Duduk di kursi parkiran, Rumi dan Syifa mencoba merenung dan mencerna segala yang baru saja terjadi. Di satu sisi, mereka berusaha meyakinkan diri bahwa semua ini adalah kesalahan, bahwa tidak mungkin terjadi, namun di sisi lain, realita pahit itu tidak bisa dihindari.
Dalam keheningan yang hanya sesekali dipotong oleh suara ambulans yang lewat, mereka berdua memulai proses panjang untuk menghadapi kenyataan dan memulihkan apa yang bisa diselamatkan dari puing-puing kehidupan mereka yang telah hancur.
Di lorong rumah sakit yang sunyi, Rumi berjalan cepat kembali ke meja registrasi, meninggalkan Syifa dengan pengacara yang mereka percayai. Udara dingin dari AC membuatnya merinding, tetapi rasa dingin itu tidak sebanding dengan kebekuan yang sedang ia rasakan di hatinya.
Dengan langkah-langkah yang tergesa-gesa, Rumi menyerahkan sebotol air yang dingin kepada Syifa sebelum beranjak. "Syifa, Abang bantu proses administrasi Ibu dulu ya. Syifa di sini dulu ditemani Om Hotman, ya." Suaranya lembut, mencoba menawarkan secercah kekuatan meskipun ia sendiri merasa rapuh. Syifa hanya mengangguk lemah, matanya yang sayu tidak benar-benar fokus pada Rumi.
Sesampainya di meja registrasi, Rumi segera mengeluarkan ponselnya dan memulai rangkaian telepon yang diperlukan untuk mengurus administrasi medis Ibunya Syifa. Sambil menunggu respon dari pihak rumah sakit, ia menekan nomor kantor dan berbicara dengan sekretaris yang telah lama bekerja dengan Ayah Syifa.
"Halo, Mbak Sari, ini Rumi. Saya di rumah sakit sekarang, perlu data lengkap Ibu Syifa, Istrinya Pak Dedi untuk keperluan administrasi medis. Bisa tolong dikirimkan secepatnya?" suaranya terdengar terburu-buru, namun jelas.
Di sisi lain telepon, respons yang datang adalah campuran simpati dan urgensi. "Tentu, Pak Rumi. Saya akan segera kirimkan melalui email."
Sambil melihat handphonenya Rumi mulai mengisi formulir yang diperlukan, matanya sesekali mencuri pandang ke arah tempat Syifa duduk, memastikan bahwa ia masih terlihat tenang di samping Om Hotman. Setiap angka dan data yang ia tulis, setiap detail yang ia isi, Rumi merasa seolah sedang menata kembali potongan-potongan kehidupan yang tercecer.
Rumi memeriksa data, memastikan bahwa segala informasi yang dibutuhkan sudah lengkap sebelum ia menyerahkannya kepada petugas administrasi. Rasa lega sejenak menyelinap di antara kekhawatiran yang masih berkecamuk dalam dada.
Kembali ke samping Syifa, Rumi merasakan berat dari setiap langkahnya. Hari itu, rumah sakit bukan sekadar tempat untuk penyembuhan fisik, tetapi juga menjadi medan pertempuran emosi bagi mereka yang berada di dalamnya.
Setelah beberapa jam yang terasa seperti berhari-hari, menghabiskan waktu di lorong rumah sakit yang penuh dengan ketidakpastian dan kekhawatiran, Rumi merasakan kelelahan yang mulai menyergapnya—tak hanya fisik tetapi juga mental. Ia menoleh kepada Syifa, yang duduk layu di sampingnya, mata sayunya menatap kosong ke depan.
"Syifa, mungkin kita bisa istirahat sebentar? Kita tidak tahu kapan dokter akan memberikan kabar selanjutnya. Kamu perlu tenaga jika ingin terus di sini," bisik Rumi lembut, mencoba meyakinkan gadis yang terlihat semakin pucat itu.
Syifa menggeleng pelan, suaranya hampir tak terdengar, "Aku mau di sini, Bang. Aku harus ada untuk Ibu. Aku takut..."
Melihat kegigihan Syifa yang tak kunjung padam, Rumi merasa tak bisa memaksanya. Namun, ia juga tahu keduanya membutuhkan waktu untuk menarik napas, untuk sekedar mengumpulkan kembali kekuatan mereka. "Oke, tapi gimana kalau kita ke masjid dulu. Kita bisa beristirahat dan berdoa, mendapatkan sedikit ketenangan dan napas baru. Itu akan baik untuk kamu, Syifa."
