Pagi itu, sebelum matahari sepenuhnya terbit, Rumi sudah bangun dan keluar dari villa. Udara Lembang yang dingin menyapa kulitnya, memberikan sensasi segar yang menyusup hingga ke dalam hati. Ia menarik napas dalam-dalam, merasakan sejuknya udara pagi yang begitu murni.
Setelah hari-hari yang dipenuhi dengan pikiran-pikiran yang tak berujung, Rumi merasa butuh sesuatu yang bisa membantunya melepaskan beban, meski sejenak. Ia memutuskan untuk jogging, berlari di sekitaran villa, menikmati kesunyian dan ketenangan pagi yang hanya bisa dirasakan saat orang lain masih tertidur.
Sementara itu, matahari mulai menampakkan sinarnya, dan di dalam villa, Syifa sudah bangun. Ia merapikan diri, lalu berjalan menuju kamar Rumi dengan niat untuk mengajaknya sarapan bersama. Namun, ketika ia mengetuk pintu kamar Rumi, tak ada jawaban. Syifa mencoba lagi, kali ini dengan sedikit lebih keras, tetapi tetap saja sunyi. Penasaran, ia memutuskan untuk kembali dan bergabung dengan Zara dan Bi Imah yang sudah menunggu di rooftop untuk sarapan.
Mereka duduk bersama di bawah tenda yang melindungi mereka dari terik matahari yang mulai muncul. Meja sarapan dihiasi dengan hidangan khas villa itu, roti panggang dengan selai stroberi, telur orak-arik, dan secangkir teh hangat. Namun, perhatian Syifa teralihkan oleh kekhawatirannya akan keberadaan Rumi.
Zara, yang sejak tadi memperhatikan gelagat gelisah sahabatnya, akhirnya tak tahan untuk tidak bertanya, "Kenapa lo, Syif? Gelisah banget, kayak lagi nyari sesuatu."
Syifa menatap Zara sejenak sebelum akhirnya mengutarakan pikirannya, "Bang Rumi kemana ya? Masa belum bangun sih?"
Zara mengangkat alis, sedikit terkejut dengan pertanyaan itu, tapi segera memberikan saran dengan nada bercanda, "Ya mana gue tahu. Kenapa nggak lo WhatsApp aja sih atau telepon langsung?"
Syifa tersadar, "Oh iya juga ya, kenapa gue nggak kepikiran."
Sebelum Syifa sempat meraih handphonenya, Bi Imah, yang dari tadi duduk sambil menikmati sarapannya, angkat bicara. "Tadi sih, setelah shalat subuh, bibi buka jendela dan liat bang Rumi udah keluar villa. Kayaknya mau jogging gitu, neng."
Syifa dan Zara mengangguk, saling bertukar pandang, sementara Syifa berusaha menenangkan diri. Meski begitu, rasa cemas tak sepenuhnya hilang dari wajahnya.
Sarapan pun berlanjut, tapi suasana terasa kurang lengkap tanpa kehadiran Rumi. Syifa tak bisa menghilangkan perasaan khawatirnya, meski tahu Rumi hanya keluar untuk jogging. Ia menyesap teh hangatnya, berharap itu bisa mengusir perasaan tidak tenang yang masih menggantung di hatinya. Namun, ketika mereka selesai sarapan, Rumi masih belum juga kembali. Perasaan Syifa semakin tak menentu, meski ia berusaha menutupinya di depan Zara dan Bi Imah.
Hingga akhirnya, Syifa memutuskan untuk menunggu lebih lama, berharap Rumi segera kembali dengan senyum dan cerita baru tentang pagi yang ia habiskan.
Rumi kembali ke villa setelah jogging pagi yang menyegarkan. Ia langsung menuju kamarnya, membersihkan diri dengan mandi cepat, lalu mengganti pakaian menjadi lebih rapi. Ia memilih kaos berkerah warna putih yang dipadukan dengan celana hitam, dan sepatu sneakers warna putih. Penampilannya yang segar dan rapi itu tak luput dari aroma wangi yang khas, menambah pesona pria muda yang siap menjalani hari.
Sementara itu, di kamar lain, Syifa dan Zara sedang bersantai di atas kasur, menikmati waktu istirahat mereka. Zara yang sudah biasa dengan kebiasaan Syifa, memulai obrolan untuk mengusir kebosanan.
"Apa rencana lo hari ini, Syif? Mau keluar jalan-jalan gak?" tanya Zara sambil menopang dagunya dengan tangan.
Syifa menghela napas, merasa tak terlalu bersemangat untuk melakukan aktivitas berat. "Kayaknya di villa aja, deh. Gue gak punya tenaga buat keluar jalan-jalan gitu," jawabnya dengan nada lesu.
