Sebelum langit menjadi biru, Syifa sudah keluar dari kamar dan menemui Ibu yang sedang berada di perkarangan belakang rumah, menyiram tanaman berwarna-warni. Di sisi lain, Ayahnya sedang duduk tenang di teras, menyuruput kopi sambil membaca berita terbaru di iPadnya.
"Pagiiii," sapa Syifa dengan semangat, cukup keras hingga membuat Ibu dan Ayah sedikit terkejut.
"Pagiiii," jawab Ibu dan Ayah bersamaan, seraya tersenyum lebar.
"Udah cantik banget, mau kemana?" goda Ayah, yang kemudian menyimpan iPadnya di meja dan memfokuskan perhatiannya pada Syifa yang baru saja muncul.
"Mau ke sini, ngumpul sama Ibu dan Ayah. Baru ditinggal tidur aja, Syifa udah kangen nih sama Ibu dan Ayah," ucap Syifa sambil senyum-senyum menggoda kedua orangtuanya.
"Aduuhhh, Ayah, Ibu rasanya mau terbang niiihhh," ujar Ibu, sambil tertawa.
Mereka pun tertawa bersama. Ibu menyimpan selang airnya dan mendekat ke Syifa dan Ayah.
"Ibu, kenapa nyiram tanamannya sendiri sih? Kan ada Bi Imah," tanya Syifa, penasaran.
"Itu tanaman Ibu, Ibu yang tanam. Menyiram dengan tangan Ibu sendiri membuat Ibu bisa menyapa mereka, dan banyak makna yang Ibu dapatkan setiap kali berinteraksi dengan mereka," jelas Ibu dengan penuh kasih.
Syifa mengangguk, terkesan dengan jawaban penuh makna dari Ibu.
"Ibu suka sekali tanaman sampai anak perempuannya juga dikasih salah satu nama bunga favorit Ibu, kan... Syifa Azalea Putri," ungkap Ayah sambil mengusap kepala Syifa.
"Nama itu penuh harap. Ibu berharap sebagai bunga azalea, bukan hanya memberikan keindahan tapi juga bisa memberikan kesembuhan untuk orang di sekitarnya," tambah Ibu dengan lembut.
Syifa tersenyum dan teringat nama florist yang menggunakan namanya. "Syifa Florist. Syifa juga berharap semoga florist Syifa memberikan kesembuhan untuk orang yang mengirim dan menerimanya, baik sembuh dari rasa sakit fisik maupun sakit hati."
Saat mereka sedang becengkrama, sinar matahari semakin terang dan Bi Imah mengabarkan bahwa sarapan sudah siap. Mereka mengangguk dan melangkah menuju meja makan, menikmati pagi yang hangat dan penuh kebersamaan.
Antusiasme Syifa terlihat jelas ketika dia melihat sarapan pagi hari itu berupa nasi goreng dan telur ceplok yang sudah tersaji di meja makan. Mereka berbagi makanan dengan suka cita, menikmati momen kebersamaan pagi itu.
"Mas Kala belum bangun, Bu?" tanya Syifa sambil menyendok nasi ke piringnya.
"Kayaknya, Mas-mu gak pulang.. nginep di temennya kali ya," jawab Ibu setelah mengecek kamar Mas Kala yang terlihat kosong sejak setelah shalat subuh.
Syifa mengangguk, memahami situasi tersebut, dan melanjutkan makannya dengan lebih fokus.
Setelah mereka selesai makan, suasana rumah menjadi lebih ramai dengan persiapan untuk memulai hari. Ibu dan Ayah bersiap-siap untuk berangkat, masing-masing menyelesaikan tugas pagi mereka dengan rutinitas yang tak biasa.
Begitu juga dengan Syifa, yang mulai bersiap dengan semangat. Hari ini bukan hanya sekadar hari biasa; ia akan menghabiskan waktu berkualitas dengan Ayah dalam sesi test drive yang sudah direncanakan dan juga menambah kebahagiaan ketika Ibu juga ikut.
Ini adalah kesempatan untuk Syifa belajar mengemudi dan merasakan kendaraan baru yang telah Ayah belikan untuknya.
