Pagi itu, Rumi terbangun dengan perasaan campur aduk. Ada semangat yang membara di dadanya, namun tak bisa ia pungkiri ada sedikit rasa nervous yang menghantui. Hari ini adalah hari besar—pengumuman siapa yang akan terpilih menggantikan almarhum ayah Syifa sebagai pimpinan perusahaan. Meski ia berusaha untuk tetap tenang, perasaan tak menentu itu tak bisa sepenuhnya ia redam.
Di sisi lain, Syifa memulai paginya dengan perasaan yang sedikit berbeda. Setelah beberapa waktu beristirahat, hari ini adalah pertama kalinya ia akan kembali ke florist, dan lebih dari itu, ia akan menyetir sendiri. Mobil pemberian terakhir dari ayahnya menjadi teman perjalanannya pagi ini, seakan-akan ayahnya masih ada di sisinya, memberikan semangat.
Syifa berdiri sejenak di samping mobilnya, menghirup udara pagi yang sejuk sebelum masuk ke dalam dan menyalakan mesin mobil. Ada perasaan bangga dan juga haru yang mengiringi langkahnya.
Mengemudi sendiri membuatnya merasa lebih mandiri, tapi ada juga rasa rindu yang menyelinap—rindu pada ayahnya, dan tentu saja, pada sosok Rumi yang beberapa hari ini belum memulai komunikasi lagi setelah mereka pulang dari Bandung. Di kepalanya, ia bertanya-tanya, sedang apakah Bang Rumi di sana?
Di kantor, Rumi tiba dengan penuh antusiasme, ditemani oleh papanya yang selalu mendukung. Sebelum rapat dengan komisaris dan pemegang saham dimulai, papanya memberikan semangat dan nasihat yang menenangkan.
"Apapun hasilnya nanti, Rumi, kamu sudah melakukan yang terbaik. Yang penting, tetap rendah hati dan ingat bahwa ini adalah bagian dari perjalanan kariermu."
Rumi mengangguk, berusaha mencerna setiap kata yang papanya ucapkan. Meski ia tahu persaingan ini tidak mudah, ada rasa syukur dalam hatinya karena memiliki dukungan penuh dari papa. Ia menarik napas dalam-dalam sebelum memasuki ruang rapat, siap menghadapi apapun yang akan terjadi.
Sementara itu, Syifa tiba di florisnya dengan senyum ceria. Ada rasa lega yang luar biasa ketika akhirnya ia bisa kembali bekerja, berinteraksi dengan customer, dan ikut merangkai bunga pesanan. Tangannya yang cekatan kembali bermain dengan kelopak-kelopak bunga, menciptakan rangkaian yang indah dan penuh makna. Setiap bunga yang ia rangkai seakan-akan membawa pesan cinta dan kenangan, membuatnya merasa lebih dekat dengan orang tuanya.
Namun, di tengah kesibukannya, Syifa terus melirik ke arah jam. Ada perasaan yang sulit ia abaikan—harapan bahwa Rumi akan menghubunginya saat jam makan siang. Setiap kali ponselnya berbunyi, ada debaran kecil di dadanya, berharap itu adalah Rumi. Tapi pesan yang ia tunggu-tunggu belum juga datang.
Jam terus berdetak, dan hari itu terasa sedikit lebih lambat bagi Syifa. Ia mencoba untuk tetap fokus pada pekerjaannya, tapi bayangan Rumi tak henti-hentinya muncul di benaknya.
Di sisi lain, Rumi juga menghadapi tantangan besar di kantornya dan pikirannya sesekali terbang ke arah gadis itu.
Di tengah rapat yang penuh ketegangan, setiap kandidat kembali dipersilakan untuk menyampaikan kata sambutan dan harapan mereka. Meskipun ada kompetisi di antara mereka, suasana tetap hangat dan penuh dukungan. Setiap kandidat dengan tulus menyampaikan bahwa mereka siap mendukung siapapun yang akan terpilih sebagai pimpinan baru.
Rumi berdiri dengan tenang saat tiba gilirannya untuk berbicara. Ia berbicara dengan rendah hati, menyampaikan rasa terima kasih atas kesempatan yang diberikan, dan berjanji akan selalu mendukung perusahaan ini, apapun hasilnya. Kata-katanya mengalir dengan penuh keyakinan, meski ada debaran halus di dadanya yang tak bisa ia abaikan.
Tibalah saat yang dinantikan. Nama yang terpilih untuk menggantikan almarhum Pak Dedi diumumkan. Suasana hening sejenak sebelum nama yang terpilih disebutkan. Saat nama "Jalaluddin El Rumi" disebut, dunia Rumi seakan berhenti sesaat. Seolah-olah ia baru saja terbangun dari mimpi, ini nyata, dan ia sekarang resmi menjadi pimpinan perusahaan di usia 30 tahun—pimpinan termuda dalam sejarah perusahaan.
Rumi tersentak, namun dengan cepat menguasai diri. Ia menyampaikan ungkapan terima kasihnya dengan penuh rasa syukur dan kerendahan hati. Namun, ia juga diberi tahu bahwa ada masa training dan target selama 3 bulan yang harus ia penuhi. Jika berhasil, ia akan dikontrak secara resmi sebagai pimpinan perusahaan. Tantangan ini diterimanya dengan kepala tegak dan hati yang penuh keyakinan.
Selesai rapat, papanya segera menghampiri Rumi dengan wajah penuh kebanggaan. "Nak, ini harus dirayakan. Bagaimana kalau kita undang Syifa untuk makan malam di rumah? Kali ini Papa yang akan masak, special untuk merayakan keberhasilan anak Papa," ujar papanya sambil menepuk pundak Rumi dengan hangat.
Rumi merasakan antusiasme yang membuncah di dalam dirinya, tapi ada sedikit keraguan. "Tapi, Pa, apa Syifa mau? Setelah beberapa hari ini kami belum berkomunikasi lagi, Rumi nggak yakin..."