Hari itu, langit tampak mendung, seolah turut merasakan beban yang dipikul Rumi. Setelah menghabiskan hari-hari yang penuh dengan pertemuan intensif bersama pengacara dan penyidik, ia kini merasa siap—setidaknya secara mental—untuk menghadapi Syifa dan Ibunya. Membawa informasi tentang situasi papanya, sebuah konteks yang rumit dan penuh sensitivitas, bukanlah tugas yang ringan. Namun, Rumi tahu pentingnya mengungkapkan kebenaran ini, bukan hanya demi papanya, tetapi juga untuk menjernihkan atmosfer antara dua keluarga yang pernah begitu dekat.
Sebelum menekan bel, Rumi menarik napas dalam-dalam, mencoba menstabilkan detak jantungnya yang berdebar kencang. Di tangannya, ia memegang map berisi dokumen-dokumen penting dari pengacara—bukti-bukti yang mengindikasikan upaya hukum untuk membersihkan nama papanya dan catatan-catatan yang mendetilkan situasi terkini.
Pintu rumah Syifa terbuka dan muncullah Syifa, wajahnya menunjukkan kejutan sekaligus kewaspadaan saat melihat Rumi berdiri di ambang pintu. Ada momen sunyi, di mana mereka hanya berdiri memandangi satu sama lain, mencoba mencari tahu apa yang mungkin dipikirkan dan dirasakan oleh yang lain di balik tatapan yang mendalam itu.
"Syifa... saya minta maaf, di awal perkenalan kita, saya bukannya memberikan udara segar, melainkan beban baru untukmu dan Ibumu. Tapi saya mohon izinkan saya bicara denganmu dan juga Ibu," ucap Rumi dengan suara yang penuh penyesalan namun juga determinasi.
Syifa, masih terdiam, hanya menganggukkan kepala pelan dan membuka pintu lebar-lebar untuk mempersilakan Rumi masuk.
Di dalam, Ibu Syifa tampak terkejut melihat Rumi. Rumi mencoba untuk mencium tangan Ibu sebagai tanda hormat, namun Ibu menghindar, masih dengan raut muka yang penuh keraguan.
"Bu, saya di sini tidak untuk membela Papa, tapi saya justru memohon bantuan dan dukungan dari Ibu dan Syifa," lanjut Rumi, suaranya menggema di ruang tamu yang hening. "Kita harus perjuangkan kebenaran bersama. Jika memang Papa bersalah, biarlah dia menerima akibatnya, tapi jika Papa tidak bersalah, tolong Ibu, itu berarti Papa juga korban dari peristiwa ini."
Syifa, yang semula hanya diam, kini mulai menyadari pentingnya tidak terburu-buru dalam menyudutkan seseorang tanpa bukti yang jelas. "Kita harus cari tahu pelakunya" ujarnya, suaranya kini lebih mantap.
Rumi mengangguk, "Saya sudah menyelidiki banyak alat bukti yang dipaparkan, tapi memang banyak kejanggalan. Misalnya, pelaku itu menyimpan nomor dengan nama Papa. Itu bukan nomor Papa, dan bukankah nama 'Erwind' bukan hanya milik Papa saja? Kedua, Papa sama sekali tidak kenal dengan pelaku itu. Saat kejadian berlangsung, saya bersama Papa dari pagi sampai mendapat kabar duka itu dan Papa benar-benar tidak menggunakan handphone. Bahkan dari rekaman suara telepon pelaku dengan nomor kontak yang tertulis nama Papa, suaranya berbeda, Bu. Itu bukan suara Papa dan masih banyak alat bukti yang perlu kita kumpulkan. Saya harap kita bisa sama-sama berjuang untuk mengungkap kasus ini, apakah ini murni perampokan atau ada rencana pembunuhan."
Ibu, mendengarkan semua ini, perlahan mengangguk dan setuju dengan rencana Rumi. Ada kilasan kelegaan di matanya, mungkin karena akhirnya ada harapan yang bisa dipegang dalam misteri yang telah menyelimuti mereka.
Di tengah ruang tamu yang penuh dengan hawa duka dan kesedihan membawa perhatian kembali pada kekosongan yang meningkat dalam dinamika keluarga itu sejak hari pemakaman. "Oh ya, Mas Kala mana ya?" suaranya lembut, penuh kekhawatiran.
Ibu menatap ke arah jendela, matanya sedikit berkabut. "Sejak Ayah dimakamkan, aku belum melihat Mas Kala lagi," jawabnya, suaranya patah, "entah bagaimana dia mengungkapkan kesedihannya, dia tidak pulang ke rumah."
