Perasaan Syifa yang sempat membaik saat berada di luar rumah seketika berubah begitu ia melangkah masuk ke dalam rumah. Setiap sudut ruangan tampak dipenuhi dengan hawa kesedihan yang begitu pekat, seolah-olah duka yang baru saja ia alami masih bersembunyi di setiap sudut, menunggu untuk kembali menyerangnya. Udara yang ia hirup terasa berat, mengingatkannya pada kenyataan pahit yang harus ia hadapi.
Bi Imah, yang sengaja menunggu kepulangan Syifa, segera menyadari kehadiran gadis itu. Raut wajahnya yang cemas berubah menjadi penuh perhatian saat melihat Syifa memasuki rumah. "Neng Syifa, mau minum atau makan dulu? Bibi udah siapin," tawar Bi Imah dengan nada lembut, berusaha memberikan sedikit kenyamanan.
Namun, Syifa hanya menggeleng pelan. Wajahnya tiba-tiba berubah, matanya berkaca-kaca seolah ingin menangis dan teriak, tapi tak ada kata yang keluar. Tanpa memperhatikan Bi Imah lebih lama, Syifa berlari menuju kamarnya, pintu kamar terbanting dengan suara keras saat ia menutupnya.
Di dalam kamar, Syifa menjatuhkan diri ke tempat tidur, tubuhnya tenggelam dalam kasur yang terasa dingin dan sunyi. Tangannya menggenggam selimut dengan erat, dan giginya menggigit bantal yang seolah-olah bisa meredam teriakannya. Ia ingin sekali melepaskan semua rasa sakit, ingin berteriak, ingin marah, bertanya kepada dunia kenapa semua ini harus terjadi padanya.
Sementara itu, di luar kamar, Bi Imah merasa cemas dan bingung harus berbuat apa. Saat itulah handphonenya berbunyi, nomor yang tidak dikenal muncul di layar. Meski merasa ragu dan sedikit takut karena jam sudah hampir tengah malam, Bi Imah akhirnya memutuskan untuk mengangkat telepon itu, siapa tahu ada sesuatu yang penting.
"Hallo, Bi Imah," terdengar suara laki-laki di ujung telepon, suaranya terdengar akrab meski Bi Imah belum bisa mengenalinya.
"Hallo, ini siapa ya?" tanya Bi Imah, mencoba mengingat siapa pemilik suara itu.
"Ini Rumi, Bi. Save nomor Rumi ya, kalau ada apa-apa dengan Syifa, Bibi langsung telepon saya," jawab Rumi sambil tetap fokus mengemudi, meski menggunakan earphone agar tetap aman.
"Ohhh, Mas Rumi..." Bi Imah merespon, merasa sedikit lega mengetahui siapa yang menelepon.
"Panggil aja Bang Rumi, Bi, biar sama kayak Syifa," kata Rumi dengan nada lebih santai, berusaha membuat suasana lebih ringan.
"Hehehe, iya, Bang Rumi. Untung telepon, tahu gak tadi Neng Syifa ke kamarnya sambil lari terus tutup pintunya kayak dibanting gitu," cerita Bi Imah, suaranya penuh kekhawatiran.
"Hah? Yang bener, Bi? Tadi saya lihat Syifa udah lebih baik," suara Rumi berubah serius, penuh keprihatinan.
"Mungkin pas ngerasain suasana rumah, Bang. Udah beda kan gak ada siapa-siapa di sini selain saya," Bi Imah menjelaskan, merasa suasana rumah memang terlalu sepi dan sunyi untuk Syifa yang baru saja kehilangan banyak hal.
"Yaudah, coba Bibi pelan-pelan ke depan kamar Syifa ya. Saya mau denger ada suara apa di sana," pinta Rumi, suaranya terdengar lebih khawatir.
