Syifa berdiri di antara rangkaian bunga yang sedang ia susun dengan hati-hati di florist miliknya. Florist itu adalah tempat di mana warna-warni bunga memanjakan mata setiap orang yang melintas. Wangi mawar yang segar, tulip yang anggun, dan anyelir yang harum memenuhi udara, menciptakan suasana yang tenang namun penuh kehidupan. Setiap sudut toko kecil itu dipenuhi oleh bunga-bunga indah yang tertata rapi, mencerminkan ketelitian Syifa dalam merawat setiap detail.
Hari ini, Syifa merasa ada yang berbeda. Ketika ia sedang sibuk dengan pekerjaannya. Sebuah undangan pernikahan dengan pita emas tiba-tiba datang, diserahkan oleh kurir yang selalu ramah.
Dengan hati-hati, Syifa membuka undangan itu. Nama yang tertera di sana adalah nama teman kuliahnya dulu. Sebuah undangan pernikahan yang membuat hatinya berdebar-debar, bukan karena undangan itu sendiri, melainkan karena harapan yang selama ini ia pendam.
"Aku harap undanganku juga akan ada dalam waktu dekat ini," gumam Syifa pelan, sambil mengusap permukaan undangan itu dengan jari-jarinya yang halus. Sejenak ia termenung, memikirkan hubungannya dengan Rezky yang sudah berjalan lima tahun, namun belum ada tanda-tanda ke arah yang lebih serius.
Dengan perasaan yang campur aduk, Syifa meraih ponselnya dan menghubungi Rezky. Ia perlu memastikan apakah Rezky jadi menjemputnya sore ini. Ada sesuatu yang ingin ia bicarakan, sesuatu yang sudah lama ia simpan di dalam hatinya.
Ketika Rezky akhirnya tiba, mobilnya berhenti tepat di depan toko bunga. Syifa langsung keluar dari florist, menghirup napas dalam-dalam, seakan ingin menghilangkan segala keraguan yang menyelimuti hatinya. Ia masuk ke dalam mobil dengan senyuman tipis, berusaha menyembunyikan kegelisahannya.
Di dalam mobil, sambil melihat ke luar jendela, Syifa memberanikan diri untuk membuka pembicaraan.
"Rez, tadi aku dapat undangan pernikahan dari teman kuliah kita dulu," katanya pelan, berusaha menangkap ekspresi Rezky dari sudut matanya.
Rezky hanya tersenyum tipis tanpa mengalihkan pandangannya dari jalan di depan. "Oh, siapa yang menikah?"
"Indah," jawab Syifa singkat, mencoba mencari-cari kata yang tepat untuk melanjutkan. "Aku jadi ingat, kita sudah lima tahun bersama... Mungkin sudah saatnya kita mulai memikirkan undangan untuk kita juga, ya?"
Keheningan sejenak menyelimuti mereka. Suara mesin mobil yang halus seakan menjadi latar belakang bagi perasaan Syifa yang semakin tak menentu. Rezky akhirnya merespon, namun dengan nada yang datar. "Syif, sabar dulu ya. Aku belum siap untuk menikah sekarang."
Jawaban itu membuat hati Syifa seakan runtuh seketika. Harapannya yang sempat membumbung tinggi kini terasa begitu jauh dari kenyataan. Di tengah keheningan, Syifa menatap buket bunga di pangkuannya, yang ia bawa dari toko untuk disimpan di kamar sebagai teman istirahat dengan kondisi hati yang sedang terombang-ambing antara harapan dan kekecewaan.
Keheningan di dalam mobil menjadi semakin berat setelah Syifa melontarkan pertanyaan itu.
"Sampai kapan aku harus bersabar, Rez?" Suaranya terdengar lembut namun penuh dengan harapan yang menggantung di udara. Namun, yang ia dapatkan hanya kesunyian dari Rezky. Alih-alih menjawab, Rezky hanya memfokuskan pandangannya ke jalan, melajukan mobil dengan tenang. Tidak ada kata-kata yang terucap di antara mereka, hanya suara deru mesin dan hiruk pikuk jalanan yang menjadi teman perjalanan.
Perjalanan itu terasa begitu panjang, seolah setiap detik yang berlalu semakin menekan perasaan Syifa. Ketika akhirnya mobil berhenti di depan rumahnya, Syifa menatap Rezky dengan tatapan yang tajam namun terluka.
"Aku sudah siap untuk menikah, Rez. Kalau kamu belum siap, mungkin jodohku bukan kamu."
Tanpa menunggu jawaban, Syifa membuka pintu mobil dan keluar dengan langkah yang mantap. Rezky tertegun, tidak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya. Sebelum ia sempat merespon atau menyusul Syifa, gadis itu sudah melangkah cepat ke pintu rumah dan menutupnya tanpa menoleh ke belakang.
Rezky hanya bisa menghela napas panjang, menatap pintu yang kini tertutup rapat, seakan jarak di antara mereka semakin lebar. Ia tahu, kata-kata Syifa barusan bukan sekadar ungkapan emosi sesaat. Ada ketegasan dan keputusasaan di balik kalimat itu, yang membuatnya terdiam.
Di dalam rumah, Syifa berjalan cepat menuju kamarnya, mencoba menahan air mata yang sejak tadi ingin keluar. Namun langkahnya terhenti ketika melihat ibu sedang duduk di ruang tengah bersama ayah. Mereka menatap Syifa dengan raut wajah khawatir.
Syifa berusaha tersenyum, meskipun matanya mulai basah. "Syifa ke kamar dulu, Bu, Yah," katanya pelan, lalu berlalu sebelum mereka sempat bertanya lebih lanjut.
Ibu yang selalu peka terhadap perasaan putrinya, tidak membiarkan Syifa pergi begitu saja. Sesaat setelah Syifa masuk ke kamar dan menutup pintu, ibunya menyusul dengan lembut mengetuk pintu.
"Syifa, boleh Ibu masuk?" suara ibunya terdengar penuh dengan kehangatan dan perhatian.
Syifa menghapus air mata yang sempat mengalir di pipinya sebelum menjawab, "Boleh, Bu."