Rumi mengangguk dengan penuh pengertian, seraya Bi Imah datang membawa nampan berisi minuman hangat yang mengepulkan uap. Suasana menjadi lebih berat sejenak, refleksi kehilangan yang mereka alami bersama.
Saat Ibu beranjak karena suara dering telepon yang tiba-tiba terdengar, Rumi dan Syifa memanfaatkan waktu untuk menyesap kehangatan teh mereka. Ibu kembali dengan wajah kecewa, "Telepon dari kantor, tapi sudah terlambat angkat."
"Siapa, Bu?" Syifa bertanya dengan rasa ingin tahu.
"Kayaknya dari kantor polisi, mungkin mau ngabarin perkembangan kasus Ayah," Ibu menjawab, suaranya penuh harapan sekaligus kecemasan, lalu kembali menduduk di kursinya.
Rumi, mencoba mengalihkan pembicaraan dari topik yang terlalu berat, beralih ke sesuatu yang lebih ringan. "Syifa punya florist ya? Gimana, sudah mulai kerja lagi?"
"Seharusnya hari ini, mau mulai lagi. Sebenarnya, tadi mau berangkat ke sana sebelum kamu datang," Syifa menjawab dengan nada yang datar.
"Oh gitu, yaudah, bareng aja. Eh, atau Syifa mau bawa kendaraan sendiri?" tanya Rumi, berusaha memberikan opsi yang nyaman bagi Syifa.
Dengan ingatan yang tiba-tiba muncul tentang ayah yang selalu mendorongnya untuk lebih mandiri, terutama tentang kemampuan mengemudi, Syifa merenung sejenak. Namun, dengan suasana hati yang masih mendung, ia memutuskan untuk menerima tawaran Rumi.
"Boleh, nebeng ya," ucapnya, menyambut tawaran itu dengan senyuman tipis dan lemah.
"Siap, mau berangkat sekarang?" Rumi bertanya, sudah siap untuk membantu.
"Boleh," jawab Syifa, beranjak dari tempat duduknya. Ia mendekati Ibu, memberikan salam perpisahan, dan memberi ciuman cepat.
"Nanti kalau dari kantor polisi telepon lagi, Ibu kabari Syifa ya," ucap Syifa, memastikan bahwa komunikasi tetap terjaga.
"Siap," jawab Ibu, mencoba menampilkan senyum meski hatinya berat.
Mereka berdua keluar dari rumah, menuju ke mobil yang diparkir Rumi di depan. Langit masih kelabu, mendung yang tak kunjung reda, mencerminkan suasana hati mereka berdua. Syifa menarik napas dalam-dalam, mencoba mengumpulkan semangat untuk menghadapi hari yang masih penuh dengan tanda tanya.
Sesampai di mobil, Rumi membukakan pintu untuk Syifa, sebuah isyarat kecil tapi penuh arti, menunjukkan dukungan yang tidak hanya bersifat verbal. Syifa tersenyum tipis, menghargai perhatian itu, dan dengan hati-hati masuk ke dalam mobil.
Dalam kesunyian mobil yang hanya diisi suara mesin yang berdengung rendah, Syifa memilih untuk memecah keheningan dengan pertanyaan yang terasa ringan namun cukup untuk mencairkan ketegangan yang mungkin ada.
"Rumi, umur kamu berapa sih?" tanyanya dengan nada ragu, seolah-olah berhati-hati menapaki wilayah yang belum familiar.
Rumi membalas dengan tawa kecil, yang berdering ceria di dalam kabin mobil. "Wah, jadi degdegan ditanyain umur,” godanya dengan nada yang riang.
Syifa mengerutkan dahi, sebelum menjelaskan alasan di balik pertanyaannya, "Bukan itu, maksudku, aku cuma ingin tahu gimana aku memanggilmu, Rumi. Apakah cukup 'Rumi', atau mungkin 'Mas', atau bahkan 'Adek'?" katanya, mencoba menyesuaikan diri dengan norma kesopanan yang ia kenal.
Rumi tertawa lebih lepas kali ini, sebuah tawa yang hangat dan menular. "Kamu ini lucu, Syifa. Umurku 29, sebentar lagi 30 tahun. Tapi tenang saja, aku rela kok kalau kamu mau memanggilku 'Adek'." Canda Rumi, sambil memberikan senyum yang lebar.