Setelah beberapa saat berkendara, Syifa tiba-tiba memutuskan, "Bang, sebelum pulang, kita mampir ke rumah sakit dulu, ya? Syifa mau lihat Ibu dulu."
Rumi melirik ke arah Syifa sejenak, lalu mengangguk setuju. "Siap, kita ke sana dulu."
Perjalanan ke rumah sakit terasa lebih hening dibandingkan sebelumnya. Masing-masing tenggelam dalam pikiran mereka sendiri, mempersiapkan hati untuk menghadapi apapun yang mungkin terjadi.
Setibanya di rumah sakit, Syifa dan Rumi sepakat untuk mampir ke masjid terlebih dahulu. Rumi tahu bahwa berdoa adalah salah satu cara terbaik untuk menenangkan hati dan mencari kekuatan di tengah situasi yang berat ini. Mereka berdua berjalan menuju masjid yang berada di perkarangan rumah sakit.
Di dalam masjid, Syifa dan Rumi mengambil air wudu sebelum melangkah ke dalam shaf masing-masing. Suasana masjid yang tenang memberikan sedikit kedamaian bagi hati mereka yang sedang gelisah. Syifa bersimpuh lama di bagian shaf perempuan, menundukkan kepala dan memohon pada Allah untuk keadaan yang lebih baik, juga memohon ketenangan hati agar ia bisa menghadapi setiap episode kehidupan ini dengan tabah.
Rumi, di sisi lain, menyelesaikan doanya lebih cepat. Ia keluar dari shaf laki-laki dan menunggu di luar, sesekali melirik ke arah pintu khusus wanita dengan harapan Syifa segera keluar. Ketika pintu itu akhirnya terbuka, Rumi melihat Syifa keluar sambil mengenakan kembali sepatunya. Wajah Syifa terlihat tenang, meskipun sorot matanya masih menyimpan kecemasan yang mendalam.
Mereka berjalan beriringan menuju rumah sakit. Dalam perjalanan, Rumi mencoba mencairkan suasana dengan obrolan ringan. "Syifa, kayaknya abis ini kita perlu cari tempat yang nyaman buat duduk ya. Pasti capek banget hari ini ya."
Syifa tersenyum tipis, meski hatinya masih berat. "Iya, mungkin nanti kita bisa duduk di taman rumah sakit dulu, Bang. Tapi sekarang Syifa pengen lihat Ibu dulu."
Rumi mengangguk mengerti. "Kita lihat Ibu dulu, ya. Apapun kabarnya nanti, kita hadapi bareng-bareng."
Obrolan mereka yang ringan sedikit membantu mengurangi ketegangan yang ada. Syifa merasa sedikit lebih tenang saat mereka mendekati ruangan di mana Ibunya dirawat. Meski hatinya masih berat, kehadiran Rumi di sampingnya memberikan kekuatan tambahan untuk menghadapi situasi ini. Mereka melangkah masuk ke dalam rumah sakit, bersiap untuk mendengar kabar selanjutnya mengenai perkembangan kondisi Ibu Syifa.
Syifa dan Rumi berjalan menuju meja perawat. Syifa menarik napas dalam-dalam sebelum berbicara, mencoba mengumpulkan keberanian yang tersisa. "Mbak, saya mau menjenguk Ibu. Bisa minta izin masuk ke ruang ICU?"
Perawat itu tersenyum lembut dan mengangguk. "Tentu, Mbak Syifa. Saya akan temani. Mari kita ke sana."
Mereka berjalan perlahan menuju ruangan ICU. Di sepanjang lorong yang sepi, hanya terdengar suara langkah kaki mereka. Perawat itu kemudian bertanya dengan nada hati-hati, "Mbak Syifa, bagaimana rencana untuk pengobatan Ibu? Apakah sudah diputuskan apakah akan dioperasi atau bagaimana?"
Syifa tersentak, menyadari bahwa dia belum membuat keputusan penting itu. Ia merasa beban itu semakin berat di pundaknya. "Belum... Syifa belum memutuskan, Mbak. Bisakah diberi waktu sampai besok?"
Perawat itu mengangguk pengertian. "Tentu, Mbak. Saya mengerti ini keputusan yang sangat berat. Kami akan menunggu keputusan Mbak Syifa sampai besok."
