"Pagi, Bu," sapa Ajeng dengan senyum yang memperlihatkan giginya yang tersusun rapi. Namun, pagi ini, Syifa hanya menyambut dengan senyuman tipis yang nyaris tak terlihat, tak seperti biasanya.
Ajeng adalah orang kepercayaan Syifa di florist, yang sudah ikut Syifa bekerja sejak awal florist berdiri ketika Ajeng baru lulus SMA.
"Jeng, nanti kamu aja yang duduk di situ ya," ujar Syifa sambil menunjuk meja kerjanya. "Kamu yang angkat setiap telepon masuk, saya lagi males ngomong. Nanti saya bantuin susun dan rangkai bunga pesanan aja."
Ajeng mengangguk pelan, merasakan ada sesuatu yang tidak beres. "Baik, Bu," jawabnya dengan nada lebih tenang sambil menunduk.
Syifa berusaha mengalihkan pikirannya dengan merangkai bunga, tapi setiap kelopak bunga yang ia pegang justru mengingatkannya pada perasaan hancur yang masih menyelimuti hatinya. Jari-jari yang biasanya lincah menata bunga kini terasa kaku, seolah-olah tak lagi memiliki keindahan yang biasanya ia ciptakan. Akhirnya, Syifa menyerah, meletakkan bunga-bunga itu dengan hati-hati di meja, lalu meraih ponselnya.
Ia membuka kontak dan langsung mencari nama yang selalu menjadi tempat curhatnya sejak SMA, Zara. Hatinya masih bergetar saat ia menekan tombol panggil.
"Hai, Zar," sapa Syifa dengan suara yang bergetar, berusaha terdengar normal meskipun hatinya sedang kacau.
"Haiii Syifaaa syantiiikkk... apa kabar lo? Udah semingguan ini kita gak telponan yah," jawab Zara dengan ceria, tapi seketika nada suaranya berubah saat mendengar Syifa menarik napas panjang, berusaha menahan tangis.
"Syif, are you okay? Lo dimana sekarang?" tanya Zara dengan nada khawatir, segera merasakan ada yang tidak beres dari suara sahabatnya itu.
"Florist," jawab Syifa singkat, suaranya masih terdengar lemah.
"Okay, aman kalau di florist. Jadi, lo kenapa?" tanya Zara, mencoba membuka percakapan dengan lembut namun penuh perhatian.
"Kayaknya gue udah yakin deh untuk gak berharap lagi sama Rezky," ucap Syifa dengan nada berat, seolah mengakui sesuatu yang sudah lama ia simpan di dalam hati.
"Itu yang gue harapin dari dulu, Syifaaa... lo kemana aja?" balas Zara dengan nada antusias. "Tapi alhamdulillah kalau lo udah sadar sekarang."
Syifa tersenyum kecil meski air mata masih menggenang di pelupuk matanya. "Kok lo seneng sih, Zar? Ini temen lo lagi sedih, lho."
"Bukan gitu, Syif, tapi kesedihan lo ini adalah akhir dari kengambangan lo selama ini. Hidup lo akan lebih jelas setelah ini. Yang lebih baik dari dia bisa masuk ke dalam hidup lo yang baru. Kita emang perlu ngelepasin yang gak layak buat kita, biar yang layak bisa masuk," jawab Zara dengan bijaksana, suaranya terdengar tenang dan penuh keyakinan.
Kata-kata Zara itu terasa seperti pelukan hangat bagi Syifa, menenangkan hatinya yang selama ini gelisah. Ia merasa ada harapan baru yang mulai tumbuh di dalam diri, meskipun perpisahan ini tetap menyakitkan.
"Gue yakin, lo bisa ngelewatin ini semua, Syif. Hidup lo bukan tentang Rezky doang, banyak hal indah selain dia, Syif. Okee! Gue lanjut kerja dulu yaaa... nanti malam kita telponan lagi yaaa... dadaaaahhhh," tutup Zara dengan semangat yang khas, mencoba menularkan energinya kepada Syifa.
Syifa menutup telepon dengan perasaan yang lebih ringan. Kata-kata Zara seolah menjadi penegasan dari jawaban yang ia cari dalam shalat istikharahnya semalam. Kini, Syifa merasa lebih yakin untuk melepaskan Rezky dan melangkah ke depan. Mungkin ini adalah jawaban dari Allah, petunjuk yang selama ini ia nanti.
Perlahan tapi pasti, semangat baru mulai tumbuh dalam diri Syifa. Ia sadar bahwa apapun yang terjadi, berkomunikasi dengan Allah adalah jalan terbaik untuk menemukan ketenangan dan petunjuk dalam hidup. Dengan keyakinan itu, Syifa merasa lebih kuat dan siap untuk menghadapi apa pun yang ada di depannya, karena ia tahu bahwa Allah selalu punya rencana terbaik untuknya.
Syifa berharap sore itu akan berbeda, berharap Rezky tidak muncul lagi untuk menjemputnya. Namun, harapan itu tak menjadi kenyataan. Saat ia melangkah keluar dari florist, Rezky sudah berdiri di depan mobilnya dengan senyum yang lebar, seakan pembicaraan tadi pagi tidak pernah terjadi.
"Sore, Syifa," sambut Rezky dengan ceria, seolah tak ada beban. Syifa hanya mampu membalas dengan senyum kaku, yang terasa dipaksakan.
Rezky dengan sigap membuka pintu mobil untuknya, dan Syifa masuk tanpa banyak bicara. Hatinya berat, tapi ia tahu ada hal yang harus diselesaikan.
Di dalam mobil, Rezky membuka pembicaraan dengan penuh semangat. "Aku ada kabar baik, Syif. Aku terpilih jadi arsitek yang akan bangun masjid di Jepang. Yey! Aku gak nyangka banget sih, tapi yang jelas sekitar satu tahun aku akan tinggal di Jepang untuk terus ada selama pembangunan masjid itu berlangsung. Masjid selesai, aku baru pulang lagi ke Indonesia."
Syifa mendengarkan kabar itu dengan perasaan campur aduk. Di satu sisi, ia senang mendengar kesuksesan Rezky, tapi di sisi lain, ia merasa semakin yakin bahwa jalannya dengan Rezky sudah harus berakhir. Ia menarik napas panjang sebelum akhirnya berbicara.