Cinta yang Dijanjikan

Lianhua Xien Yi
Chapter #3

Sebuah Ketulusan

~Cinta adalah sebuah kata dengan banyak sekali makna. Di mana setiap orang bisa membuktikan ketulusan perasaannya itu melalui berbagai cara.~


***

Kekhawatiran yang dirasakan oleh Xian akan keadaan A-Lin tidak dapat disembunyikan lagi. Berhari-hari ia terus memikirkan cara agar bisa membawa wanita tersebut pulang ke rumah. Bagaimanapun juga, itu akan membuat ia bisa menjaganya dengan lebih mudah.


"Apa kau sudah tidak waras? Tinggal di rumahmu, sedangkan kau hanya tinggal sendirian di sana? Apa yang akan dikatakan orang-orang tentang hal itu, A-Xian?"


"Tapi untuk saat ini kau tidak mungkin tinggal sendirian di sini, Hua Lin. Tidak ada orang yang menjagamu."


"A-Xian, cukup!"


"Maafkan aku. Tapi ...."


"Mengapa kau selalu mencampuri semua urusanku, A-Xian? Lagi pula siapa yang akan peduli aku hidup atau mati? Bahkan, aku sudah terbiasa dengan semua ini."


"Aku mohon jangan terus membohongi diri sendiri dengan mengatakan sudah terbiasa, Hua Lin. Karena mau sekuat apa pun kau menyembunyikannya, rasa sakit itu tidak akan selalu bisa menipu kenyataan."


"A-Xian!" A-Lin kembali berteriak pada pemuda itu.


"Pergilah! Tinggalkan aku sendiri!" lanjutnya.


Akan tetapi, bukannya pergi, Xian justru mendekat dan memeluk wanita tersebut dengan erat.


"Aku tidak akan pergi. Tidak akan pernah," ucapnya.


Terkadang, wanita memang tidak menunjukkan sikapnya yang sangat membutuhkan perhatian, tetapi mereka juga tidak bisa membohongi perasaan. Begitu juga yang A-Lin rasakan. Meski bibirnya mengatakan tidak, tetapi tetap saja perasaannya membenarkan hal itu. Pada akhirnya, ia pun menangis di pelukan Xian.


"Ikut denganku, ya?" bujuk Xian saat tangis A-Lin sudah mereda.


"Kalau kau ragu, aku bisa menyewa asisten untuk menemanimu," lanjutnya.


"A-Xian ...."


"Dengarkan aku, Hua Lin. Kau harus sembuh. Kau tidak boleh takut. Kau pasti bisa melewati semua ini. Percayalah!" Mendengar kalimat yang diucapkan oleh Xian, A-Lin pun menatap kedua mata pemuda itu. Tidak ada tanda-tanda kebohongan di sana. Hanya tersisa air mata sebagai gambaran rasa sakit yang sedang coba disembunyikan Xian di balik senyumnya. Sakit karena melihat orang yang ia sayangi begitu menderita.


***

Hari-hari pun berlalu. Kini, A-Lin sudah mulai terbiasa dengan semua yang ada di rumah Xian.


Benar apa yang sudah dikatakan oleh pemuda itu sebelumnya. Bahkan, selain menjaganya dengan sangat baik, Xian juga selalu memberikan perhatian lebih untuknya seperti yang terjadi pada hari itu.


Malam sudah sangat larut, tetapi Xian tiba-tiba terbangun saat mendengar suara benda yang jatuh pecah.


"Hua Lin," ucapnya, lalu segera bergegas menghampiri sumber suara.


Benar seperti dugaannya. Sebuah teko yang terbuat dari kaca sudah hancur berkeping-keping memenuhi lantai dapur. Sementara di sana, A-Lin terlihat kesakitan sembari memegangi perutnya.


"Kau tidak apa-apa? Mana yang terluka?" tanya Xian khawatir.


Wanita di depannya itu menggeleng.


"Kau sedang datang bulan?" tanya pemuda itu lagi. Sebab, di atas meja terlihat kepingan gula merah dan air panas yang juga sudah tumpah.


"Kemarilah," ucap Xian sembari menarik tangan A-Lin dan meletakkannya di pundak.

Lihat selengkapnya