“Rencana mungkin berubah, tapi cinta dan keyakinan tidak, bahkan saat dunia terasa berjalan lebih cepat dari waktunya."
Pagi itu, suasana di rumah Syifa dan Rumi terasa sangat berbeda. Sarapan yang biasanya dipenuhi dengan obrolan hangat kini berubah menjadi canggung. Syifa, yang biasanya ceria dan penuh semangat, kini duduk dengan wajah yang kaku, tatapannya kosong menatap piring di depannya. Rumi, di sisi lain, mencoba menghidupkan suasana dengan kata-kata lembut, meskipun ia tahu bahwa kabar keberangkatannya ke Turki masih berat diterima oleh istrinya.
"Sayang, hanya satu minggu, setelah itu Abang pulang dan siap menanti kelahiran anak kita," ucap Rumi, suaranya dipenuhi dengan harapan bahwa kata-katanya akan menenangkan hati Syifa.
Namun, Syifa hanya diam, wajahnya tetap kaku tanpa ekspresi. Meski hatinya bergejolak, ia merasa sulit untuk berbicara atau mengungkapkan apa yang sebenarnya ia rasakan. Ketakutan dan kekhawatiran terus menguasai pikirannya.
Merasa tidak ada yang bisa ia lakukan untuk mengubah suasana pagi itu, Rumi akhirnya berdiri dan berpamitan untuk berangkat ke kantor. "Abang pamit dulu ya, Sayang. Hati-hati di rumah."
Syifa mengangguk pelan, tanpa mengucapkan sepatah kata pun. "Hati-hati, Bang," jawabnya singkat, tanpa semangat.
Perjalanan Rumi menuju kantor terasa berbeda dari biasanya. Jalanan yang setiap hari ia lewati kini terasa lebih panjang, seolah setiap kilometer yang ia tempuh membawa beban berat di hatinya. Perasaan cemas dan bingung terus menggelayuti pikirannya. Rumi tahu bahwa kesempatan ke Turki ini adalah sesuatu yang sangat ia perjuangkan, namun melihat kondisi Syifa yang begitu terpukul membuatnya ragu apakah keputusan ini benar.
Sesampainya di kantor, Rumi merasa semakin gelisah. Ia tahu bahwa ia perlu berbicara dengan seseorang, dan satu-satunya orang yang bisa ia mintai pendapat adalah papa. Dengan segera, ia menghubungi papa dan meminta waktu untuk berbicara.
Tak lama kemudian, di ruang kantor Rumi, papa duduk di depannya, mendengarkan dengan seksama apa yang sedang Rumi hadapi. Setelah mendengar semua cerita, papa hanya bisa menarik napas panjang, merasa ikut bingung dengan situasi ini.
"Ikuti kata hatimu, Rumi," ucap papa akhirnya, meski ia sendiri tahu bahwa kata-kata itu tidak banyak membantu. Papa mengerti betapa pentingnya perjalanan ke Turki ini bagi Rumi, namun ia juga paham bahwa kehadiran Rumi di samping Syifa, terutama saat kehamilan Syifa sudah memasuki tahap yang begitu krusial, adalah hal yang sangat penting.
Rumi menunduk, merasa semakin terbebani oleh keputusan yang harus ia ambil. "Hanya seminggu, Pa," ucapnya pelan, seolah mencari pembenaran untuk keputusan yang telah ia buat.
Papa tersenyum, namun senyumnya penuh dengan keraguan. "Nanti papa dan ibu main ke rumah kalian ya, Rumi. Kita temani Syifa bersama-sama," ucap papa mencoba menenangkan Rumi.
Rumi mengangguk, merasa sedikit terhibur oleh dukungan papa. Namun, hatinya masih diliputi oleh keraguan dan kekhawatiran. Ia tahu bahwa apapun yang ia pilih, akan ada konsekuensi yang harus dihadapi. Dengan perasaan yang campur aduk, Rumi berusaha untuk tetap fokus pada pekerjaannya, meskipun bayangan Syifa di rumah terus menghantuinya.
