"Tak semua rencana berjalan sesuai harapan, tapi kita selalu bisa menyesuaikan hati untuk menerimanya dengan lapang dada."
"Janinnya harus segera dilahirkan, Bu Syifa," ujar dokter dengan tegas, namun lembut. "Kita punya dua pilihan, apakah mau dilakukan induksi dulu atau mau langsung operasi. Kami butuh keputusan segera."
Mendengar itu, Syifa merasa dunianya runtuh. Ia bingung dan semakin takut. Pilihan itu terasa begitu berat baginya, dan ia merasa tidak sanggup membuat keputusan dalam keadaan seperti ini. Tubuhnya semakin melemas, dan ia merasakan ketidakberdayaan yang sangat mendalam.
Bu Siti, yang berada di sampingnya, menggenggam tangan Syifa dengan penuh kepedulian. "Neng Syifa, tenang dulu ya, kita bisa hubungi Bang Rumi dan papanya untuk bantu memutuskan," ujarnya sambil menatap Syifa dengan tatapan menenangkan.
Syifa mengangguk lemah, merasa sedikit lebih tenang meskipun hatinya masih dipenuhi rasa takut. "Bu Siti, tolong hubungi Bang Rumi dan papa ya... Syifa nggak bisa memutuskan sendiri," pintanya dengan suara yang hampir tercekik oleh tangis.
Bu Siti segera mengeluarkan ponselnya dan menghubungi Rumi lebih dulu. Sementara itu, Syifa berusaha menenangkan dirinya, meski air mata terus mengalir. Dalam hatinya, ia terus berharap bahwa Rumi bisa segera datang dan memberikan kekuatan yang ia butuhkan.
Tak lama kemudian, Bu Siti juga menghubungi papa, menjelaskan situasi yang terjadi. Syifa hanya bisa menunggu dengan harap-harap cemas, berusaha mengumpulkan sisa-sisa kekuatannya untuk menghadapi apa pun yang akan terjadi. Namun, di dalam hatinya, ia sangat berharap ada Rumi di sisinya, memegang tangannya, dan memberikan dukungan yang ia butuhkan lebih dari apa pun saat ini.
Bu Siti mencoba menghubungi Rumi berkali-kali, namun teleponnya tidak diangkat. Wajahnya semakin cemas, tapi ia berusaha tetap tenang agar tidak membuat Syifa semakin panik. "Neng, Bang Rumi belum bisa dihubungi. Mungkin sedang dalam perjalanan atau sudah ada di pesawat," ujar Bu Siti sambil menggenggam tangan Syifa dengan erat.
Syifa semakin lemas, hatinya semakin diliputi kekhawatiran. Ketika Bu Siti beralih untuk menghubungi papa, ia berharap setidaknya papa bisa memberikan arahan atau dukungan yang ia butuhkan. Telepon pun berdering beberapa kali sebelum akhirnya papa mengangkat.
"Halo, Bu Siti, ada apa? Bagaimana keadaan Syifa?" tanya papa dengan nada cemas.
"Pak, Syifa sekarang ada di UGD. Ketubannya pecah, dan dokter bilang janinnya harus segera dilahirkan. Syifa bingung harus memilih antara induksi atau operasi," jelas Bu Siti dengan suara yang sedikit gemetar.
"Ya Allah... Saya dan ibu segera ke rumah sakit. Kami akan tiba secepat mungkin," jawab papa dengan nada yang penuh kepanikan namun berusaha tenang. "Saya coba hubungi Rumi juga."
Papa pun segera mencoba menghubungi Rumi dari ponselnya, tetapi sama seperti Bu Siti, ia juga tidak mendapatkan respons. Setiap panggilan yang tidak diangkat membuat jantungnya semakin berdebar kencang, memikirkan apa yang mungkin terjadi jika mereka tidak segera tiba.
Sementara itu, di rumah sakit, Syifa merasakan tekanan yang luar biasa. Tubuhnya terasa semakin lemah, dan hatinya semakin tenggelam dalam kecemasan. Ia sangat membutuhkan Rumi di sisinya, tetapi kenyataan bahwa suaminya tidak bisa dihubungi membuat rasa takutnya semakin menjadi-jadi.
Papa dan ibu segera bersiap untuk menuju rumah sakit, berdoa dalam hati agar mereka bisa sampai tepat waktu untuk menemani Syifa. Sepanjang perjalanan, papa terus mencoba menghubungi Rumi, tetapi belum ada tanda-tanda telepon diangkat. Kecemasan semakin membayangi pikiran mereka, tetapi mereka berusaha tetap fokus untuk segera sampai ke rumah sakit dan berada di sisi Syifa.