Zara mengangguk, memahami perasaan sahabatnya. "Tapi sayang sih kalau lo gak ke daerah kebun teh itu... uuuhhh viewnya keren banget!" Zara mencoba menggoda dengan sedikit antusias, berharap bisa mengubah pikiran Syifa.
Mereka berdua masih asyik berbincang ketika terdengar ketukan di pintu. Zara beranjak dari kasur dan membuka pintu. Di hadapannya berdiri Rumi, yang sudah rapi dengan penampilannya yang segar, dan aroma wangi yang memenuhi udara seketika. Zara harus menahan senyum, menoleh sebentar ke arah Syifa yang masih di dalam kamar, lalu memberikan ruang bagi Rumi untuk masuk.
Syifa, yang mendengar suara di pintu, langsung berdiri dan mendekat. "Keluar yuk," ajak Rumi dengan senyum yang ramah.
"Kemana?" tanya Syifa bingung, tak menyangka akan diajak keluar.
Rumi hanya tersenyum lebih lebar. "Ikut aja, yuk," ajaknya penuh misteri, sambil sedikit mengangguk ke arah luar.
Zara, yang merasa situasi ini begitu manis, langsung mendorong Syifa dengan lembut untuk segera bersiap-siap. "Ayo, siap-siap deh. Jangan lama-lama, kasian Bang Rumi nunggu."
Rumi pun melangkah keluar, memberikan ruang bagi Syifa untuk mempersiapkan diri. Ia menunggu di luar kamar sambil menikmati pemandangan playground yang dipenuhi keceriaan anak-anak yang sedang bermain. Suasana itu menghangatkan hatinya, dan ia berharap bisa membawa sedikit keceriaan itu untuk Syifa.
Tak lama kemudian, Syifa keluar dengan pakaian yang lebih nyaman. Ia mengenakan blouse longgar dengan celana jeans, rambutnya diikat sederhana, namun tetap terlihat anggun. Rumi menoleh, tersenyum melihat Syifa yang sudah siap.
"Yuk, berangkat," ucapnya sambil menatap Syifa dengan penuh perhatian.
Rumi mengajak Syifa masuk ke dalam mobil, dan mereka melaju di jalan yang berkelok-kelok, melewati pepohonan rindang dan udara yang semakin sejuk. Syifa, yang masih penasaran, akhirnya bertanya lagi.
“Mau kemana sih?” tanyanya dengan nada ingin tahu.
Rumi hanya tersenyum, menoleh sebentar ke arah Syifa. “Tadi pas jogging, Abang nemu tempat yang kayaknya seru kalau ajak Syifa ke sana,” jawabnya sambil menyimpan sedikit rahasia di balik senyum itu.
Syifa membalas senyumnya, merasa tertarik dengan kejutan yang disiapkan Rumi. Mereka terus melaju, hingga akhirnya mobil berhenti di sebuah tempat yang terletak di ketinggian.
Ketika Syifa keluar dari mobil, dia langsung tertegun melihat pemandangan yang terbentang di hadapannya. Di depan mata, hamparan kebun teh yang hijau membentang sejauh mata memandang, seolah tak ada ujungnya. Jalur-jalur kecil yang diapit oleh rapi barisan tanaman teh menciptakan pola alami yang begitu harmonis. Daun-daun teh yang segar dan muda berkilau terkena cahaya matahari pagi yang lembut, seakan menari dengan angin sepoi-sepoi yang membawa aroma khas pegunungan.
Di kejauhan, perbukitan bergelombang seperti selimut hijau yang melindungi lembah-lembah di bawahnya. Langit biru cerah dengan sedikit awan tipis menjadi latar belakang sempurna yang menambah keindahan tempat itu. Kabut tipis masih tersisa di beberapa titik, seperti selendang putih yang menyelimuti puncak-puncak bukit. Sementara itu, suara alam, dari kicauan burung hingga gemerisik angin di antara daun-daun teh, menciptakan simfoni yang menenangkan jiwa.
Syifa berdiri di sana, meresapi setiap detil pemandangan yang ada di depannya. Perasaan tenang menyelimuti hatinya, seolah segala beban yang selama ini menghimpitnya perlahan menguap bersama angin pegunungan.
"Indah banget," bisiknya, hampir tidak percaya dengan apa yang dilihatnya. Pandangannya tidak lepas dari hamparan hijau yang begitu memukau.
Rumi yang berdiri di sampingnya ikut tersenyum, merasa senang karena bisa membawa Syifa ke tempat ini. “Iya, ini tempat yang bikin tenang,” ucapnya lembut.
Syifa mengangguk pelan, masih terpukau dengan keindahan yang terhampar di depannya. Mereka berdua berdiri di sana, menikmati momen itu, seakan waktu berhenti untuk memberikan ruang bagi mereka berdua untuk meresapi keajaiban alam yang memukau ini.