Hari itu terasa begitu panjang bagi Rumi, namun ia tahu bahwa apapun yang terjadi, ia harus segera mengambil keputusan dan siap dengan segala kemungkinan yang akan datang. Sebagai seorang suami dan calon ayah, Rumi hanya bisa berharap bahwa ia bisa menjadi pelindung dan pendukung terbaik bagi Syifa, meskipun jalan yang harus ia tempuh terasa begitu sulit.
Rumi pulang ke rumah dengan perasaan berat, pikirannya masih dipenuhi dengan percakapan terakhirnya dengan papa. Ketika ia membuka pintu depan, suasana rumah terasa sepi. Biasanya, Syifa yang pertama menyambutnya dengan senyum dan pelukan hangat, namun kali ini, tidak ada tanda-tanda Syifa di depan pintu.
Rumi meletakkan tas kerjanya di meja dan berjalan pelan menuju kamar mereka. Ketika pintu kamar terbuka, ia melihat Syifa sedang tiduran di tempat tidur, membelakangi arah pintu. Jantung Rumi berdetak lebih cepat, merasa cemas dengan keadaan Syifa. Ia berjalan mendekat dan mencoba menyapanya dengan lembut.
"Sayang, Abang sudah pulang," ucap Rumi, suaranya lembut, berharap mendapatkan respons dari Syifa.
Namun, Syifa tetap diam, tidak ada tanggapan dari dirinya. Rumi tahu bahwa Syifa masih belum bisa menerima kenyataan bahwa ia akan berangkat ke Turki besok. Merasa cemas dan sedih, Rumi memutuskan untuk mandi terlebih dahulu, mencoba menyegarkan pikiran dan tubuhnya yang lelah.
Setelah mandi, Rumi kembali ke kamar dan duduk di pinggir tempat tidur, dekat dengan Syifa. Ia menatap punggung istrinya yang tampak begitu rapuh, dan hatinya semakin hancur melihat Syifa dalam keadaan seperti ini.
"Sayang, please... besok Abang berangkat. Abang sedih kalau harus pergi dengan keadaan kita seperti ini," ucap Rumi dengan suara lirih, berharap bisa melembutkan hati Syifa.
Syifa tetap membelakangi Rumi, namun kali ini ia tidak bisa menahan kata-kata yang terlintas di pikirannya. "Ya Abang nggak usah berangkat," ucapnya singkat, suaranya terdengar datar namun sarat dengan emosi yang tertahan.
Rumi terdiam, merasa hatinya semakin terhimpit oleh rasa bersalah. Ia tahu bahwa keputusannya untuk pergi ke Turki telah membuat Syifa terluka, dan mendengar Syifa mengucapkan kata-kata itu hanya menambah beban di hatinya.
"Sayang...," Rumi mencoba berbicara lagi, namun kata-katanya terhenti di tenggorokan. Ia merasa sulit untuk menjelaskan situasinya kepada Syifa tanpa membuatnya semakin terluka. "Abang tahu ini berat buat kamu... tapi ini cuma seminggu, dan Abang janji akan pulang secepat mungkin."
Syifa tetap diam, tidak ada respons. Rumi bisa merasakan betapa Syifa sedang berjuang dengan perasaannya sendiri. Hati Rumi semakin hancur melihat istrinya yang biasanya kuat, kini begitu rapuh.
"Abang nggak akan pernah meninggalkan kamu, Sayang. Abang hanya pergi untuk waktu yang sangat singkat... dan saat Abang kembali, kita akan menunggu kelahiran anak kita bersama-sama, seperti yang sudah kita impikan," lanjut Rumi, suaranya terdengar penuh dengan rasa harap.
Namun, Syifa hanya menutup matanya, air mata mulai mengalir di pipinya. "Kenapa harus sekarang, Bang... di saat Syifa benar-benar butuh Abang di sini? Apalagi baru dapat kabar tentang Mas Kala yang itu aja udah menguras energi Syifa apalagi ditambah Abang mau pergi," ucap Syifa pelan, suaranya bergetar menahan tangis.