~Untuk bisa mencintai, seseorang tidak membutuhkan waktu yang begitu lama, tetapi saat melupakan, ia mungkin akan menggunakan seluruh sisa hidupnya.~
***
Hidup di tengah keluarga dan lingkungan yang penuh kasih sayang nyatanya tidak membuat A-Lin merasa bahagia. Sejak meninggalkan Hangzhou dua bulan yang lalu, ia terus menerus mengalami depresi. Sudah berkali-kali wanita itu melukai dirinya sendiri karena halusinasi yang dialami semakin parah.
Tepat pada pertengahan musim dingin itu, A-Lin benar-benar kehilangan semua ingatannya sehari setelah keluarga Wang membawa ia ke rumah sakit. Satu-satunya yang ia ucapkan di akhir ingatan hanyalah nama Xian.
***
Sementara itu, di Hangzhou, Xian yang merasa sangat kehilangan A-Lin pun menjadi frustasi. Hari-harinya kian memburuk dengan selalu menyendiri sembari terus-terusan meminum arak. Bahkan, ia juga menolak untuk minum obat ataupun menjalani terapi seperti sebelumnya.
"Kau di mana, Hua Lin?" lirihnya.
Dipandanginya kotak berisi surat permintaan maaf yang A-Lin tinggalkan. Hati pemuda itu kembali nyeri saat mengingat semua kenangan yang sudah hampir dua tahun mereka lalui. Kini, ia hanya sendiri tanpa orang yang telah membuat semangatnya untuk bertahan hidup bangkit itu lagi.
Dalam dua bulan terakhir, sudah banyak tempat ia datangi. Namun, tidak ada yang tahu ke mana wanita itu pergi. Bahkan, nomor telepon dan apa pun yang biasa digunakan untuk menghubunginya sudah tidak terdaftar di jaringan komunikasi lagi.
"Apa kau baik-baik saja, Hua Lin?" Ingatan akan keadaan wanita itu kembali membuatnya khawatir.
***
"A-Xian," lirih Nyonya Huang saat melihat pemuda itu tertidur di teras taman.
Air mata perempuan tersebut tumpah. Ibu mana yang tega melihat anaknya dalam keadaan seperti itu tepat di depan mata?
"Kau cepatlah hubungi dokter, biar aku yang membawanya ke dalam," ucap Tuan Xiang pada sang istri.
***
Pemuda itu terbangun saat hari sudah siang. Ia segera melepas masker oksigen dan jarum infus yang terpasang di tangannya.
"Bahkan aku sudah lupa rasanya sakit," ucapnya.
Tepat setelah ia mengatakan itu, ayah dan ibunya datang.
"A-Xian, apa yang kau lakukan?" Nyonya Huang terlihat sangat khawatir atas apa yang putranya lakukan. Bahkan, darah segar masih mengalir dari bekas jarum infus yang dilepas secara paksa oleh pemuda itu.
"Apa kau sudah kehilangan akal?" ucap Nyonya Huang sembari membersihkan darah di tangan putranya.
Pemuda itu menarik tangannya, lalu berkata, "Aku memang sudah lama kehilangan akal. Lagi pula, apa yang mengharuskanku tetap hidup dalam kewarasan?"
"A-Xian!" tegas sang ayah.
"Apa kau sudah berpikir sebelum berbicara? Apa kau tahu bagaimana khawatirnya kami? Bahkan, kami hampir tidak bisa tidur karena terus mencemaskanmu," lanjutnya.
Xian terdiam ketika mendengar kata-kata ayahnya. Apa yang kedua orang tuanya katakan memang benar. Ia bahkan sudah kehilangan akal sehatnya. Namun, jika pemuda tersebut bisa memilih, tentu dirinya tidak ingin semua itu terjadi.