Papa Rumi bercerita dengan semangat saat mereka berada di dapur, menyiapkan bahan-bahan untuk makan malam. "Kamu tahu nggak, Syifa? Rumi itu dari kecil suka banget makanan yang berkuah. Apalagi sayur sop daging. Sampai sekarang, nggak pernah berubah," ujar papa sambil memotong daging dengan cekatan.
Syifa mendengarkan cerita papa Rumi dengan seksama, senyumnya tak henti-henti tersungging di bibir. Ada rasa hangat yang menyelimuti hatinya mendengar cerita sederhana itu, seolah ia sedang mengenal Rumi dari sisi lain. Meski cerita itu belum bisa menenangkan suasana hatinya.
Ketika sayur sop daging sudah hampir matang, Rumi masuk ke dapur dengan kemeja putihnya yang bersih. "Apa nih yang bisa Abang bantu?" tanyanya, penuh semangat.
Papa tertawa melihat Rumi yang baru datang saat semua hampir selesai. "Udah, kita langsung duduk aja. Semua udah beres," ucap papa sambil terkekeh.
Syifa ikut tertawa kecil.
"Rumi terlambat ya."
Rumi memasang wajah menyesal, meskipun matanya tetap memancarkan kehangatan. "Padahal serius lho, mau bantuin."
Papa menyadari warna baju yang dikenakan Rumi dan Syifa. "Wah, matching banget nih sama Syifa," katanya sambil tersenyum. "Kalau gitu papa juga mau pakai warna putih, biar kompak."
Papa pun pamit untuk mandi dan berganti baju, meninggalkan Syifa dan Rumi yang duduk di kursi makan, menunggu papa kembali.
Mereka duduk berdua dalam keheningan yang nyaman, hanya terdengar suara pelan dari dapur ketika Bi Tuti merapikan piring dan menyiapkan hidangan.
Rumi menatap Syifa sejenak, senyuman kecil terukir di wajahnya. "Gimana rasanya ikut masak bareng papa?" tanyanya pelan.
Syifa tersenyum lembut, matanya menatap ke arah panci besar berisi sop daging yang masih mengepul hangat. "Menyenangkan," jawabnya jujur. "Om Erwind tadi banyak cerita tentang Bang Rumi."
Rumi tersenyum, merasa lega melihat Syifa mulai merasa nyaman di tengah keluarganya. "Papa memang suka cerita soal masa kecil Abang. Kadang Abang lupa banyak hal, tapi papa selalu ingat detailnya," katanya dengan nada penuh kasih.
Mereka terus berbicara ringan sambil menunggu papa kembali. Dan saat papa akhirnya datang dengan pakaian putih yang serasi, suasana makan malam itu menjadi penuh kehangatan dan tawa, seolah mereka adalah satu keluarga yang telah lama terikat.
Makan malam itu terasa begitu ceria dan penuh kehangatan. Papa Rumi dan Syifa berbicara ringan, sesekali tawa mengisi ruang makan yang didekorasi dengan sederhana namun nyaman. Aroma sop daging yang masih tersisa di udara menambah keakraban suasana.
Setelah makanan terakhir disajikan, papa Rumi menyandarkan diri ke kursinya dan berkata dengan nada gembira, "Syifa, alhamdulillah, tadi di kantor, Rumi terpilih untuk menggantikan posisi ayahmu."
Syifa menoleh dengan cepat ke arah Rumi yang duduk di sampingnya. "Wah, kabar bahagia. Selamat ya, Bang Rumi," katanya sambil menyeringai. "Ehem, selamat malam Bapak Pimpinan," godanya dengan nada jahil, membuat suasana makan malam semakin menyenangkan.
Rumi tersenyum lebar, meskipun wajahnya sedikit merona. "Alhamdulillah. Terima kasih, Putri Cantik." Semua sejenak terdiam ketika Rumi sadar dia baru saja keceplosan memanggil Syifa dengan sebutan yang sudah lama ia simpan dalam hati. "Eh, maksud Abang, Syifa, terima kasih Syifa," lanjutnya sambil tertawa kecil, berusaha mengalihkan kecanggungan.
Papa Rumi hanya tersenyum, menikmati momen itu.
Mendengar kata ‘Putri Cantik’, Syifa merasa Bang Rumi masih tetap sama, masih menunggunya.