Cinta untuk Rumi

Jee Luvina
Chapter #20

Jalan yang Dipilih #20

"Badai itu tak menghancurkan, ia mengarahkan kita lebih cepat sampai ke tempat yang paling indah."

Rumi merasakan keheningan yang tiba-tiba memenuhi mobil. Nama itu terdengar asing, namun entah mengapa ada sesuatu dalam cara Syifa mengucapkannya yang membuatnya merasa sedikit tak nyaman.

"Rezky?" Rumi mengulangi nama itu, mencoba mengingat apakah ia pernah mendengar nama tersebut sebelumnya. "Mantan kamu?" tanyanya, suaranya lebih lembut, tapi tetap ada nada yang tidak bisa disembunyikan.

Syifa terdiam, tidak memberikan jawaban langsung, hanya menunduk sedikit. Rumi bisa merasakan ketegangan yang mulai muncul di antara mereka. Perjalanan pulang yang tadi penuh dengan percakapan ringan dan tawa tiba-tiba berubah menjadi sunyi, diisi oleh pikiran masing-masing yang bergelut dalam diam.

Rumi mencoba menenangkan dirinya, menatap jalanan yang terbentang di depan. Meski hatinya terasa berat, ia sadar ini bukan saatnya untuk membiarkan kecemburuan atau keraguan merusak momen kebahagiaan yang baru saja mereka raih. Namun, perasaan itu tetap ada, menyelinap di antara kata-kata yang tidak terucap, menyisakan keheningan yang sulit dipecahkan.

Syifa sendiri merasakan perubahan suasana, tapi ia juga tahu bahwa ini bukan saat yang tepat untuk berbicara lebih jauh. Ia hanya berharap, seiring dengan waktu, semuanya akan baik-baik saja, dan Rumi akan mengerti bahwa yang terpenting sekarang adalah cinta mereka dan bayi kecil yang kini menjadi pusat dunia mereka.

Perjalanan pulang itu akhirnya berlanjut dalam diam, dengan masing-masing larut dalam pikiran dan perasaan yang belum sempat diungkapkan.

Sampai di rumah, Rumi merasa tak bisa lagi menahan semua prasangka yang memenuhi pikirannya. Baru saja mereka sampai di ruang tamu, Rumi langsung menutup pintu dengan sedikit hentakan, menunjukkan betapa hatinya tengah bergolak.

Bu Siti, yang menyambut kedatangan mereka, segera mengambil bayi yang tadi digendong Syifa untuk dibawa ke kamar, memberikan mereka sedikit privasi.

"Abang nggak ngerti gimana caranya Rezky bisa ngantar kamu ke rumah sakit. Abang ke Turki bukan buat ninggalin kamu, Sayang. Abang ke sana kerja, dan pasti akan kembali," kata Rumi, suaranya mengandung campuran kebingungan dan kekecewaan.

Syifa hanya diam, bingung harus menjelaskan dari mana. Perasaannya campur aduk, dan tubuhnya yang masih lemas karena baru saja melalui proses melahirkan dan kehilangan darah yang banyak semakin membuatnya sulit untuk mengungkapkan apa yang terjadi.

Rumi menatap Syifa dengan sorot mata penuh pertanyaan. "Apa kamu masih sering berkomunikasi dengannya?" Pertanyaan itu keluar begitu saja dari mulut Rumi, namun ia langsung merasakan betapa tajamnya kata-kata itu, menusuk hati Syifa yang sudah begitu rapuh.

Air mata Syifa mulai mengalir. Dengan langkah lemas, dia bangkit dari tempat duduknya, berniat untuk pergi ke kamar. "Tega kamu nanya kayak gitu ya, Bang," ucapnya pelan, suaranya serak dan penuh luka.

Belum sempat Syifa melangkah jauh, bel rumah mereka berbunyi. Syifa terdiam, merasa semua yang terjadi seperti mimpi buruk. Rumi, dengan perasaan yang campur aduk, membuka pintu itu.

Di hadapan mereka, berdiri sosok yang sedang mereka bicarakan—Rezky, dengan senyuman di wajahnya dan membawa bingkisan di tangannya, jelas sekali bingkisan itu diperuntukkan bagi bayi mereka yang baru saja dilahirkan.

"Assalamualaikum," sapa Rezky dengan senyum yang lebar.

Rumi menjawab salam itu dengan kaku dan dingin, merasa hatinya semakin tercekik oleh situasi ini.

"Tadi saya ke rumah sakit, tapi ternyata kalian sudah pulang, jadi saya ke sini untuk memberikan hadiah dan ucapan selamat atas kelahiran bayinya. Laki-laki atau perempuan? Hehe, saya nggak tahu jenis kelaminnya, jadi saya pilih warna yang netral, mudah-mudahan bisa dipakai sama adik bayi," lanjut Rezky dengan nada ceria, sama sekali tidak menyadari ketegangan yang menyelimuti suasana.

Rezky terus berbicara, seolah tak ingin berlama-lama di sana dan belum menyadari situasi yang sebenarnya terjadi. "Kemarin saya ke florist, tapi Syifa nggak ada, jadi saya nanya sama yang di sana alamat rumah Syifa yang baru. Pas ke sini, ternyata ada momen yang nggak disangka, dan akhirnya saya lupa maksud awal datang ke sini."

Lihat selengkapnya