Syifa merasa sedikit lega, tapi kecemasan masih membayangi. Ia kemudian bertanya, "Ada perkembangan apa tentang kondisi Ibu? Apakah ada perubahan?"
Perawat itu menggeleng pelan, dengan wajah yang penuh simpati. "Maaf, Mbak. Kondisi Ibu masih sama seperti pertama kali beliau masuk. Belum ada perubahan yang signifikan."
Mereka tiba di depan pintu ruang ICU. Perawat itu membuka pintu dengan hati-hati dan mempersilakan Syifa dan Rumi masuk. Suasana di dalam ruangan begitu sunyi, hanya terdengar suara mesin medis yang monoton.
Saat Syifa melangkah masuk, matanya langsung tertuju pada tempat tidur Ibunya. Perasaan sedih kembali menyergap hatinya ketika melihat bahwa sebungkus bubur ayam yang ia tinggalkan tadi sudah tidak ada lagi. Syifa tahu, itu artinya bubur itu telah dibuang—bukan dimakan oleh Ibunya, karena Ibu belum juga sadar.
Syifa mendekati tempat tidur Ibu dengan langkah berat. Ia merasakan genggaman tangan Rumi di bahunya, memberi dukungan tanpa kata-kata. Ketika tiba di samping Ibunya, Syifa menggenggam tangan Ibu yang dingin dan tak bergerak. Air mata mulai mengalir lagi, meski ia berusaha keras untuk menahannya.
"Ibu, Syifa di sini lagi... Maafkan Syifa belum bisa membuat keputusan tentang operasi. Syifa cuma ingin Ibu bangun... Syifa mohon, bangunlah, Bu."
Rumi berdiri di sebelah Syifa, membiarkan Syifa berbicara dengan Ibunya yang masih terbaring. Ia tidak tahu harus berkata apa, tapi ia tahu kehadirannya sangat berarti bagi Syifa saat ini.
Waktu terasa begitu lambat di ruangan itu. Syifa terus berbicara dengan Ibunya, berharap ada keajaiban yang terjadi. Tapi, suara mesin medis yang terus berdengung hanya mempertegas bahwa ibu masih belum sadarkan diri.
Syifa menggenggam tangan Ibunya dengan erat, merasakan dinginnya kulit yang tak bergerak. Air matanya mulai mengalir deras, tapi ia berusaha berbicara dengan suara yang lembut, penuh harap. "Ibu, Syifa di sini, Bu. Syifa kangen banget sama Ibu... Syifa tahu, Ibu pasti capek banget, tapi Syifa mohon, bangunlah, Bu..."
Suara Syifa semakin berat karena isakan yang ia coba tahan. Ia mengusap tangan Ibunya, seakan ingin mentransfer sedikit kehangatan dan cinta yang ia miliki. "Ibu ingat kan, kita pernah rencanain liburan ke Bandung? Syifa janji, kalau Ibu bangun, kita akan pergi ke sana bareng. Kita akan ke tempat-tempat yang Ibu suka, jalan-jalan di Lembang, menikmati udara segar, makan jagung bakar, dan lihat bunga-bunga yang indah. Syifa janji, Bu, kita akan melakukan semua itu sama-sama."
Syifa terisak semakin keras, membayangkan setiap rencana itu seakan nyata di depan matanya, namun terasa begitu jauh dari jangkauannya. "Syifa nggak bisa bayangin hidup tanpa Ibu, Bu... Syifa butuh Ibu... Syifa mohon, bangunlah..."
Rasa putus asa mulai merasuk ke dalam hatinya saat ia melihat kondisi ibunya yang tak kunjung berubah. Namun, di balik itu, ada secercah harapan yang masih ia pegang erat, meski mungkin hanya tinggal sedikit. "Ibu, Syifa tahu, ini semua berat... Tapi Syifa yakin Ibu kuat. Ibu pasti bisa melewatinya. Syifa mohon, kita masih punya banyak waktu untuk bersama, banyak rencana yang belum kita lakuin. Syifa mohon, Bu..."
