“Boleh sedih, tapi jangan berhenti melangkah.”
Belum sampai ke rumah, ponsel Syifa berdering, mengusik suasana tenang di dalam mobil. Nada dering itu menandakan panggilan yang ia kenal. Syifa menatap layar dengan ragu, jemarinya sedikit gemetar sebelum mengangkatnya.
"Assalamualaikum," suara Syifa terdengar lemah, mencoba menebak apa yang akan dibicarakan.
“Waalaikumussalam. Apakah ini benar dengan Ibu Syifa Azalea?” suara seorang pria terdengar serius dan formal. Itu jelas bukan suara yang akrab di telinganya.
“Iya, benar.” Syifa menjawab dengan cemas, hatinya mulai berdegup lebih cepat, seolah ia sudah bisa merasakan bahwa kabar yang ia terima tidak akan mudah.
“Kami dari pihak kepolisian. Kami membutuhkan kehadiran Anda segera di kantor polisi tempat Mas Kala ditahan. Ada hal yang perlu dibicarakan. Harap segera datang.” Suara itu begitu tegas, tak memberikan ruang bagi Syifa untuk bertanya lebih lanjut.
Syifa terdiam sesaat, matanya melebar, berusaha mencerna kata-kata yang baru saja ia dengar. Hatinya langsung tenggelam dalam lautan kekhawatiran. Mas Kala... Apa yang terjadi lagi sekarang?
"Ada apa, Sayang?" tanya Rumi, yang menyadari perubahan wajah istrinya. Ia melirik Syifa dari sudut matanya, perasaan waswas mulai merayap.
Syifa menelan ludah, merasa tenggorokannya kering. "Itu... dari polisi. Mereka... mereka minta kita ke kantor polisi sekarang. Ini soal Mas Kala," ucapnya dengan suara pelan, hampir berbisik.
Rumi mengerutkan kening, menghela napas panjang. “Baiklah, kita balik arah sekarang.” Ia berusaha tetap tenang, meskipun di dalam hatinya, ada berbagai pertanyaan yang berkecamuk.
Suasana di dalam mobil berubah menjadi sunyi. Udara terasa berat, dan ketegangan merasuki setiap inci ruang di antara mereka. Lampu-lampu jalan berkelebat di kaca jendela, tapi pikiran Syifa melayang jauh, memikirkan apa yang mungkin terjadi. Rumi menggenggam tangan Syifa erat, mencoba memberikan sedikit ketenangan, meski ia sendiri belum bisa menyembunyikan kecemasannya.
Beberapa saat kemudian, mereka tiba di kantor polisi. Bangunan itu terasa lebih dingin dan asing dari biasanya, mungkin karena situasi yang mereka hadapi. Langkah-langkah mereka terdengar bergema saat memasuki ruangan dengan pencahayaan suram. Udara di sana terasa tegang.
"Selamat sore, Ibu Syifa?" seorang petugas menyapa mereka dengan anggukan sopan.
"Iya, saya Syifa. Ada apa sebenarnya dengan Mas Kala?" Syifa berusaha menahan nadanya agar tetap tenang.
Petugas itu mengangguk, lalu memberikan isyarat kepada mereka untuk mengikuti ke dalam ruangan kecil. Di sana, mereka diminta duduk berhadapan dengan seorang polisi yang sudah menunggu.
“Terima kasih sudah datang. Kami mengerti ini situasi yang sulit bagi Anda. Namun, ada perkembangan terkait Mas Kala yang perlu kami sampaikan.”
Syifa dan Rumi saling pandang, seolah mencoba membaca pikiran satu sama lain.
Polisi mulai menjelaskan dengan nada serius, “Mas Kala sebelumnya sempat mengamuk, penuh amarah hingga melukai sesama tahanan. Kami sudah mencoba memisahkannya, namun kejadian serupa terus terulang. Satu kata yang selalu keluar dari mulutnya, hanya 'maaf', diulang berkali-kali.”
Petugas itu berhenti sejenak, melihat ekspresi Syifa yang mulai tegang. “Kondisinya semakin mengkhawatirkan. Kami terpaksa mengikatnya, karena dia tak lagi bisa dikendalikan. Kami rasa, langkah terbaik adalah membawanya untuk mendapatkan perawatan di rumah sakit jiwa.”
Syifa terdiam, tubuhnya terasa lemas seakan disambar oleh berita yang baru saja ia dengar. Suara polisi seakan menjadi gema yang membekukan, mengisi ruang kosong di benaknya. Kata-kata "mengamuk", "melukai", dan "maaf" berputar di kepalanya seperti aliran yang tak bisa dihentikan. Napasnya mulai tersengal, dada terasa sesak. Tangannya gemetar di atas pangkuannya, seolah tak tahu harus berpegangan pada apa.
Wajahnya memucat, tak ada sepatah kata pun keluar dari mulutnya. Mata Syifa menatap kosong ke arah meja di depannya, seolah mencari jawaban di sana, namun tak ada yang bisa memberinya kelegaan. Ia tak pernah membayangkan bahwa situasi akan menjadi separah ini.
Rumi merasakan kegelisahan yang menjalar di tubuh istrinya, ia pun meraih tangan Syifa, meremasnya lembut, mencoba memberikan kekuatan. Namun, Syifa tetap diam. Pikirannya berkecamuk antara rasa bersalah, kebingungan, dan ketidakmampuan memahami apa yang sebenarnya terjadi pada kakaknya. Setiap kata dari polisi seolah menusuk hatinya lebih dalam. "Perawatan rumah sakit jiwa", "terpaksa diikat", kata-kata itu terasa begitu asing dan menyeramkan, seolah kakaknya telah kehilangan dirinya sendiri.