"Jangan lupa bawa kacamata ya, Syifa. Takut silau matahari pagi nanti," ingat Ayah sambil mengambil kunci mobil dan barang-barangnya.
"Siap, Yah!" sahut Syifa dengan penuh antusiasme, hatinya berdebar tidak hanya karena akan belajar mengemudi tetapi juga karena ia akan menghabiskan waktu bersama Ayah dan Ibu, menikmati momen langka yang terasa sangat berharga.
Mereka bertiga keluar dari rumah, menuju ke garasi dimana mobil baru Syifa sudah siap menanti. Hari itu, ia tidak hanya akan belajar cara mengemudi tetapi juga tentang bagaimana cinta dan dukungan keluarga dapat memberikan kekuatan dan kepercayaan diri dalam menjalani kehidupan.
Saat mereka berada di dalam mobil baru yang masih wangi, suasana penuh keceriaan makin terasa. Ayah memulai dengan komentar yang memecah keheningan. "Waaaawwww aromanya... mobil baruuuu..." katanya saat duduk di kursi yang masih dibungkus plastik. Dengan senyum lebar, ia menoleh ke Syifa dan Ibu, "Mau dibuka gak nih plastiknya?"
"Hahahaha dibuka dulu dong Ayah, berisik tahu suaranya," balas Syifa dengan tawa renyahnya.
Ibu yang baru saja masuk ke dalam mobil, tanpa ragu langsung membantu membuka plastik yang membungkus semua kursi. Interior mobil yang serba hitam tampak semakin elegan saat plastik terakhir dilepas.
Ibu memilih duduk di baris belakang, menikmati luasnya ruang yang ditawarkan oleh mobil tersebut, sementara Ayah dan Syifa duduk di depan. Ayah dengan sabar menjelaskan semua fungsi yang ada di area kursi pengemudi. Beruntung, karena mobil tersebut bertransmisi otomatis, penjelasannya menjadi lebih sederhana dan mudah dipahami oleh Syifa.
Syifa mengangguk penuh perhatian, meresapi setiap kata yang Ayah ucapkan, dan bersiap untuk pengalaman mengemudi pertamanya. Ketika mobil mulai melaju, mereka melihat berbagai aktivitas yang berlangsung di jalanan. Mulai dari seorang ayah yang mengantar anaknya ke sekolah, seseorang yang dengan penuh harap membawa dagangannya di belakang jok motor, hingga anak-anak yang berjualan koran.
Melihat anak-anak itu, Syifa terbenam dalam lamunan. "Lho, yang punya mobil baru kok malah ngelamun sih?" Ayah memecahkan lamunan Syifa dengan nada gurau.
"Syifa lagi mikirin apa?" Ibu menambahkan, raut wajahnya penuh kelembutan.
"Syifa lagi mikirin anak-anak yang lagi jualan koran itu. Syifa pengen tanya, apa mimpi mereka dan apa yang mereka rasakan. Mungkin Syifa pikir mereka tidak bahagia menjalani hidup ini, tapi bisa jadi justru Syifa yang akan belajar tentang makna kebahagiaan dari mereka," jawab Syifa, suaranya reflektif dan penuh empati.
Ayah mengusulkan dengan semangat, "Selesai belajar nyetir, nanti kita beli bakso, kita beliin bakso yang banyak terus kita samperin mereka, gimana? Biar Syifa gak penasaran lagi tentang apa yang Syifa pikirkan."
Syifa terkejut dan terharu dengan rencana Ayah. Di ujung matanya mulai basah, sementara di belakang, Ibu tersenyum, melihatnya dari kaca kecil di atas. Ini adalah momen yang menunjukkan betapa indahnya kepedulian dan empati dalam keluarga itu, sebuah pelajaran berharga yang akan Syifa ingat selamanya.
Ayah menghentikan mobil di daerah perumahan yang tidak terlalu banyak kendaraan yang lalu Lalang.
Ayah mengajak Syifa untuk tukeran tempat duduk. Syifa mengangguk dan nervous.