Begitu pintu ruang ICU terbuka, Syifa kembali merasakan berat di dadanya. Ruangan itu sunyi, hanya diisi oleh suara alat-alat medis yang berbunyi monoton, mengingatkan betapa rapuhnya keadaan Ibunya saat ini. Syifa melangkah pelan, menahan napas saat mendekati ranjang tempat Ibunya terbaring.
Di sana, Ibu tampak begitu lemah. Tubuhnya terhubung dengan berbagai alat medis, dan wajahnya terlihat pucat. Melihat pemandangan ini, hati Syifa seperti teriris. Tanpa disadari, air matanya kembali mengalir.
Syifa mendekatkan dirinya ke ranjang, tangannya gemetar saat ia meletakkan bungkus bubur ayam yang tadi dibelinya di meja dekat tempat tidur Ibunya. Bungkus itu kini terasa begitu berat, bukan karena isinya, tetapi karena harapan dan ketidakpastian yang menyertainya. Ia berharap Ibu akan membuka mata, tersenyum padanya, dan mereka bisa makan bubur ayam ini bersama seperti yang sering mereka lakukan dulu.
"Ibu..." Syifa berbisik lirih, suaranya tercekik oleh tangis yang ia tahan. "Syifa bawa bubur ayam kesukaan Ibu... Bangun ya, Bu... kita makan sama-sama."
Rumi berdiri di dekat pintu, memberikan ruang untuk Syifa dan Ibunya. Ia merasakan betapa dalamnya rasa sakit yang dialami Syifa saat ini, dan hanya bisa berdoa dalam hati agar keajaiban datang untuk keluarga ini.
Syifa memegang tangan Ibunya yang terasa dingin, menggenggamnya dengan erat seolah ingin menyalurkan semua kekuatannya ke dalam tubuh Ibu yang tak berdaya itu. "Ibu, Syifa di sini. Tolong bangun, Bu..." ujarnya dengan suara serak, berharap ada sedikit respon dari Ibu, meski tahu keadaan Ibunya sangat kritis.
Bungkus bubur ayam itu tetap tergeletak di meja, tak tersentuh, menjadi simbol dari harapan yang tak pasti. Syifa menatapnya dengan pandangan penuh harap, namun juga diselimuti oleh rasa takut akan kemungkinan terburuk.
Rumi, yang tak tega melihat Syifa dalam keadaan seperti ini, melangkah mendekat dan meletakkan tangannya di bahu Syifa. "Kita doakan yang terbaik untuk Ibu. Insyaallah, Ibu akan bangun dan kumpul lagi bersama kita."
Syifa hanya mengangguk, matanya tetap terpaku pada wajah Ibunya yang tenang namun tak berdaya. Ia tahu bahwa waktu yang dimilikinya bersama Ibu di ruangan ini sangat terbatas, tapi ia tidak ingin pergi. Ia ingin berada di samping Ibunya selama mungkin, menggenggam tangan itu dan berharap keajaiban terjadi.
Syifa merasakan tangan Ibunya yang dingin dalam genggamannya. Air mata terus mengalir dari matanya tanpa henti. Setiap detik yang berlalu terasa seperti menyayat hati, seolah-olah setiap tarikan napas Ibunya adalah tarikan terakhir yang mungkin ia dengar.
"Ibu..." Syifa berbisik dengan suara yang nyaris tak terdengar, suaranya pecah di antara isakan yang ia coba tahan. "Ibu, tolong jangan pergi... Syifa butuh Ibu di sini... Syifa nggak bisa sendiri..."
Mata Syifa tertuju pada wajah Ibunya yang tenang, terlalu tenang. Ia berharap bisa melihat kelopak mata itu bergerak, memberikan tanda-tanda kehidupan, namun tidak ada. Hanya ada keheningan yang begitu mencekam, yang membuatnya merasa begitu kecil dan tak berdaya.
"Ibu, kalau Ibu dengerin Syifa... bangun ya, Bu," lanjutnya, suaranya penuh dengan harapan yang nyaris putus. "Syifa tahu Ibu kuat... Ibu selalu bilang sama Syifa, kita nggak boleh nyerah, kan? Ibu selalu ngajarin Syifa buat jadi perempuan yang tangguh... Tapi sekarang, Syifa yang butuh Ibu buat kuat. Syifa nggak bisa hadapin semua ini sendiri."
Tangis Syifa semakin keras, ia berusaha menahan suara, namun tak lagi mampu. Ia membungkuk lebih dekat ke Ibunya, membiarkan air matanya jatuh di atas tangan Ibunya yang dingin.
"Bu... Syifa janji, kalau Ibu bangun, Syifa akan jaga Ibu, Syifa nggak akan biarin Ibu sakit lagi... Syifa akan ada buat Ibu, kapan pun Ibu butuh... Tapi tolong, jangan tinggalin Syifa sendiri..." suaranya semakin bergetar, setiap kata yang keluar terasa seperti membawa beban yang semakin berat.
Ia menggenggam tangan Ibunya lebih erat, berharap ada kehangatan yang kembali, namun tetap tak ada respon. Hanya suara mesin-mesin medis yang mengiringi keheningan di ruangan itu.
"Ibu, Syifa ingat semua cerita kita... semua tawa dan tangis yang kita lewati bareng-bareng. Ibu yang selalu ada buat Syifa, Ibu yang selalu bikin Syifa merasa dicintai, meskipun kadang Syifa nggak pernah bilang seberapa besar Syifa sayang sama Ibu... Tapi Syifa sayang banget sama Ibu, Bu. Tolong bangun, Ibu... kita belum selesai, kita masih punya banyak cerita yang harus kita buat bersama..."
Namun tetap saja, Ibu tetap diam, dengan wajah yang tenang namun tanpa ekspresi, seolah berada di dunia lain yang jauh dari jangkauan Syifa. Kesedihan menyelimuti hati Syifa, semakin mendalam dengan setiap detik yang berlalu.
"Ibu, Syifa takut..." akhirnya, kata-kata itu keluar dari mulutnya, perasaan yang selama ini ia tahan, perasaan yang begitu menyayat hati. "Syifa takut kehilangan Ibu... Syifa nggak tahu gimana caranya hidup tanpa Ibu..."
Rumi yang berdiri di dekat Syifa, merasakan betapa beratnya beban yang ditanggung gadis itu. Ia ingin memberikan dukungan, tapi kata-kata terasa tidak cukup. Ia hanya bisa berdiri di sana, memberikan kehadirannya sebagai tanda bahwa Syifa tidak sendirian.
Syifa menundukkan kepalanya, mencium tangan Ibunya dengan penuh cinta, seolah ingin menyalurkan semua perasaannya melalui sentuhan itu. "Ibu, kalau Ibu nggak bisa bangun, tolong... tolong kasih Syifa kekuatan buat ngelanjutin hidup ini. Syifa mohon, Bu... Syifa nggak tahu harus gimana kalau Ibu pergi..."
Setiap kata yang keluar dari mulut Syifa penuh dengan kesedihan dan cinta yang mendalam, perasaan yang hanya bisa dirasakan oleh seorang anak yang begitu mencintai Ibunya. Hatinya hancur, tetapi ia tahu, ia harus siap untuk apa pun yang terjadi.
"Ibu... Syifa sayang Ibu... tolong jangan tinggalkan Syifa sendirian..." bisik Syifa sekali lagi, sebelum akhirnya ia melepaskan genggamannya, menyadari bahwa ini adalah saat yang paling sulit dalam hidupnya.