Sampai di kantor, Rumi memarkir mobilnya dan melangkah masuk dengan langkah yang sedikit terburu-buru. Di dalam, suasana kantor terlihat lebih tenang dari biasanya, seolah-olah semua orang masih dalam tahap penyesuaian setelah peristiwa yang baru saja terjadi. Ketika Rumi melangkah masuk ke lobi, ia melihat papanya, Pak Erwind, sedang berdiri sambil berbicara dengan beberapa staf senior.
Rumi mendekat, dan Pak Erwind langsung menyambutnya dengan senyuman hangat. Mereka bersalaman, dan Rumi merasakan kehangatan yang selalu ia dapatkan dari papanya.
"Gimana, Rumi? Udah ketemu Syifa?" tanya Pak Erwind dengan nada yang lembut namun penuh perhatian.
Tanpa sadar, Rumi menjawab dengan spontan, "Iya, Pa, Rumi baru aja nganterin Syifa ke floristnya."
Mendengar itu, Pak Erwind tertawa kecil, menepuk bahu Rumi dengan penuh kasih. "Syifa, sepertinya ada sesuatu yang lebih dari sekadar teman baru di sini."
Wajah Rumi mendadak memerah, merasa malu karena secara tidak sengaja menunjukkan perasaannya. Ia menggaruk belakang kepalanya, berusaha menyembunyikan rasa malunya. "Ah, Pa... Rumi cuma berusaha bantu Syifa aja, dia lagi butuh teman sekarang."
Pak Erwind masih tersenyum, matanya penuh pengertian. "Ya, Papa paham, Rumi. Syifa itu gadis yang kuat, tapi bahkan orang yang paling kuat pun butuh dukungan di saat-saat sulit seperti ini."
Rumi mengangguk, merasa sedikit lega karena papanya tidak terlalu menekankan hal itu. "Iya, Pa. Rumi cuma pengen dia tahu kalau dia nggak sendirian."
Pak Erwind mengangguk lagi, lalu mengajak Rumi untuk berjalan bersamanya ke arah ruang rapat. "Yuk, kita ke ruang rapat. Papa mau ajak semua karyawan kumpul. Kita perlu meluruskan apa yang terjadi selama ini, dan juga membahas langkah ke depan."
Mereka berdua berjalan berdampingan menuju ruang rapat. Sepanjang perjalanan, Rumi bisa merasakan keseriusan dalam langkah papanya. Pak Erwind tahu bahwa ini adalah momen krusial bagi perusahaan, terutama setelah kehilangan salah satu pemimpin yang dihormati, almarhum ayah Syifa.
Ketika mereka tiba di ruang rapat, beberapa staf inti perusahaan sudah mulai berkumpul. Suasana terasa berat, banyak di antara mereka yang masih terlihat muram setelah kehilangan rekan kerja yang begitu dihormati.
Pak Erwind berdiri di depan ruangan, meminta semua orang untuk duduk. Rumi mengambil tempat duduk di sebelah papanya, siap mendengarkan apa yang akan dibicarakan.
Pak Erwind memulai pertemuan dengan nada suara yang tenang namun penuh wibawa. "Terima kasih semua sudah bisa hadir di sini. Saya tahu ini waktu yang sulit bagi kita semua, terutama setelah kehilangan rekan kita, Pak Dedi. Beliau adalah pemimpin yang hebat dan kita semua merasakan kehilangan yang mendalam."
Semua orang di ruangan itu mengangguk, beberapa di antaranya terlihat menunduk, berusaha menyembunyikan emosi mereka.
"Kita di sini bukan hanya untuk mengenang beliau, tapi juga untuk melanjutkan visi dan misi yang sudah beliau bangun bersama kita," lanjut Pak Erwind. "Hari ini, kita perlu berdiskusi serius tentang langkah ke depan, termasuk mencari pengganti yang tepat untuk posisi beliau."
Rumi mendengarkan dengan seksama, pikirannya berputar, memikirkan bagaimana posisi ini akan memengaruhi Syifa dan dirinya sendiri. Meski perasaannya terhadap Syifa semakin kuat, ia tahu bahwa ini bukan hanya tentang perasaan pribadi, tapi juga tentang menjaga warisan dan tanggung jawab besar yang ditinggalkan oleh ayah Syifa.