Syifa menyandarkan kepalanya di samping tempat tidur Ibunya, menangis dalam diam. Ia sadar bahwa harapannya mungkin tipis, tapi itu adalah satu-satunya hal yang ia miliki saat ini. Ia tidak bisa membayangkan hidup tanpa Ibu, tanpa sosok yang selalu ada untuknya, tanpa cinta dan perhatian yang selalu ia rasakan sejak kecil.
Waktu seakan berhenti di ruangan itu, hanya ada suara tangis Syifa yang pelan, seolah berharap setiap tetesan air mata bisa menghidupkan kembali Ibu yang ia cintai. Syifa tahu bahwa kemungkinan Ibunya untuk bangun sangat kecil, tapi ia tidak bisa berhenti berharap. Setiap detik yang ia habiskan di ruangan ini, adalah upaya untuk tetap percaya bahwa suatu saat, ibu akan membuka matanya, tersenyum, dan berkata bahwa semuanya akan baik-baik saja.
Rumi berdiri di sudut ruangan ICU, menyaksikan dengan hati yang berat saat Syifa berbicara dengan ibunya yang masih terbaring tak sadarkan diri. Kata-kata Syifa begitu menyayat hati, penuh harapan yang mungkin terlalu besar untuk dipegang, namun Rumi tahu bahwa harapan itulah yang membuat Syifa tetap kuat. Ia tidak bisa berbuat banyak selain berada di sana, menjadi saksi bisu dari perasaan yang tak terucapkan.
Tiba-tiba, sebuah ide terlintas di pikiran Rumi. Ia merogoh sakunya, mengeluarkan handphone, dan dengan hati-hati mulai mendokumentasikan momen itu. Ia tahu, suatu hari nanti, Syifa mungkin akan membutuhkan kenangan ini—baik untuk mengenang Ibunya, memperlihatkan pada Ibu ketika sudah bangun atau untuk mengingat betapa kuatnya ia pernah bertahan. Rumi mengambil beberapa foto, menangkap suasana ruangan yang sepi, Syifa yang terisak di samping Ibunya, dan juga merekam video pendek. Setiap frame seakan menyimpan seluruh beban dan cinta yang ada di ruangan itu.
Ketika waktu untuk menjenguk habis, perawat masuk untuk memberitahu mereka. Syifa dengan berat hati melepaskan genggaman tangannya dari Ibu, memberikan satu ciuman terakhir di kening Ibunya sebelum mereka keluar dari ruangan ICU. Mereka berjalan perlahan menuju pintu, meninggalkan ruangan dengan perasaan campur aduk.
Di luar, Syifa terlihat bimbang. Ketika mereka tiba di koridor, ia menoleh ke arah Rumi, wajahnya penuh pertanyaan. "Bang Rumi, menurut abang, apa yang harus Syifa lakukan ya? Haruskah Syifa setuju dengan operasi Ibu?"
Rumi terdiam sejenak, menatap mata Syifa yang penuh kebingungan dan ketakutan. Ia merasa berat untuk memberikan jawaban yang tepat karena ini bukan keputusan yang bisa diambil dengan mudah. "Syifa... Abang juga nggak bisa kasih jawaban pasti. Ini keputusan yang sangat berat. Tapi Abang yakin, apapun yang Syifa putuskan, ikuti kata hati Syifa. Abang yakin Allah pasti memberikan petunjuk melalui hati Syifa."
Syifa mengangguk pelan, mencerna kata-kata Rumi. Ia merasa sedikit lebih tenang, meskipun kebingungan masih menggelayuti pikirannya. "Iya, mungkin malam ini Syifa akan merenung dan berdoa. Semoga Allah memberikan petunjuk."
Mereka melanjutkan langkah mereka menuju parkiran. Sesampai di sana, Rumi menyadari bahwa mereka belum makan malam. "Syifa, gimana kalau kita makan dulu? Abang tahu tempat yang enak, mungkin bisa sedikit menenangkan pikiran kita."
Syifa tersenyum tipis, meski jelas lelah dan emosional, ia merasa lega ada Rumi yang selalu siap menemani. "Boleh, Bang. Kita makan malam dulu, mungkin bisa bantu Syifa untuk berpikir lebih jernih."
