Di perjalanan pulang, pikiran Rumi penuh dengan kecemasan. Ia memikirkan Syifa yang sekarang harus menghadapi kesepian yang begitu dalam, kehilangan dua orang yang paling ia cintai dalam waktu yang berdekatan. Rumi tahu, ini bukanlah jalan yang mudah untuk dilalui, tapi ia berjanji dalam hati bahwa ia akan selalu ada untuk Syifa, kapan pun ia dibutuhkan.
Sesampainya di rumah, Rumi langsung memberi tahu bi Imah untuk tetap memberi kabar tentang keadaan Syifa. Meski tubuhnya lelah, Rumi merasa lebih tenang karena tahu masih ada cara untuk memastikan Syifa baik-baik saja meski melalui telepon ke bi Imah.
Rumi memasuki rumah dengan pikiran yang bercampur aduk. Ia tahu, hari-hari ke depan akan penuh dengan tantangan, bukan hanya untuk Syifa, tapi juga untuk dirinya sendiri. Namun, dengan segala kekuatan yang ia miliki, Rumi bertekad untuk selalu ada di sisi Syifa, meski itu berarti harus menghadapi banyak hal yang tidak terduga.
Setelah hanya beristirahat sejenak di rumah, Rumi merasa ia harus kembali ke kantor. Meskipun hatinya masih berat meninggalkan Syifa, ia tahu ada tanggung jawab yang tak bisa ia abaikan. Dengan perasaan bercampur aduk, ia bersiap dan berangkat ke kantor.
Sesampainya di kantor, Rumi langsung menuju ruang kerjanya, namun sebelum sempat duduk, pintu yang terbuka membuat ia bisa melihat papa yang kebetulan sedang keluar dari ruang rapat. Papa tampak terkejut melihat Rumi di kantor.
“Lho, kok kamu ke sini? Gak nemenin Syifa dulu?” Papa bertanya dengan nada heran.
Rumi menggeleng, wajahnya sedikit lelah tapi tetap berusaha tenang. “Syifa bilang dia ingin sendiri dulu, Pa. Dia butuh waktu untuk istirahat. Jadi, Rumi pikir lebih baik Rumi ke sini aja dulu.”
Papanya mengangguk pelan, memahami situasi yang dihadapi putranya. “Ya, mungkin memang begitu yang terbaik. Tapi tetap perhatikan dia, Rumi. Syifa pasti sangat membutuhkan dukungan sekarang.”
Rumi tersenyum lemah, “Iya, Pa. Rumi akan pastikan dia gak merasa sendiri.”
Papanya menepuk bahu Rumi dengan hangat, lalu berkata, “Oh iya, Rumi. Tadi baru saja rapat dengan komisaris dan pemegang saham. Nama kandidat yang akan maju sebagai pimpinan sudah dimasukkan. Ada tiga orang, dan salah satunya… ada nama kamu.”
Rumi terdiam sejenak, tidak menyangka bahwa pembicaraan di rapat kemarin benar-benar berlanjut sejauh ini. Wajahnya tampak bingung, campuran antara ketidakpercayaan dan beban tanggung jawab yang tiba-tiba terasa lebih berat.
“Benar, Pa? Rumi gak nyangka lho…,” ucap Rumi dengan suara pelan.
Papanya tersenyum, menatap putranya dengan penuh kebanggaan. “Iya, Rumi. Ini memang cepat, tapi mereka melihat potensi yang besar dalam diri kamu. Jangan terlalu khawatir, Papa tahu kamu bisa melakukannya. Sebagai apapun kita di kantor ini, kita wajib memberikan yang terbaik.”
Rumi mengangguk, meski dalam hatinya masih ada keraguan. Ia merasa bebannya semakin berat, tapi ia tahu papa percaya padanya, dan itu memberinya kekuatan.
“Terima kasih, Pa. Rumi akan melakukan yang terbaik,” jawab Rumi dengan keyakinan yang mulai tumbuh di hatinya.
“Papa yakin kamu akan menjadi pemimpin yang baik, Rumi. Tapi ingat, tidak peduli apa pun posisi kita, yang terpenting adalah integritas dan ketulusan hati kita dalam bekerja,” nasihat papa dengan bijak.