Suasana di dalam ruangan menjadi lebih serius. Semua orang tahu bahwa mencari pengganti almarhum Pak Dedi bukanlah tugas yang mudah. Beliau tidak hanya seorang pemimpin yang kompeten, tetapi juga seseorang yang sangat dihormati dan dicintai oleh semua orang di perusahaan.
Seorang peserta rapat yang sudah senior, Pak Budi, mengangkat tangannya dan berbicara.
"Kalau saya boleh berpendapat," ujar Pak Budi dengan suara tegas namun tenang, "saya rasa, salah satu kandidat terbaik yang kita miliki untuk menggantikan posisi Pak Dedi adalah Pak Rumi."
Ruangan itu langsung hening sejenak, semua mata tertuju pada Rumi. Rumi sendiri terkejut, tidak menyangka bahwa namanya akan muncul dalam diskusi ini. Ia merasakan tatapan dari para peserta rapat, termasuk papanya, Pak Erwind, yang menatapnya dengan sorot mata yang sulit ditebak.
Pak Budi melanjutkan, "Perusahaan ini butuh seorang leader yang muda, yang punya semangat baru, dengan pemikiran yang lebih kreatif dan menyesuaikan perkembangan zaman. Pak Rumi, menurut saya, sangat cocok dengan kriteria itu. Apalagi, Pak Rumi bisa intens berguru dengan papanya sendiri, Pak Erwind, yang kita semua tahu sangat berpengalaman."
Rumi berusaha untuk menutupi rasa terkejutnya, namun ia bisa merasakan wajahnya mulai memanas. Ia menunduk sejenak, mencoba merangkai kata-kata yang tepat untuk merespons usulan yang tiba-tiba ini.
"Terima kasih banyak, Pak Budi, dan semuanya, atas kepercayaan dan sarannya," kata Rumi dengan nada yang tenang, meskipun di dalam hatinya ia masih merasa kaget. "Saya tidak menyangka akan ada saran seperti ini, dan saya merasa terhormat. Namun, saya rasa kita perlu mempertimbangkan semua opsi dengan matang. Barangkali ada di antara kita yang lebih berpengalaman atau lebih cocok untuk posisi ini. Mungkin kita bisa mengumpulkan nama-nama kandidat, lalu kita ajukan ke komisaris dan pemegang saham untuk diputuskan bersama."
Salah satu peserta rapat, Bu Rina, yang duduk di sisi kanan meja, langsung merespons dengan nada penuh semangat, "Tuh kan, hal kayak gini aja Pak Rumi sudah bisa memberikan arahan dan keputusan yang bijak. Calon pemimpin kami memang sudah jelas."
Beberapa orang di ruangan itu tersenyum dan mulai memberikan tepuk tangan sebagai tanda dukungan. Rumi hanya bisa tersenyum tipis, merasa bingung harus bersikap seperti apa. Di satu sisi, ia merasa bangga karena dihargai dan dianggap layak oleh rekan-rekannya, tetapi di sisi lain, ia merasa berat untuk menerima tanggung jawab sebesar ini, terutama di tengah kondisi perusahaan yang masih berduka dan belum sepenuhnya pulih.
Pak Erwind menepuk pundak Rumi dengan lembut, memberikan dukungan tanpa kata-kata. Ia bisa merasakan kebingungan yang dirasakan anaknya, namun sebagai seorang ayah, ia juga merasa bangga melihat bagaimana Rumi mampu menangani situasi ini dengan tenang dan bijaksana.
Rumi menghela napas dalam-dalam, mencoba menenangkan pikirannya. "Terima kasih sekali lagi untuk kepercayaan rekan-rekan. Saya akan mempertimbangkan ini dengan sangat serius. Tapi mari kita tetap lanjutkan prosesnya dengan adil dan transparan. Kita harus memastikan bahwa siapa pun yang dipilih nanti, dia benar-benar yang terbaik untuk perusahaan ini."
Rapat pun dilanjutkan dengan suasana yang sedikit lebih ringan. Namun, di dalam hati Rumi, pergolakan masih terjadi. Ia tahu bahwa jalan di depannya tidak akan mudah, dan keputusan apa pun yang diambil akan berdampak besar—bukan hanya bagi dirinya, tetapi juga bagi orang-orang yang bekerja di perusahaan ini, termasuk Syifa.