Rumi mengangguk, dan mereka pun masuk ke dalam mobil, siap untuk menghabiskan malam dengan sedikit pelipur lara. Mereka tiba di sebuah kafe yang terlihat nyaman di pinggir jalan, tempatnya satu arah dengan perjalanan pulang menuju rumah Syifa. Kafe itu memiliki suasana yang tenang, dengan lampu-lampu hangat yang menggantung di langit-langit dan alunan musik lembut yang menenangkan. Mereka memilih duduk di sudut yang agak tersembunyi, memberikan mereka sedikit privasi untuk berbicara lebih bebas.
Setelah memesan steak dan jus, mereka duduk berhadapan, menikmati suasana yang entah sampai kapan kegelisahan ini menginap di hati mereka. Syifa masih terbawa perasaan dari rumah sakit, namun keberadaan Rumi di seberangnya memberikan sedikit kelegaan.
Syifa mengingat obrolan mereka sebelumnya tentang arti sebuah nama. Ia menatap Rumi dengan penasaran, ingin tahu lebih banyak tentang pria yang telah menjadi teman dalam masa-masa sulitnya.
“Bang Rumi,” Syifa memulai, suaranya lembut namun penuh rasa ingin tahu, “Syifa udah cerita soal makna namanya Syifa. Sekarang, Syifa penasaran, apa arti nama lengkap abang? Dan kenapa diberi nama Rumi?”
Rumi tersenyum, menatap Syifa dengan sorot mata yang penuh kedamaian. Ia tampak senang Syifa bertanya soal ini, karena nama adalah sesuatu yang sangat berarti bagi dirinya.
“Nama lengkap Abang itu Jalaluddin El Rumi,” ia menjelaskan dengan nada yang tenang.
“Jalaluddin El Rumi, artinya Penyair yang memberikan kedamaian. Nama ini diambil dari penyair besar, Jalaluddin Rumi. Mama Abang itu senang sekali membaca karya-karyanya. Katanya, ada ketenangan dan kedamaian yang terpancar dari kata-kata Rumi.”
Syifa mendengarkan dengan seksama, meresapi setiap kata yang diucapkan Rumi. “Wah, indah banget artinya. Nama yang penuh makna.”
Rumi melanjutkan, “Mama memberikan nama Abang dengan harapan Abang juga bisa menjadi orang yang menenangkan dan membawa kedamaian untuk orang di sekitar Abang. Nah, tambahan EL itu sebenarnya singkatan dari nama papa dan mama. E itu Erwind, dan L itu Linda. Harapannya, di mana pun Abang berada, Abang nggak akan lupa sama cinta mereka.”
Syifa tersenyum, merasakan hangatnya kasih sayang yang tercermin dalam nama Rumi. “Keren banget, Bang. Mama dan papa Abang pasti benar-benar sayang sama Abang dan memiliki harapan besar.”
Rumi mengangguk pelan, matanya terlihat sedikit berkaca-kaca saat mengingat bagaimana orang tuanya selalu memberikan yang terbaik untuknya. “Iya, mereka selalu berusaha memberikan yang terbaik, termasuk dalam nama. Nama itu punya kekuatan, Syifa. Kadang kita nggak sadar, tapi nama itu membawa harapan dan doa dari orang-orang yang mencintai kita.”
Syifa mengangguk setuju, merasakan hal yang sama tentang namanya sendiri. “Iya, Bang. Syifa juga ngerasa gitu. Nama itu kayak penuntun buat kita menjalani hidup.”
Percakapan mereka terhenti sejenak ketika pelayan datang membawa pesanan mereka. Mereka mulai menikmati steak dan jus sambil sesekali tersenyum, merasa nyaman dengan satu sama lain. Meskipun hari ini penuh dengan cobaan, obrolan ini memberikan mereka kekuatan baru untuk melanjutkan perjalanan yang masih panjang.
Setelah menyelesaikan makan malam mereka yang hangat dan penuh obrolan bermakna, Syifa dan Rumi bersiap untuk melanjutkan perjalanan pulang. Rumi meraih jaketnya dan Syifa menggenggam tas kecilnya. Namun, sebelum mereka sempat beranjak dari meja, handphone Syifa tiba-tiba berdering. Suara itu memecah keheningan sejenak, membuat Syifa refleks mengangkat telepon tanpa melihat siapa yang menelepon.
“Halo?” jawab Syifa dengan nada penasaran.