Di dalam toko perhiasan itu, Rumi melihat-lihat koleksi cincin yang dipajang dengan indah di bawah cahaya lampu yang berkilau. Tangan Rumi berhenti pada sebuah cincin dengan desain sederhana namun elegan, sesuatu yang ia rasa cocok untuk Syifa.
Setibanya di rumah, Rumi disambut oleh papa yang sedang duduk di ruang keluarga. “Sudah pulang, Nak?” tanya papa dengan suara hangat.
“Sudah, Pa. Oh iya, besok pagi Rumi rencana mau ke Bandung sama Syifa dan Bi Imah. Kami mau sedikit refreshing,” jawab Rumi sambil duduk di samping papa.
Papanya tersenyum dan mengangguk. “Bagus itu. Semoga perjalanannya lancar dan Syifa bisa lebih siap lagi menjalani hidup setelah ini. Papa doakan yang terbaik untuk kalian.”
“Makasih, Pa. Doa Papa selalu berarti,” balas Rumi dengan rasa hangat di hati.
Setelah berbincang sejenak, Rumi pamit untuk beristirahat. Di kamarnya, ia menyiapkan tas kecil untuk perjalanan besok, memastikan semua yang dibelinya sudah masuk ke dalam. Sebelum merebahkan tubuhnya yang lelah, Rumi tak lupa menyalakan alarm di ponselnya, agar tidak terlambat bangun besok pagi.
Dengan hati yang tenang dan pikiran yang penuh harapan, Rumi pun akhirnya terlelap, bersiap untuk hari esok yang mungkin akan menjadi langkah baru dalam hidupnya dan Syifa.
Mobil yang dikendarai oleh driver papa Rumi meluncur dengan tenang menuju rumah Syifa. Ketika mereka tiba, Bi Imah sudah menunggu di ruang depan, membuka pintu dengan senyum ceria yang jarang terlihat belakangan ini.
"Asyik, Bi Imah mau jalan-jalan nih," ucap Rumi dengan nada ceria, sambil memberikan senyuman yang tulus. Bi Imah tertawa kecil, senang melihat Rumi yang selalu penuh semangat.
Syifa keluar dari rumah dengan koper sedang, wajahnya tampak lebih ceria dibandingkan beberapa hari sebelumnya. Rumi menyadari perubahan ini dan merasakan kelegaan di hatinya. Dia mempersilakan Bi Imah duduk di kursi depan, sementara dia dan Syifa duduk di baris tengah, menikmati kenyamanan captain seat yang terasa mewah.
Setelah semua sudah siap, mobil pun mulai melaju, meninggalkan rumah dengan perlahan. Di dalam mobil, suasana terasa hangat dan penuh dengan percakapan ringan. Syifa mengabarkan bahwa dia sudah memesan kamar untuk semua orang. "Nanti Syifa, Zara, dan Bi Imah tidur bersama. Untuk Abang, Syifa juga sudah pesan kamarnya. Kalau buat driver, biasanya driver sudah ada kamar khusus di villa, jadi nggak perlu pesan lagi," jelas Syifa dengan nada santai.
Rumi menggeleng pelan, merasa sedikit bersalah. "Harusnya Abang yang pesanin kamar sendiri, Syifa. Maaf ya, Abang kurang cepat gerak nih."
Syifa tersenyum lembut, menenangkan Rumi. "Nggak apa-apa, Bang. Ini bukan apa-apa dibandingkan semua yang sudah Abang lakukan untuk Syifa."
Di tengah percakapan mereka yang hangat, tiba-tiba telepon Syifa berdering, panggilan video dari seseorang yang membuat keningnya berkerut. Meski agak ragu, Syifa tetap mengangkatnya. Wajah seorang pria yang dulu pernah menjadi orang paling dekat dalam hidupnya, muncul di layar.
"Hai, Syifa," sapanya dengan suara yang akrab.
"Hai, Rez," jawab Syifa dengan nada sungkan, masih mencoba menyesuaikan diri dengan situasi ini.
"Aku turut berduka cita ya. Aku bener-bener kaget dan nggak nyangka kamu akan ngalamin ini," ucap Rezky dengan nada yang penuh simpati.
Syifa hanya mengangguk, perasaannya campur aduk.
"Tapi aku yakin, dengan semua cinta ayah dan ibu yang sudah mereka kasih ke kamu, kamu akan tumbuh jadi wanita hebat, dengan kekuatan cinta itu," lanjut Rezky, suaranya penuh keyakinan.
Syifa tersenyum tipis. "Aamiin, makasih ya, Rez."
"Oh iya, sekarang aku lagi di Hokkaido," kata Rezky, sambil memutar kameranya untuk menunjukkan pemandangan salju yang indah di sekitarnya. Syifa takjub melihatnya, matanya berbinar melihat salju yang putih bersih, sesuatu yang selalu ingin ia rasakan.
"Indah banget," ucap Syifa dengan penuh kekaguman.
"Tapi coba deh, sekarang kamu merem sebentar," pinta Rezky tiba-tiba.