“Tidak ada musik yang lebih manis daripada bayangan tawa yang akan kamu bawa ke dalam rumah kami.”
Setelah makan siang, Rumi segera pulang dari kantor untuk menjemput Syifa dan membawanya ke dokter kandungan. Meski tubuh Syifa masih terasa lemas, tetapi semangat dan kebahagiaan yang baru saja ia rasakan memberikan energi baru yang tak terduga. Rasa lemah itu seolah tergantikan oleh harapan dan kebahagiaan yang membuncah di dalam hatinya. Setiap kali ia merasakan sedikit kelemahan, ia hanya perlu meletakkan tangan di perutnya, mengusap lembut, dan merasakan kehangatan dari kemungkinan bahwa kehidupan baru sedang tumbuh di dalam dirinya.
Rumi tiba di rumah dengan senyum yang tak bisa ia sembunyikan. Begitu melihat Syifa yang sudah bersiap di ruang tamu, meski dengan langkah yang sedikit tertatih, Rumi segera mendekat dan menggenggam tangannya dengan penuh kasih. "Kamu siap, Sayang?" tanya Rumi dengan lembut.
Syifa mengangguk pelan, senyumnya tidak pernah pudar sejak pagi itu. "Iya, Bang. Syifa sudah siap. Semoga kabar dari dokter nanti benar-benar melengkapi kebahagiaan kita."
Rumi meremas tangan Syifa dengan lembut, memberikan dukungan tanpa kata. Ia membantu Syifa berdiri dan mengarahkannya ke mobil. Sepanjang perjalanan menuju klinik, mereka berdua saling diam tetapi penuh dengan harapan. Syifa tak henti-hentinya mengusap perutnya yang masih rata, berharap bahwa ada keajaiban kecil yang sedang berkembang di sana.
"Ya Allah, semoga ini benar-benar kehamilan yang ditunggu-tunggu. Jaga anak kami, jadikan ia sehat dan kuat," doa Syifa dalam hati, sementara matanya menatap keluar jendela mobil, membayangkan masa depan yang penuh kebahagiaan dengan keluarga kecil mereka.
Rumi, di sampingnya, juga terus berdoa dalam hati. Ia tak henti-hentinya bersyukur atas anugerah ini, berharap bahwa perjalanan ke dokter kandungan kali ini akan membawa kabar yang benar-benar baik untuk mereka.
Setibanya di klinik, Rumi membantu Syifa turun dari mobil dan berjalan perlahan masuk ke dalam. Syifa merasa tenang karena ada Rumi di sisinya, dan keyakinannya semakin kuat. Mereka masuk ke ruang tunggu, dan Rumi menggenggam tangan Syifa sepanjang waktu, memberikan rasa aman dan kepercayaan diri kepada istrinya.
Ketika giliran mereka tiba, Syifa dan Rumi dipersilakan masuk ke dalam ruang pemeriksaan. Dokter kandungan menyambut mereka dengan senyum hangat, tahu betul betapa pentingnya momen ini bagi pasangan muda ini.
"Bagaimana kabarnya, Ibu Syifa? Sudah siap untuk kita periksa?" tanya dokter dengan nada ramah, sambil mempersiapkan alat ultrasonografi.
Syifa mengangguk, meskipun hatinya berdebar kencang. Ia berbaring di tempat tidur pemeriksaan, dan Rumi tetap berada di sampingnya, menggenggam tangan Syifa untuk memberikan kekuatan.
Saat dokter mulai memeriksa, suasana dalam ruangan itu terasa penuh dengan harapan. Detik-detik berlalu dengan perlahan, dan mereka berdua menunggu dengan harap-harap cemas. Syifa memejamkan matanya sejenak, berdoa dalam hatinya agar semua berjalan baik.
Dan kemudian, dokter tersenyum. "Alhamdulillah, ini kabar baik. Ibu Syifa, Bapak Rumi, selamat, Anda berdua akan menjadi orang tua. Ini benar-benar awal kehamilan, dan semuanya terlihat baik sejauh ini."
Mata Syifa langsung basah dengan air mata bahagia. Ia menoleh ke arah Rumi, yang juga tak bisa menahan senyum lebarnya. Keduanya saling menatap dengan penuh kebahagiaan dan keharuan yang luar biasa. Mereka tahu bahwa ini adalah awal dari perjalanan baru yang akan mereka jalani bersama, dan mereka siap untuk menghadapi setiap tantangan yang mungkin datang dengan penuh cinta dan syukur.
Setelah menerima kabar bahagia dari dokter kandungan, Syifa merasa perlu segera memberitahukan kabar gembira ini kepada sahabat dekatnya, Zara. Dengan tangan yang masih sedikit gemetar karena kebahagiaan, Syifa mengambil ponselnya dan menelepon Zara yang kini tinggal di Jerman bersama suaminya, Ali.
"Assalamualaikum, Zara!" sapa Syifa dengan suara ceria yang penuh semangat.
"Waalaikumussalam, Syifaaa! Kok ceria banget nih? Ada kabar apa nih?" tanya Zara dengan nada penasaran.
Syifa tidak bisa menahan senyumnya saat ia menjawab, "Zara, Alhamdulillah... Gue hamil! Dokter tadi bilang semuanya baik-baik saja. Gue gak sabar buat kasih kabar ini sama lo!"
Zara di seberang sana terdiam sesaat sebelum terdengar suara penuh kegembiraan, "MasyaAllah, Syifa! Selamat ya, gue ikut bahagia banget! Alhamdulillah, Allah kasih lo kepercayaan lagi untuk jadi ibu. Gue yakin kali ini semuanya akan baik-baik saja."
"Thank you, Zar," jawab Syifa dengan air mata haru yang mulai mengalir di pipinya. "Gue juga harap semuanya berjalan lancar. Gimana kabar lo? Gimana kehidupan baru di Jerman?"
Zara dengan semangat mulai menceritakan kehidupannya bersama Ali di Jerman. Meski jauh dari tanah air, Zara merasa sangat bersyukur dan bahagia karena mereka saling mendukung dan menjalani kehidupan baru dengan penuh cinta. Ia menceritakan bagaimana ia mulai terbiasa dengan budaya baru, dan bagaimana Ali selalu ada di sisinya, membuat transisi ke kehidupan baru di negara asing menjadi lebih mudah.
Hari-hari Syifa terasa begitu indah setelah kabar kehamilannya. Kondisinya yang semakin membaik membuatnya kembali menjalani aktivitas sehari-hari dengan semangat baru.
Setiap pagi, Rumi selalu mengantar Syifa ke florist sebelum berangkat ke kantor, dan pada sore hari, mereka selalu pulang bersama. Kebersamaan mereka semakin erat, dan tak ada satu pun momen yang ingin mereka lewatkan tanpa satu sama lain. Kehamilan ini menjadi pengikat yang semakin memperkuat cinta mereka, membuat mereka semakin tidak terpisahkan.
Tak terasa, kehamilan Syifa sudah memasuki bulan ketujuh. Perutnya kini membulat dengan jelas, dan setiap gerakan bayi di dalam rahimnya selalu menjadi momen yang penuh keajaiban bagi Syifa dan Rumi. Papa, yang selalu memperhatikan perkembangan kehamilan Syifa, suatu hari menghubungi Rumi dan memberikan usul agar mereka mengadakan acara 7 bulanan.
"Rumi, sudah bulan ketujuh ini, ya?" tanya Papa saat mereka berbicara melalui telepon.