Setelah sedikit berpikir, Syifa mengangguk, mengakui bahwa ia memang membutuhkan waktu untuk menenangkan diri dan berdoa. Mereka pun berjalan pelan menuju masjid yang berada di perkarangan rumah sakit, suara langkah kaki mereka menggema tenang di koridor yang semakin sepi.
Syifa pergi ke area wudhu wanita, sementara Rumi melakukan hal yang sama di bagian pria. Mereka bertemu kembali di area shaf yang terpisah. Di balik pembatas yang memisahkan shaf laki-laki dan perempuan, Rumi merasa ingin melihat Syifa, memastikan gadis itu baik-baik saja, tetapi semua yang bisa ia lakukan hanyalah berdoa dalam hati sambil menundukkan kepala dalam sujud.
Setelah shalat, Rumi menunggu di luar masjid, menatap pintu yang Syifa masuki tadi. Langit mulai berubah warna, warna jingga senja menyapa, namun Syifa belum juga keluar. Kekhawatiran kembali membayangi pikiran Rumi.
Ketika waktu magrib tiba, Rumi kembali masuk ke masjid untuk shalat berjamaah, bergabung dengan jamaah lain yang juga mencari kedamaian di tempat suci itu. Di setiap rakaat, doanya hanya satu: agar Syifa mendapatkan kekuatan untuk menghadapi apa pun yang mungkin terjadi, dan agar keadaan Ibunya membaik.
Shalat magrib berakhir, dan Rumi masih duduk di masjid, menunggu, berdoa, dan sesekali menoleh ke pintu, berharap melihat Syifa muncul dengan wajah yang sedikit lebih tenang. Waktu terus berjalan, dan Rumi hanya bisa berharap bahwa dalam kesunyian masjid itu, Syifa menemukan sedikit kedamaian yang ia cari.
Rumi keluar dan menunggu dengan sabar, pandangannya tertuju pada pintu tempat Syifa masuk beberapa waktu lalu. Ketika akhirnya Syifa keluar, memasang kembali sepatunya dengan gerakan lambat dan hati-hati, Rumi merasa lega. Sebuah senyum tipis menghiasi wajahnya saat ia melihat gadis itu—gadis yang begitu kuat meski dunia di sekitarnya tengah dilanda badai.
Rumi mendekat, memberikan ruang bagi Syifa untuk menenangkan diri sebelum mereka melanjutkan perjalanan kembali ke dalam rumah sakit. "Syifa, gimana keadaan kamu sekarang?" tanyanya dengan lembut saat mereka mulai berjalan perlahan menuju bangunan rumah sakit yang terasa begitu dingin dan steril.
Syifa menoleh ke arahnya, matanya masih tampak lelah, tapi ada secercah tekad yang tak bisa disembunyikan. "Masih rapuh, tapi alhamdulillah, masih ada tenaga untuk menghadapi hari ini, besok, dan seterusnya," jawabnya. Suaranya datar, tanpa ekspresi yang berlebihan, namun kata-katanya membawa rasa lega bagi Rumi. Ia bisa merasakan bahwa meski dalam kepedihan, masih ada secercah harapan yang berpendar di hati Syifa.
"Alhamdulillah, Abang lega dengarnya," balas Rumi dengan nada tulus.
Perjalanan mereka terasa lambat, setiap langkah seakan memiliki bobot yang tak terlihat, tapi keduanya tetap melangkah maju. Meskipun beban itu belum sepenuhnya terangkat, mereka tahu bahwa perjalanan ini belum usai dan masih banyak yang harus dihadapi.
Setibanya kembali di rumah sakit, Rumi dan Syifa langsung menuju petugas medis yang sedang bertugas, berharap mendapatkan informasi terbaru mengenai perkembangan kondisi Ibu Syifa. Hati mereka berdegup kencang, tapi setidaknya mereka kini menghadapi situasi ini bersama, saling menguatkan dan siap untuk apapun yang akan mereka dengar selanjutnya.
Syifa mendekati meja perawat dengan langkah yang sedikit gemetar, masih dipenuhi kecemasan yang menggumpal di dadanya. "Mbak, kami mau nanya perkembangan atas nama Ibu Melati Sukma gimana ya? Udah boleh dijenguk ke dalam?" tanyanya, suaranya terdengar tenang namun penuh harap.