Langit di atas mereka begitu pekat, seolah menegaskan betapa dalamnya kegelapan malam. Tapi di sana, bulan bersinar terang, memberi warna dan harapan, seolah ingin menunjukkan bahwa selalu ada cahaya, selalu ada harapan, tak peduli seberapa gelap kehidupan terasa.
Mereka semua terdiam, menanti apa yang akan disampaikan Syifa. Malam itu, di bawah langit yang luas, Syifa merasa ini saat yang tepat untuk berbagi, untuk berbicara dari hati ke hati, di tengah orang-orang yang kini menjadi tumpuan kekuatannya.
"Sebenernya, malam ini aku cuma mau bilang terima kasih... Terima kasih karena kalian ada di sini. Aku tahu beberapa hari terakhir ini berat, tapi kehadiran kalian bikin aku nggak merasa sendirian," Syifa mengawali dengan nada lembut.
Rumi, yang sejak tadi diam, hanya menatap Syifa dengan mata yang tenang, penuh perhatian. Zara dan Bi Imah juga tak mengatakan apa-apa, mereka membiarkan Syifa berbicara, memberi ruang bagi perasaannya.
"Aku nggak tahu apa yang akan terjadi besok atau lusa, tapi malam ini... di sini, aku merasa bersyukur. Meski ada rasa kehilangan yang besar, aku percaya masih ada harapan. Seperti bulan itu... yang selalu muncul meski malam begitu gelap," lanjut Syifa, matanya menerawang, melihat ke arah langit yang penuh bintang.
Mereka semua tersenyum, merasakan kehangatan yang tak hanya berasal dari makanan di meja, tapi juga dari hubungan yang semakin erat. Makan malam itu, meski sederhana, menjadi momen yang penuh makna, sebuah awal dari perjalanan baru bagi Syifa dan juga bagi mereka semua.
Syifa menatap langit malam yang pekat, mencari kekuatan dalam keheningan yang mendalam sebelum akhirnya berkata, "Boleh nggak kita berbagi duka? Biar aku nggak ngerasain duka ini sendirian." Suaranya lembut tapi penuh harap.
"Aku yakin setiap orang punya duka dan air matanya masing-masing, cuma ya itu kan nggak kelihatan ya. Yang bisa dengan mudah kita lihat adalah suka dan tawa orang, sampai rasanya kita tuh iri gitu, padahal kalau diajak tukeran juga kita nggak mau karena tawa selalu berpasangan dengan duka, dan kita belum tentu siap menjalani duka orang lain."
Rumi mengangguk pelan, memahami setiap kata yang diucapkan Syifa. “Boleh... Mungkin di sini bukan hanya Syifa yang perlu dikuatkan, tapi diri kita pun butuh,” katanya dengan suara yang juga lembut, seakan memberi ruang bagi mereka semua untuk membuka diri.
Zara menghela napas panjang, matanya berkaca-kaca. "Aaaa aku belum mulai aja udah mau nangiiissss..." keluhnya dengan suara yang bergetar, mengingat duka yang tiba-tiba menyala kembali di hatinya. Ingatan itu datang dengan begitu jelas, membawa rasa sakit yang dulu berusaha ia kubur dalam-dalam.
Bi Imah, yang biasanya ceria dan penuh semangat, kini hanya diam. Matanya menatap meja, tak berani bertemu dengan tatapan orang lain. Di balik wajah yang tenang itu, Bi Imah menyimpan banyak cerita duka, luka yang mungkin tak pernah ia bagi dengan siapapun. Tapi malam ini, kata-kata Syifa menyentuh sesuatu dalam dirinya, membuat kenangan pahit itu perlahan muncul ke permukaan.
Mereka duduk dalam diam sejenak, masing-masing terbenam dalam pikiran dan perasaan mereka sendiri. Hanya ada suara angin yang berhembus lembut, membawa aroma segar dari pepohonan di sekitar villa.
Rumi akhirnya membuka suara, memecah keheningan yang terasa begitu berat. “Setiap duka memang berat, Syifa. Dan terkadang, kita merasa nggak ada yang ngerti dari apa yang kita rasain. Tapi justru dengan berbagi, mungkin kita bisa menemukan kekuatan yang baru... dari tempat yang nggak kita sangka-sangka.”
Syifa bertanya, “mau siapa duluan yang berbagi? tentu bukan aku ya, kalian udah tahu duka aku apa.”
Syifa menatap Zara dengan lembut, memberi isyarat bahwa dia bisa berbagi kapanpun. Zara menarik napas dalam-dalam sebelum mulai bicara, suaranya gemetar dengan emosi yang tertahan.
"Lo emang udah kehilangan ayah dan ibu, Syif," kata Zara pelan, "tapi gue yakin cinta ayah dan ibu lo akan tetap menyala di hati lo. Kalo gue, nyokap dan bokap masih ada, tapi gue udah kehilangan cinta sejak kecil. Gue nggak tahu apakah gue kehilangan cinta, apa dulu gue pernah ngerasain cinta, atau bahkan gue bukan kehilangan cinta, tapi memang gue nggak pernah punya cinta."
Zara berhenti sejenak, air matanya mulai mengalir deras. Ia hanya bisa mengusapnya dengan tisu yang kemudian tergumpal di genggamannya. Setiap kata yang keluar dari mulutnya seperti membuka luka lama yang selama ini ia sembunyikan di balik senyum dan tawa.
"Sampai sekarang tuh... gue nggak ngerti cinta itu apa," lanjut Zara dengan suara yang pecah. "Gue cuma bisa lihat cinta di kehidupan orang lain biar gue bisa bayangin cinta itu kayak apa."
Air mata Zara terus mengalir, sementara di kepalanya, adegan pertengkaran orang tuanya berputar seperti film yang tak pernah bisa ia matikan. Ingatan-ingatan itu membawa rasa sakit yang seolah-olah baru terjadi kemarin. Ia ingat bagaimana akhirnya orang tuanya benar-benar berpisah, meninggalkannya untuk tinggal di rumah nenek, dengan semua luka yang tak pernah sembuh.
Syifa, dengan mata berkaca-kaca, mendekap sahabatnya erat-erat. "Syif," lanjut Zara, suaranya bergetar, "lo tetap bisa jalani hidup dengan terus menghidupkan cinta ayah dan ibu di hati lo. Tapi gue... gue berjuang, tertatih-tatih mencari cinta itu apa dan di mana. Gue hanya bisa membangun imajinasi tentang cinta. Bahkan gue nggak tahu, Syif, gue mau ngapain. Semua aktivitas cuma pelarian dari kebingungan gue tentang hidup ini."