Bi Imah mengikuti permintaan Rumi dengan hati-hati mendekati pintu kamar Syifa. Setelah mendekat, ia meletakkan handphone di depan pintu kamar, dan Rumi bisa mendengar suara isakan tangis yang teredam dari balik pintu. Hati Rumi teriris mendengar betapa dalamnya kesedihan Syifa.
"Bii.." Rumi memanggil kembali.
Bi Imah kembali mengangkat handphone, mendekatkannya ke telinga. "Iya, Bang Rumi?"
"Rumi titip Syifa ya, Bi. Kalau boleh, Bibi tidur di dekat kamar Syifa aja malam ini, saya khawatir. Pokoknya pagi-pagi saya langsung ke sana lagi," ujar Rumi, suaranya penuh perhatian dan kekhawatiran.
Bi Imah mengangguk setuju, meski tahu Rumi tidak bisa melihatnya. "Baik, Bang Rumi. Bibi akan tidur di sofa depan kamarnya Neng Syifa."
Obrolan singkat itu berakhir, tapi meninggalkan kekhawatiran mendalam di hati Rumi. Ia berharap Syifa bisa mendapatkan sedikit ketenangan di tengah malam yang penuh duka ini.
Ketika Rumi mendapatkan kabar terbaru tentang Syifa dari bi Imah, pikirannya terus dipenuhi oleh berbagai kekhawatiran. Mobilnya melaju pelan di jalanan yang mulai sepi, lampu-lampu jalan menyala lembut, namun rasa gelisah di hatinya masih terasa berat. Rumi mencoba untuk fokus pada jalan di depannya, tapi bayangan wajah Syifa yang penuh kesedihan terus menghantui pikirannya.
Ia menekan tombol di dashboard mobil, memutar lagu yang biasanya menenangkannya, tapi kali ini lagu-lagu itu seolah hanya menjadi latar belakang dari kecamuk pikiran yang tak henti-hentinya berputar. Rumi teringat suara tangisan Syifa yang terdengar samar dari balik pintu kamarnya, membuat hatinya teriris.
"Mudah-mudahan besok Syifa bisa lebih baik," gumamnya pada diri sendiri, mencoba memberi semangat.
Saat mendekati rumah, Rumi melihat cahaya lampu yang masih menyala di ruang tamu dari kejauhan. Mobilnya berhenti di depan pintu gerbang, dan ia mengambil napas dalam-dalam sebelum keluar dari mobil. Ada perasaan aneh yang tiba-tiba muncul—rasa takut dan harapan bercampur aduk—ketika ia hendak melangkah masuk ke rumah.
Rumi berjalan pelan menuju pintu utama. Setiap langkahnya terasa berat, seolah ada beban yang menahannya. Ia tahu bahwa di dalam rumah ini, ada sosok yang sangat ia rindukan, namun juga ada ketidakpastian yang membuatnya cemas.
Ketika ia membuka pintu depan, cahaya lampu ruang tamu menyambutnya. Rumi berhenti sejenak di ambang pintu, matanya tertuju pada sosok yang berdiri di ruang tamu.
"Papa?" suaranya terdengar tak percaya.
Papanya berdiri di sana, tampak lelah namun masih dengan postur yang tegar. Rumi tidak menunggu lebih lama, ia langsung bergegas masuk dan memeluk papanya dengan erat. Selama beberapa detik, keduanya hanya berdiam diri, menikmati momen yang langka ini.
"Akhirnya, Papa come back," bisik Rumi, suaranya penuh kelegaan. Rasa rindu dan kekhawatiran yang selama ini ia pendam seolah menemukan jawabannya. Tapi di balik kebahagiaan itu, Rumi tahu bahwa masih banyak hal yang perlu diselesaikan.
Papanya mengusap punggung Rumi dengan lembut, seolah memahami betapa beratnya beban yang ditanggung oleh putranya selama ini. "Papa pulang Nak. Kita akan hadapi ini bersama-sama."
Rumi mengangguk, melepaskan pelukan dengan perlahan. "Banyak yang terjadi, Pa," ucapnya, suaranya sedikit bergetar.
