapan bahwa suaminya akan segera tiba dan membantunya melalui situasi ini. Perasaannya campur aduk, antara takut dan cemas dengan apa yang sedang terjadi pada tubuhnya. Namun, ia terus berusaha berpikir positif, bahwa Rumi akan segera ada di sisinya dan mereka akan mencari solusi bersama.
Tidak lama kemudian, suara langkah kaki Rumi terdengar di depan pintu. Syifa merasa sedikit lega, meskipun tubuhnya masih terasa sangat lemah.
Rumi memasuki rumah dengan langkah cepat, hatinya dipenuhi kecemasan yang semakin menguat sejak menerima pesan singkat dari Syifa. Ia langsung menuju kamar, tempat yang ia yakini Syifa akan beristirahat. Ketika membuka pintu, pemandangan yang ia lihat membuat hatinya mencelos.
Syifa terbaring lemah di atas tempat tidur, wajahnya pucat dan matanya tampak berat. Napasnya terdengar pelan dan teratur, tetapi jelas ada ketidaknyamanan yang terpancar dari setiap gerakan tubuhnya. Rumi segera mendekat, duduk di sisi tempat tidur, dan menggenggam tangan Syifa dengan lembut.
"Sayang, Abang sudah di sini," ucap Rumi dengan suara tenang, meskipun hatinya sedang berkecamuk. Ia mencoba tersenyum untuk memberikan rasa tenang kepada Syifa, tetapi rasa khawatir tak bisa disembunyikan dari matanya. "Abang hubungi dokter sekarang juga, ya. Kita pastikan kamu baik-baik saja."
Syifa hanya mengangguk pelan, terlalu lemah untuk berkata banyak. Ia merasakan kehangatan dari genggaman tangan Rumi, dan itu memberinya sedikit rasa aman di tengah kondisi tubuhnya yang melemah.
Rumi segera mengambil ponselnya dan menghubungi seorang dokter perempuan yang sudah menjadi bagian dari fasilitas di kantor untuk Rumi dan Syifa sejak Rumi dinyatakan resmi menjadi pimpinan di perusahaan.
Ia berharap dokter ini bisa segera datang ke rumah untuk memeriksa kondisi Syifa. "Dokter, ini Rumi. Saya minta tolong, istri saya, Syifa, sedang tidak enak badan. Bisakah dokter datang ke rumah sekarang?" pintanya dengan nada yang jelas penuh kekhawatiran.
Dokter di seberang sana merespons dengan cepat. "Baik, saya akan segera ke sana. Tolong tenang, saya akan tiba secepat mungkin."
Rumi mengucapkan terima kasih dan menutup telepon, lalu kembali duduk di samping Syifa. Tak lama kemudian, Bu Siti, asisten rumah tangga mereka, datang dengan secangkir teh hangat. Ia dengan penuh perhatian menyerahkan cangkir itu kepada Rumi. "Ini, Mas Rumi. Saya sudah buatkan teh hangat untuk Mbak Syifa. Semoga bisa sedikit membantu."