Air mata mulai mengalir tanpa suara dari sudut mata Syifa. Ia berusaha menahan, tapi tak mampu. Ia merasa terjebak di antara cinta yang masih tersisa untuk seorang kakak dan rasa takut yang tak bisa diabaikan. "Kenapa ini harus terjadi?" pikirnya, kepalanya menunduk perlahan. Ia merasa seperti dunia di sekitarnya runtuh, seolah semua beban yang dulu sudah begitu berat kini bertambah berkali-kali lipat.
“Apa yang sebenarnya terjadi pada Mas Kala?” bisiknya pelan, hampir tak terdengar.
Rumi mendekatkan wajahnya, menatap Syifa yang begitu hancur. "Kita akan cari tahu, Sayang. Abang ada di sini bersamamu," bisik Rumi lembut, suaranya penuh ketulusan. Tapi Syifa tetap tak bisa menyingkirkan rasa kosong yang kini menguasai hatinya.
Di antara isakan kecil yang mulai tertahan, Syifa hanya bisa menggigit bibirnya, mencoba menenangkan diri. Tapi hatinya... hatinya terasa pecah. Bagian dirinya yang masih mencoba memaafkan Mas Kala kini dipenuhi oleh rasa takut yang luar biasa.
Syifa merasa bersalah yang begitu dalam. Penyesalan menggerogoti hatinya karena selama ini ia tak pernah mau menemui Mas Kala, tak memberinya kesempatan untuk menjelaskan kejadian yang telah begitu melukai dirinya. Semua beban itu terasa begitu berat kini. Ia berusaha menenangkan diri, tapi usahanya sia-sia. Hatinya kacau, seolah diselimuti oleh badai emosi yang tak bisa ia kendalikan.
“Bagaimana pun, kami mengikuti saja prosedurnya,” ucap Syifa dengan suara gemetar. Ia tak tahu apa lagi yang bisa dilakukan selain mengikuti aturan yang berlaku. Polisi pun memberikan izin agar Syifa bisa melihat Mas Kala dari kaca kecil yang ada di pintu sel isolasi.
Dengan langkah berat, Syifa mendekati kaca itu. Jantungnya berdegup kencang, dan sekujur tubuhnya terasa dingin. Ketika matanya menatap melalui kaca kecil itu, pemandangan di depannya meremukkan hatinya. Mas Kala, kakaknya , kini tampak tak lagi seperti manusia. Tangan dan kakinya diikat, tubuhnya terkulai lemah di sudut ruangan. Wajahnya penuh luka, namun sorot matanya kosong, tanpa ekspresi. Hanya bisikan lirih kata “maaf” yang keluar dari mulutnya, berulang-ulang.
Syifa berusaha menahan tangis, menggigit bibirnya keras-keras untuk menekan emosi yang meluap di dalam dadanya. Namun, melihat Mas Kala seperti itu, hatinya runtuh. Ia tak sanggup lagi. Tangisnya pecah seketika. Tubuhnya bergetar, air mata mengalir deras, membasahi wajahnya.
Tak pernah terlintas dalam pikirannya, kakaknya kini berada dalam kondisi seburuk ini. Rasa sesal menyelimuti hatinya, seakan menghukum dirinya sendiri. Kenapa ia begitu keras pada Mas Kala? Kenapa ia menutup pintu maaf selama ini?
“Aku tak menyangka akan melihatnya seperti ini...,” bisik Syifa, hampir tak terdengar.
Polisi melanjutkan dengan suara tenang namun tegas, “Besok kami akan memindahkan Mas Kala ke rumah sakit jiwa untuk perawatan lebih lanjut. Kami akan memastikan kondisinya diawasi dengan ketat.”
Syifa hanya bisa mengangguk pelan. Hatinya terasa semakin kacau. Perasaan bersalah, marah, sedih, semuanya bercampur menjadi satu. Ia tak bisa berkata apa-apa, dan hanya memaksakan diri untuk mengucapkan terima kasih pada polisi sebelum pamit pulang.
Sepanjang perjalanan, suasana hening menyelimuti. Rumi yang duduk di sebelah Syifa tak bisa berkata apa-apa, ia hanya menggenggam erat tangan istrinya, mencoba menenangkan tanpa kata-kata. Ia tahu, apapun yang dikatakan saat ini tidak akan bisa menghapus apa yang baru saja mereka saksikan. Diam adalah satu-satunya pilihan yang bisa ia lakukan untuk memberi Syifa ruang meresapi semuanya.
Setibanya di rumah, Syifa langsung menuju kamar tanpa sepatah kata pun. Rumi hanya memandangnya, tak tahu bagaimana harus menghibur istrinya yang jelas sedang larut dalam emosi yang berat. Ia pun memilih memberikan waktu bagi Syifa untuk mencerna apa yang baru saja mereka lalui.
Di kamar, Syifa duduk di tepi ranjang, menatap kosong ke arah dinding. Pikirannya penuh, bercampur dengan bayangan wajah Mas Kala yang ia lihat di sel tadi. Rasa bersalah terus menghantui, menghancurkan pertahanan emosinya sedikit demi sedikit.
Rumi, meski tak ingin membiarkan Syifa merasa sendirian, tetap menghormati ruangnya. Mereka beristirahat dalam diam, masing-masing dengan pikiran yang berputar, berusaha memahami dan menerima kenyataan yang baru saja menampar mereka dengan keras.
Sesekali, Syifa merasakan kontraksi halus di perutnya, seperti tanda kecil dari janin yang ia kandung. Di tengah kepedihan dan kebingungan yang melingkupinya, ia hanya bisa mengusap perutnya dengan lembut, mencoba menenangkan diri sendiri dan bayinya.