"Yuk, certain sama Papa yah sekalian Papa juga mau cerita," jawab ayahnya dengan tenang, mengajak Rumi untuk duduk dan berbicara lebih lanjut.
Mereka berdua kemudian duduk di sofa, suasana di rumah terasa hangat namun juga penuh dengan beban emosional. Rumi tahu bahwa perjalanannya masih panjang, tapi dengan papa di sisinya, ia merasa lebih kuat untuk menghadapi apapun yang akan datang.
Setelah berbicara cukup lama dengan papanya di ruang tamu, Rumi merasa sedikit lega. Malam itu, mereka berbicara tentang segala hal yang telah terjadi—tentang dugaan keterlibatan papanya dalam peristiwa tragis yang menimpa keluarga Syifa, dan tentang upaya yang sedang dilakukan untuk membersihkan nama baik papanya. Papa menekankan pentingnya menghadapi semua ini dengan kepala dingin dan hati yang lapang, meskipun cobaan ini terasa begitu berat.
Rumi juga menceritakan keadaan Ibu Syifa yang masih belum sadarkan diri di ruang ICU.
Malam semakin larut, dan setelah memastikan bahwa semuanya telah dibicarakan, Rumi pamit untuk beristirahat. Kamar tidurnya terasa begitu tenang, tapi pikiran Rumi masih penuh dengan segala hal yang harus ia hadapi esok hari. Ia menyalakan lampu tidur dan merebahkan tubuhnya di kasur.
Sebelum tidur, ia memeriksa handphone untuk memastikan tidak ada pesan penting yang terlewat. Tidak ada pesan dari Syifa atau Bi Imah, dan itu sedikit menenangkannya. Ia memejamkan mata, mencoba untuk tidur, tapi pikirannya masih melayang pada Syifa—membayangkan bagaimana gadis itu mungkin sedang berjuang menghadapi kesedihannya sendirian di rumah.
Setelah beberapa lama, akhirnya rasa lelah mengalahkan kegelisahannya, dan Rumi pun tertidur dengan pikiran yang masih penuh.
Pagi hari tiba lebih cepat dari yang Rumi harapkan. Matahari belum sepenuhnya terbit ketika alarm di handphonenya berbunyi. Ia bangun dengan perlahan, merasakan sisa-sisa mimpi buruk yang samar-samar menghantui pikirannya. Rumi menarik napas dalam-dalam, mengumpulkan tekadnya untuk menghadapi hari ini.
Setelah mencuci muka dan bersiap-siap, Rumi mengenakan pakaian yang nyaman namun tetap rapi. Pikirannya sudah tertuju pada Syifa—ia tahu gadis itu pasti masih butuh dukungan, terutama setelah malam yang berat. Sebelum pergi, Rumi menyempatkan diri untuk menemui papanya di ruang makan.
"Pa, Rumi mau ke rumah Syifa pagi ini. Rumi janji sama dia untuk nemenin ke rumah sakit lagi," kata Rumi sambil menyantap sarapan yang disiapkan oleh pembantu rumah tangga.
Papanya mengangguk pelan. "Pergilah, Nak. Syifa pasti butuh kamu sekarang. Jangan lupa kabari Papa kalau ada perkembangan baru," ujarnya dengan penuh pengertian.
Rumi menghabiskan sarapannya dengan cepat, kemudian mengambil kunci mobilnya yang sudah ada di meja dekat dengan gelas minum Rumi. Sebelum berangkat, ia menerima telepon singkat dari pengacara papanya, yang memberitahukan bahwa tidak ada perkembangan baru yang signifikan, dan bahwa ia akan tetap memantau situasi.
Dengan segala yang sudah siap, Rumi melangkah keluar rumah. Udara pagi yang sejuk menyambutnya, memberikan sedikit rasa segar di tengah segala kekhawatiran yang menggelayut di benaknya. Ia masuk ke dalam mobil, menyalakan mesin, dan mengarahkan kendaraannya ke rumah Syifa.