~Di dalam sebuah pertemuan, pasti akan ada perpisahan pada akhirnya. Namun, tidak semua perpisahan itu menyakitkan. Begitu juga sebaliknya.~
***
Kota Changhua yang indah sepertinya telah menjadi tempat baru bagi A-Lin. Bukan karena ia yang baru dua tahun lalu datang dan tinggal di sana, melainkan karena di tempat itulah wanita tersebut pada akhirnya bisa merasakan kebebasan.
Hilangnya seluruh ingatan A-Lin ternyata membawa hikmah tersendiri. Wanita itu tidak perlu merasa takut dan tertekan lagi karena seluruh beban pikiran dalam hidupnya telah hilang. Tidak ada lagi A-Lin yang akan mengamuk dan melukai dirinya sendiri saat hilang kesadaran.
Jika dulu ia sangat membatasi diri dari pergaulan masyarakat, kini wanita itu telah berubah menjadi orang yang cukup bersosialisasi. Bahkan, meski ingatannya sudah hilang, tetapi kesukaannya pada bunga masih sama. Pada akhirnya, ia pun kembali membuka toko yang sama persis seperti dua tahun sebelumnya.
"Jika seperti ini bisa membuatnya bahagia, maka akan lebih baik jika dia tidak lagi mengingat semuanya," ucap Wang A-Yin, sang nenek, ketika melihatnya sedang bercanda dengan beberapa pelanggan. Tawa yang dulu masih menjadi hal langka dari seorang A-Lin, kini bisa selalu ia dapat dan rasakan setiap hari.
"Jangan bicara seperti itu A-Yin. Walau bagaimanapun, A-Lin tetap harus bisa mengingat dan tahu siapa dirinya yang sebenarnya," jelas Wang Ruan, suaminya.
"Iya, kau benar. Kita juga tidak bisa terus-terusan menjaganya. Kita doakan saja, semoga kelak dia menemukan orang yang tepat. Yang tulus dan menyayanginya sepenuh hati."
Setelah mengatakan demikian, perempuan tersebut segera menghampiri A-Lin diikuti oleh sang suami di belakangnya.
***
Berbeda dengan A-Lin yang bahagia dengan dunia barunya, ternyata hal itu sama sekali tidak bisa Xian rasakan. Selain hari-hari penuh kesedihan yang selalu ia lalui, pemuda itu juga harus menerima kenyataan menyakitkan dari sahabat masa kecilnya, Yuan Qi.
"A-Lin, A-Lin, A-Lin! Tidak bisakah kau melupakan wanita itu dan melihat ke arahku? Mengapa selalu dia?"
"A-Qi!" tegas Xian pada gadis di depannya.
"Kenapa? Apa kau masih mau menyalahkanku? Seharusnya kau sadar bahwa dia hanyalah wanita yang tidak tahu malu!"
"Dia bukan wanita seperti itu!"
"Lalu seperti apa? Wanita seperti apa yang tinggal di rumah seorang laki-laki yang bukan siapa-siapanya jika dia bukan wanita yang tidak tahu malu?"
"Yuan Qi!" Kali ini kesabaran Xian sudah benar-benar hilang.
Memaafkan gadis itu dua tahun lalu saat mengetahui penyebab kepergian A-Lin bukanlah hal yang mudah. Namun, sepertinya maaf dari pemuda itu tidak pernah berarti apa-apa. Yuan Qi tetap tidak memiliki rasa bersalah atas apa yang sudah ia lakukan.
"Pintu keluar ada di sana. Aku tidak ingin melihatmu lagi," ucap Xian kemudian.
Pemuda itu mencoba berjalan ke kamar sembari menahan rasa sakit yang kembali menyerangnya. Lebih dari itu, ia juga harus merasa kecewa atas sikap sahabatnya tersebut. Sahabat yang sudah sejak dari kecil tumbuh bersamanya.
***
Hari sudah malam. Gadis itu mencoba menghampiri Xian di kamarnya. Sejenak, ia lupakan semua pertengkaran yang terjadi di antara mereka siang hari sebelumnya.
Dipandanginya pemuda itu. Di tangannya tergenggam sebuah bingkai dengan gambar seorang wanita cantik yang sedang merangkai bunga. Itu adalah foto A-Lin. Wanita yang dicintai oleh sahabatnya tersebut. Seketika rasa bersalah memenuhi hatinya.
"Maafkan aku. Aku tidak bermaksud menyakitimu. Tapi aku bisa apa? Aku mencintaimu begitu lama, sedangkan kau hanya ada dia di dalam hatimu." Tetes air jatuh dari sudut kedua matanya.
"A-Xian, bangunlah. Kau harus minum obat," lirihnya.
Tangannya mencoba menyentuh tubuh pemuda itu, tetapi ia urungkan.
"Mengapa kau masih di sini?" tanya Xian sesaat setelah membuka matanya.
"Aku tidak akan pergi," jawab gadis tersebut.