Pagi ini terasa berbeda bagi Syifa. Sudah tidak ada lagi suara klakson mobil dari Rezky yang biasa menjemputnya. Saat berdiri di depan pintu, seolah-olah film berdurasi lima menit tiba-tiba diputar di kepalanya, merangkum kenangan bersama Rezky selama lima tahun terakhir. Semua momen itu terasa begitu nyata, namun kini hanya tinggal kenangan yang perlahan-lahan harus ia lepaskan.
Syifa masih tenggelam dalam lamunannya ketika tiba-tiba Ayah datang, membuatnya tersentak. "Kali ini, Ayah yang akan antar anak Ayah yang cantik ke florist," ujar Ayah dengan senyum hangat yang membuat hati Syifa terasa lebih ringan.
Syifa langsung tersenyum, lalu memeluk Ayah dengan erat. Di tengah pelukannya, ia merasa bersyukur. Ada momen-momen seperti ini yang sebenarnya bisa ia rasakan sejak dulu, tapi perhatian Syifa terlalu banyak tersedot oleh Rezky, hingga perhatian Ayah sering kali terabaikan.
Setelah pelukan hangat itu, Syifa dan Ayah berjalan menuju mobil. Ayah membuka pintu dan Syifa masuk, duduk di baris kedua bersama Ayah. Rasanya berbeda, ada kehangatan dan kedekatan yang jarang mereka rasakan sebelumnya.
"Nanti siang, kita makan siang bareng, ya. Sekalian Ayah mau ajak Syifa ke suatu tempat," kata Ayah sambil mengemudi, nada suaranya sedikit misterius namun penuh kasih sayang.
Syifa mulai merasa salah tingkah dan penasaran, mencoba menebak-nebak ke mana Ayah akan mengajaknya. "Ke mana, Yah? Iiihh kasih tahu sekarang aja kenapa sih Yah" tanya Syifa dengan nada manja.
Ayah hanya tersenyum tanpa memberikan jawaban yang jelas, menambah rasa penasaran Syifa. Di tengah rasa penasaran itu, Syifa juga merasakan sesuatu yang baru—cinta dan perhatian dari Ayah yang selama ini mungkin tak sepenuhnya ia sadari.
Syifa tahu bahwa baru kemarin ia mengalami kesedihan yang mendalam, melepaskan harapan yang selama ini ia bangun dengan Rezky. Tidak mudah untuk melepaskan, tapi baru satu hari berlalu, dan hatinya sudah mulai terasa penuh kembali dengan cinta dan perhatian yang datang dari keluarga, terutama dari Ayahnya. Momen-momen kecil ini memberi Syifa kekuatan dan kesadaran bahwa ada banyak cinta di sekelilingnya, dan bahwa ia tidak pernah sendirian.
Ayah menepati janjinya. Tepat pukul 11.30 WIB, mobilnya sudah terparkir di depan florist. Ayah turun dan masuk ke dalam, wajahnya berseri-seri saat melihat betapa berkembangnya usaha milik Syifa. Dia berjalan di antara rangkaian bunga, meresapi aroma segar yang memenuhi udara.
"Baru dua tahun, tapi kayaknya florist kamu ini udah bisa buka cabang nih," ujar Ayah dengan nada bangga, matanya berbinar-binar saat melihat hasil kerja keras putrinya.
Syifa langsung salah tingkah, wajahnya memerah karena bahagia mendapatkan momen penuh kehangatan seperti ini. "Ayah bisa aja iihh..." jawabnya dengan nada manja, tapi hatinya terasa begitu hangat.
"Ihhh bisa dong," balas Ayah sambil tertawa. "Besok Ayah suruh orang audit ke sini buat liat perkembangan florist kamu ya, biar kita ambil keputusan buka cabangnya gak gegabah. Gimana? Syifa mau buka cabang di mana?"
Syifa tertawa kecil, merasa sedikit terbebani tapi sekaligus senang dengan perhatian Ayahnya. "Ayahhh... Berat banget sih obrolannya, Syifa butuh tenaga ini buat ngobrolin hal-hal berat itu."
Mereka berdua tertawa bersama, suasana yang hangat dan penuh kasih sayang mengalir di antara mereka. Setelah itu, mereka langsung menuju mobil, dan Ayah memberitahu driver tempat makan yang akan mereka tuju.
Syifa mengangguk, merasa senang dan nyaman. Di dalam hatinya, ia merasa ini adalah salah satu momen yang akan ia ingat selamanya—momen di mana ia merasakan dukungan dan cinta penuh dari Ayahnya, sebuah perasaan yang ia rindukan selama ini. Mereka berdua siap menikmati makan siang bersama, sambil melanjutkan obrolan tentang masa depan yang penuh harapan.
Mereka menikmati makan siang di lantai 20, di sebuah restoran dengan pemandangan Jakarta yang memukau. Dari ketinggian itu, Syifa bisa melihat keindahan kota dengan begitu leluasa. Gedung-gedung tinggi yang menjulang di sekelilingnya terlihat megah, namun anehnya, dalam pandangannya yang lebih luas, semua itu tampak kecil. Syifa merenung, menyadari bahwa kemewahan yang mereka nikmati di ruangan ini hanyalah sebagian kecil dari gambaran besar kehidupan.
Senyum tipis menghiasi wajah Syifa, dan ia tak henti-hentinya mengucapkan terima kasih kepada Ayah. "Syifa seneng gak makan siang sama Ayah ini?" tanya Ayah dengan nada bercanda.
Syifa tertawa kecil. "Ayah apaan sih pake nanya segala, seneng bangeeettt tahu!"
Ayah memanggil salah satu pelayan yang lewat di dekat meja mereka. Syifa mengira Ayah akan memesan makanan atau minuman lagi, tapi ternyata Ayah punya rencana lain. "Tolong fotoin kami berdua ya," ujar Ayah sambil menyerahkan handphonenya kepada pelayan tersebut.
Syifa tertegun, matanya mendadak basah oleh haru. Apa yang Ayah lakukan ini terasa begitu bermakna baginya. Setelah pelayan memotret mereka dan menyerahkan kembali handphone, Ayah langsung melihat hasilnya dan dengan cepat mengirimkan foto itu ke WhatsApp Syifa.
"Nanti kalau Syifa kangen Ayah, Syifa bisa lihat foto ini yah," kata Ayah sambil tersenyum hangat.
Syifa menggeleng sambil tersenyum, berusaha menahan air mata yang mulai menggenang di matanya. "Ayah apaan sih, kalau Syifa kangen Ayah, ya Syifa langsung telpon Ayah, langsung peluk Ayah."
Ayah tertawa kecil, namun suaranya terdengar sedikit berat. "Ya kan, siapa tahu nanti Syifa ketemu jodohnya sebentar lagi dan kita udah gak bisa sebebas kayak gini lagi."
Syifa melihat mata Ayah mulai basah, penuh dengan perasaan yang begitu dalam. "Ayaaaahhh... Syifa belum ataupun udah nikah, Syifa tetap anak Ayah yang sayang Ayah."
Syifa tak bisa menahan diri lagi. Ia beranjak dari tempat duduknya dan langsung memeluk Ayah erat, merasakan kehangatan dan cinta yang begitu tulus dari Ayahnya.
Momen ini begitu berharga bagi Syifa, lebih dari sekadar makan siang di tempat mewah atau pemandangan indah yang mereka nikmati. Ini adalah momen di mana Syifa merasa benar-benar dicintai dan dihargai, momen yang akan selalu ia kenang.