Rumi tersenyum dan merasa lebih tenang. “Rumi paham, Pa. Rumi akan ingat itu.”
Papanya kembali menepuk bahu Rumi sebelum berjalan kembali ke ruangannya. Rumi mengambil napas dalam-dalam, merasa lebih siap menghadapi hari ini. Ia tahu bahwa tantangan di depannya tidaklah mudah, baik dalam pekerjaannya maupun dalam menjaga Syifa. Tapi dengan dukungan dari papa dan keyakinan yang perlahan tumbuh di hatinya, Rumi siap untuk melangkah maju, menghadapi segala yang datang dengan ketulusan dan keberanian.
Jam makan siang tiba, dan seperti biasa, papa mengajak Rumi untuk makan bersama di restoran lantai atas kantor mereka. Restoran itu memang menjadi tempat favorit mereka, dengan pemandangan kota yang menenangkan dan suasana yang selalu membuat perbincangan mereka lebih akrab.
Mereka menikmati makan siang sambil berbicara tentang berbagai hal, dari pekerjaan hingga kehidupan sehari-hari. Papa selalu tahu bagaimana menjaga keseimbangan antara pekerjaan dan kehidupan pribadi, dan itu adalah salah satu hal yang Rumi kagumi darinya.
Setelah makan, Rumi merasa ada yang masih mengganjal di hatinya. Ia memutuskan untuk menghubungi Bi Imah untuk menanyakan kabar Syifa.
“Bi, Syifa sudah makan?” tanyanya langsung saat panggilan tersambung.
“Belum, Mas Rumi. Sejak tadi Mas Rumi pulang, Neng Syifa belum keluar dari kamar,” jawab Bi Imah dengan nada khawatir.
Rumi merasakan kekhawatiran itu juga. “Bibi, tolong bawakan makan siang ke kamar Syifa, ya. Mungkin dia butuh waktu, tapi setidaknya dia harus makan.”
“Baik, Mas. Bibi bawain sekarang,” jawab Bi Imah dengan suara lembut.
Setelah menutup telepon, Rumi merasa masih belum tenang. Ia memutuskan untuk mengirimkan pesan singkat kepada Syifa. Ia mengetik dengan hati-hati, berharap pesan itu bisa menghibur dan mendorong Syifa untuk makan.
"Putri cantik, makan siang yah. Inget gak menghadapi cerita hidup yang berat perlu tenaga yang banyak." Pesan itu ditutup dengan emoticon senyum.
Rumi mengirim pesan itu dan tak lama kemudian, dua centang biru muncul, menandakan pesan itu sudah dibaca. Namun, tidak ada balasan dari Syifa.
Rumi menatap layar ponselnya dengan harap-harap cemas, namun setelah beberapa saat, ia sadar bahwa Syifa mungkin masih membutuhkan waktu untuk memproses semua yang terjadi. Ia hanya bisa berdoa agar Syifa menemukan kekuatan dalam dirinya untuk terus melangkah.
Dengan perasaan yang bercampur aduk, Rumi kembali ke ruangannya dan mencoba fokus pada pekerjaan. Namun, pikirannya terus kembali kepada Syifa, berharap gadis itu bisa menemukan sedikit kedamaian di tengah badai yang sedang melanda hidupnya.
Rumi berusaha menenangkan dirinya sendiri, meyakinkan diri bahwa ia telah melakukan yang terbaik untuk mendukung Syifa. Meski tidak ada balasan dari pesan itu, Rumi tahu bahwa ia harus tetap sabar dan memberi Syifa ruang untuk berduka. Sambil melanjutkan pekerjaannya, ia terus berdoa dalam hati, berharap bahwa waktu akan membantu menyembuhkan luka-luka yang kini begitu dalam di hati Syifa.
Rumi menatap layar ponselnya yang masih belum juga menerima balasan dari Syifa. Hati kecilnya merasa khawatir, namun ia mencoba berpikir positif. Sebelum menekan pedal gas untuk pulang, ia mengirimkan satu pesan lagi, berharap bisa menarik perhatian Syifa.