“Ketika dua hati menjadi satu keluarga, itu artinya keajaiban baru saja terjadi.”
Di langit Jakarta, pesawat Turkish Airlines telah lepas landas, meninggalkan landasan bandara dengan tujuan Istanbul. Pesawat itu membawa penumpang lain menuju destinasi mereka yang jauh, namun di dalam pesawat, ada satu penumpang yang tidak ada di sana—Rumi.
Di dalam taksi, Rumi menatap keluar jendela dengan pandangan kosong. Suara mesin pesawat yang mengudara di kejauhan seolah menjadi pengingat bahwa ia telah memilih untuk meninggalkan kesempatan besar dalam kariernya. Namun, di dalam hatinya, Rumi tahu bahwa keputusan yang ia buat adalah yang terbaik.
Syifa dan bayinya adalah yang paling penting. Ia tersadar bahwa momen melahirkan anak pertamanya tidak bisa diulang. Setiap detik yang berlalu adalah kesempatan yang tak akan pernah kembali. Rumi merasakan kelegaan dan ketenangan hati, meski kecemasan masih menyelimuti pikirannya. Ia tahu bahwa kariernya masih bisa diupayakan lain waktu, namun kehadirannya di saat-saat penting ini, di sisi istri dan anaknya, adalah sesuatu yang tak ternilai.
Dalam diam, Rumi mengucapkan syukur atas keputusannya. Ia tidak peduli lagi tentang Istanbul atau penghargaan yang sempat menjadi impiannya. Hanya satu yang ada di pikirannya sekarang: Syifa dan bayinya. Ia berdoa agar mereka baik-baik saja, dan agar ia bisa sampai tepat waktu untuk menemani Syifa dalam proses melahirkan.
Taksi masih terus melaju di tengah kemacetan Jakarta yang padat, namun Rumi merasakan ada ketenangan baru dalam hatinya. Ia yakin bahwa apa pun yang terjadi, ia telah memilih jalan yang benar. Kini, yang ia inginkan hanyalah bisa segera sampai di rumah sakit dan berada di sisi Syifa, memegang tangannya, dan mendukungnya melalui setiap detik proses melahirkan anak pertama mereka.
Akhirnya, Rumi tiba di rumah sakit setelah perjalanan yang terasa begitu lama. Ia berlari secepat mungkin ke ruang UGD, namun tidak menemukan siapa pun di sana. Panik mulai menguasai dirinya. Dengan tangan gemetar, Rumi meraih ponsel yang ternyata banyak panggilan dari papa yang tak terjawab, ia lupa menyalakan kembali deringnya dan lanjut segera menghubungi papa.
“Pa, Rumi sudah di rumah sakit. Syifa di mana?” Rumi bertanya dengan suara terburu-buru, hampir tak bisa menahan kegelisahannya.
Suara papa terdengar di ujung telepon, tenang namun ada nada lelah yang tak bisa disembunyikan. “Kami sudah di ruang bersalin, Nak. Syifa sedang dalam proses induksi, kontraksinya mulai kuat.”
“Ya Allah, Pa… Rumi segera ke sana.” Suara Rumi bergetar, mencampur aduk antara kecemasan dan ketakutan.
“Syifa sangat membutuhkanmu sekarang. Cepatlah ke ruang bersalin,” jawab papa dengan lembut, mencoba menenangkan anaknya.
Rumi menelan ludah, mencoba menenangkan diri, “Iya, Pa. Rumi ke sana sekarang.”
Rumi bergegas menuju ruang bersalin, hatinya terasa semakin berat dengan setiap langkah. Ketika akhirnya sampai di depan pintu ruang bersalin, ia berhenti sejenak, menarik napas panjang, dan kemudian masuk. Pemandangan pertama yang dilihatnya adalah Syifa, terbaring di ranjang, wajahnya basah oleh keringat, menggeliat menahan rasa sakit yang begitu hebat. Ibu berada di sampingnya, menggenggam tangan Syifa dengan penuh kelembutan, memberikan dukungan yang tak henti-henti.
Rumi segera mendekat, duduk di samping Syifa, dan menggenggam tangan satunya lagi. Ia menatap Syifa dengan penuh rasa cinta dan kekhawatiran. “Sayang, Abang di sini. Abang nggak akan ke mana-mana lagi. Kita hadapi ini bersama, ya,” ucap Rumi dengan suara lembut, namun penuh ketegasan.
Syifa membuka mata dan menatap Rumi, air mata menggenang di pelupuk matanya. Dalam rasa sakit yang begitu menyiksa, kehadiran Rumi di sisinya membawa sedikit kelegaan. “Bang… sakit sekali,” bisiknya pelan, hampir tak terdengar di antara napasnya yang berat.
