Pergantian malam ke pagi memang berjalan sangat lambat, seolah setiap detik dipenuhi dengan beratnya kesedihan dan ketidakpastian tentang bagaimana harus melanjutkan hari tanpa Ayah. Bagi Syifa dan Ibu, setiap menit adalah pengingat akan kehilangan yang begitu mendalam.
Sementara itu, Mas Kala, yang tiba-tiba tidak ada di rumah, menambahkan lapisan kekhawatiran lain. Kemana dia pergi dan apa yang mungkin dia lakukan menjadi pertanyaan yang menggantung di udara, meninggalkan ruang untuk spekulasi dan kecemasan lebih lanjut.
Dalam situasi yang penuh tekanan dan emosional ini, setiap anggota keluarga mencoba mencari cara mereka sendiri untuk menghadapi kenyataan yang pahit, sambil juga mencari dukungan satu sama lain dalam bentuk yang paling mendasar—kehadiran, meski beberapa di antaranya mungkin terpisah secara fisik.
Om Erwind dan masih dengan pria muda itu masuk ke rumah, menemui syifa dan Zara yang sedang berbagi kesedihan di sofa yang ada di depan TV.
"Syifa." Om Erwind menyapa Syifa. Syifa langsung duduk dan menatap Om Erwind.
Mereka bersalaman, Zara ikut salaman dan memperkenalkan diri.
“Makasih untuk handphonenya, Om. Bi Imah udah kasih ke Syifa dan Ibu.” Ucap Syifa pelan dan masih menunduk.
"Oh iya sama-sama, pokoknya apa pun yang Syifa dan Ibu butuhkan, tolong kabarin Om ya.” Ucap Om Erwind yang masih belum percaya sahabatnya sudah tidak ada di sini lagi.
Syifa mengangguk.
“Oh ya, ini anak Om, sudah satu tahun terakhir ini ikut kerja juga di perusahaan ayah kamu." Begitu kata Om Erwind sambil menepuk pundak pria muda yang ada di sebelah kanannya.
"Rumi." Pria muda itu memberikan tangannya untuk bersalaman dengan Syifa dan Zara.
Om Erwind meminta Rumi untuk duduk bersama Syifa dan Zara sedangkan papanya mencari keberadaan Ibu Syifa.
Situasi di ruang itu penuh dengan emosi yang berbaur; kesedihan, kehilangan, dan ketidakpastian akan masa depan. Om Erwind, dengan penuh empati, berusaha memberikan sedikit kenyamanan kepada Ibu Syifa yang tampak begitu terpukul dengan kepergian suami tercinta.
Pengenalan Rumi, anak Om Erwind yang juga bekerja di perusahaan Ayah Syifa, membawa sebuah dinamika baru dalam interaksi yang sedang berlangsung.
Saat Om Erwind mencari Ibu, Rumi dengan sopan duduk bersama Syifa dan Zara. Ia memberikan dukungan moral dengan cara yang tenang dan pelan, mencoba memahami dan merasakan rasa sakit yang dialami oleh Syifa dan keluarganya. Sementara itu, Zara, yang merasa sedikit asing dengan kehadiran baru ini, tetap bersikap ramah dan terbuka.
Di sisi lain rumah, Om Erwind menemukan Ibu yang terlihat kehilangan arah dan tujuan hidup setelah kepergian suaminya. Percakapan antara Ibu dan Om Erwind adalah tukar pikiran yang dalam tentang bagaimana melanjutkan hidup setelah ditinggal orang yang sangat dicintai dan diandalkan.
"Mbak gak tahu gimana menjalani kehidupan selanjutnya tanpa Mas Dedi, Win." Ungkap Ibu dengan tatapan kosong.
"Saya mungkin memang gak bisa bantu banyak, Mbak. Tapi Mas Dedi orang yang baik, sosok leader yang mengayomi. Saya yakin banyak buah yang bisa dinikmati dari kebaikan Mas Dedi semasa hidupnya," ujar Om Erwind, mencoba menemukan kata-kata yang tepat untuk menghibur.
Namun, Ibu masih merasa sangat kehilangan. "Tapi Mbak butuh Mas Dedi-nya, Win."
Om Erwind hanya bisa menghela napas dalam, mencoba mencari kata-kata penghibur. "Takdir Allah, Mbak, kita bisa apa?" ujarnya. Suaranya penuh dengan kesedihan yang juga dirasakannya. Kehilangan seorang sahabat dan rekan kerja yang baik tentu meninggalkan luka yang dalam, juga bagi Om Erwind.
Percakapan itu tidak banyak mengubah rasa sakit yang dirasakan, tetapi setidaknya memberikan sedikit ruang bagi Ibu untuk merasa bahwa dia tidak sendirian dalam menghadapi kenyataan pahit ini. Kehadiran Om Erwind dan putranya, Rumi, mungkin bukan solusi untuk semua masalah, tapi setidaknya mereka memberikan dukungan yang sangat dibutuhkan Syifa dan keluarganya dalam menghadapi hari-hari sulit yang akan datang.
"Syifa, kalau ada yang bisa saya bantu, kamu bisa hubungi saya ya. Nomornya sudah ada di handphone yang Papa kasih kemarin." Rumi menatap gadis cantik yang sedang menunduk dan lesu.
Syifa mengangguk, "terima kasih."
Selepas Om Erwind dan Rumi pamit, Ibu menghampiri Syifa dan Zara yang masih temenung di sofa.
"Syifa tadi udah ketemu sama Rumi?" tanya Ibu. Syifa mengangguk.
"Itu Rumi, sosok pria yang ingin ayah kenalkan ke Syifa di Bandung saat kita sedang liburan. Tapi, takdir Tuhan berkata lain. Gak nyangka yah, Syifa harus berkenalan dengan Rumi dengan suasana seperti ini."
Syifa masih diam, masih belum memahami arah pembicaraan Ibu.