Rumi menelan ludah, hatinya terasa sesak melihat Syifa dalam keadaan seperti ini. “Maafkan Abang, Sayang… Maaf Abang sempat pergi. Abang ada di sini sekarang, dan Abang nggak akan pergi lagi,” suaranya bergetar menahan emosi yang hampir meledak.
Syifa menggenggam tangan Rumi lebih erat, seolah itu adalah jangkar yang membuatnya tetap bertahan di tengah badai rasa sakit.
Melihat betapa berartinya momen ini bagi Rumi dan Syifa, ibu dan papa saling bertatapan, seolah saling mengerti tanpa perlu berkata-kata. Dengan penuh pengertian, mereka memutuskan untuk keluar dari ruangan, memberi ruang bagi Rumi dan Syifa untuk menikmati momen berharga ini secara bersama-sama.
Papa menepuk bahu Rumi perlahan sebelum keluar, memberi kekuatan lewat sentuhan kecil itu. Ibu pun tersenyum tipis pada Syifa, memberi isyarat bahwa semuanya akan baik-baik saja. Ketika pintu ruangan bersalin tertutup, meninggalkan Rumi dan Syifa hanya berdua, suasana menjadi lebih intim, seakan dunia di luar tak lagi ada.
Di ruangan itu, hanya ada mereka berdua—dalam kebersamaan yang penuh cinta, menghadapi momen terberat dalam hidup mereka. Rumi dan Syifa saling menguatkan, saling memberi kekuatan dalam setiap genggaman tangan dan tatapan penuh cinta, seolah ingin berkata bahwa mereka bisa melewati ini bersama-sama.
Dokter masuk ke dalam ruangan bersalin dengan langkah cepat namun tenang. Wajahnya serius, mencerminkan tanggung jawab besar yang sebentar lagi akan ia emban. Rumi yang masih menggenggam tangan Syifa, menoleh dengan penuh harap kepada sang dokter. Ia tahu momen besar itu sudah semakin dekat.
"Saya periksa dulu ya, Bu Syifa," ujar dokter dengan suara lembut namun tegas, berusaha menenangkan Syifa yang tampak mulai kelelahan.
Syifa hanya bisa mengangguk lemah, tubuhnya sudah basah oleh keringat. Rasa sakit dari kontraksi yang semakin kuat membuatnya semakin lemah, namun kehadiran Rumi di sisinya memberikan kekuatan tersendiri.
Dokter memeriksa dengan cermat, lalu menatap Rumi dan Syifa dengan pandangan yang serius namun menenangkan. "Sudah bukaan delapan," katanya. "Proses persalinan akan segera dimulai. Perawat, tolong siapkan alat-alat yang diperlukan," instruksinya dengan nada tegas.
Rumi merasakan getaran di tubuhnya, campuran antara kegugupan dan kebahagiaan yang meluap-luap. Ia menatap Syifa yang sudah berjuang begitu keras, memberikan senyuman penuh cinta dan dukungan. "Kamu hebat, Sayang. Kita sudah hampir sampai."
Syifa berusaha membalas senyuman itu, meski rasa sakit yang dirasakannya semakin intens. Napasnya terengah-engah, namun ia terus berusaha tetap tenang, bersiap untuk tahap akhir yang akan segera dihadapinya.
Ketika bukaan sudah lengkap, dokter berdiri di ujung ranjang, bersiap membimbing Syifa melewati momen paling menegangkan dalam hidupnya. "Baik, Bu Syifa. Saat kontraksi datang lagi, kita mulai mengejan, ya. Saya akan membimbing. Ingat, fokus pada napas, dan keluarkan tenaga saat mengejan."
Syifa mengangguk lemah, matanya beralih ke Rumi, mencari kekuatan terakhir dari pandangannya. Rumi meremas tangan Syifa lebih erat, menyalurkan kekuatannya dalam genggaman itu.
Ketika kontraksi berikutnya datang, dokter memberikan aba-aba, "Sekarang, Bu Syifa! Mengejan yang kuat!"
Syifa mengerahkan seluruh tenaganya, matanya terpejam erat, wajah itu menunjukkan betapa besar perjuangannya. Rumi terus berada di sisinya, tak henti-hentinya memberikan kata-kata penyemangat, meski suaranya mulai parau oleh emosi.
"Bagus, Bu Syifa! Sekali lagi, lebih kuat!" seru dokter, memimpin jalannya persalinan dengan penuh perhatian.