Dengan secangkir kopi cappucino, Randy ingin menghabiskan malam. Tak dihiraukannya lagi jarum jam yang terus berputar, waktu terus berlalu, hingga tak terasa malam pun semakin larut. Ya, secangkir kopi kadangkala bisa menjadi teman dalam berbagai suasana. Adakalanya secangkir kopi memang bisa bicara terlalu banyak, begitu juga saat kopi panas mendingin.
Seperti halnya kopi yang tinggal setengah cangkir di hadapannya sekarang. Meski ia merasakan mulutnya masam dan lambungnya agak perih tapi tetap saja kopi menjadi pilihannya. Padahal dokter pernah mengingatkan agar ia mengurangi konsumsi kopi jika tak ingin maagnya semakin sering kambuh. Ya lagi-lagi masalah klasik, kelebihan asam lambung.
“Akh… Hmm.. !” desah Randy seolah ingin mengeluarkan beban pikirannya saat itu.
“Gadis itu telah membuatku gila. Bodohnya diriku! Tadi dia tidak menghiraukanku, tapi kenapa aku masih saja memikirkannya dan berharap berjumpa lagi dengannya.. Huft!” gumam Randy.
Adakalanya Randy hanya meminumnya seteguk dua teguk saja, kemudian menatap cairan pekat itu lekat-lekat seolah ada rahasia mendalam yang larut di sana. Hitam. Hitam adalah salah satu warna yang memiliki filosofi tersendiri yang sangat unik, sangat berkesan. Elegan dan tak berlebihan.
Seperti sebuah tempat kosong yang gelap, yang masih menunggu seberkas sinar untuk meneranginya. Tak pernah berharap untuk mendapatkan penerangan yang besar, karena dengan sedikit nyala lilin pun hati ini merasa bahagia. Ia suka membiarkan kopinya mendingin di cangkir.
Sejenak Randy melayangkan pandangannya pada sebuah ponsel yang tergeletak di atas meja, bersebelahan dengan laptop miliknya. Sayup-sayup terdengar lantunan lagu-lagu nasyid dari speaker laptop tersebut. Digaruknya kulit kepalanya yang tak gatal. Namun lagi-lagi kedua matanya kembali tertuju pada isi cangkir di hadapannya yang tinggal separuh. Sejenak Randy termangu seperti tak berselera tapi nyaris kedua matanya tak berkedip.
“Apa yang harus kulakukan dengan perasaanku ini? Dirasakan saja. Ya, dirasakan saja. Atau mungkin dilupakan saja, aku kan baru kenal tadi siang,” tanya Randy dalam hati, seolah dia ingin memberikan nasehat kecil untuk dirinya sendiri.
Tentunya tidak mudah, perasaannya campur aduk. Semuanya, seolah-olah melebur jadi satu serupa pahitnya bubuk kopi dan manis gula pasir dalam seduhan air panas.
“Huft… !” Randy mendengus pelan, mewakili pikirannya yang berat.
Dilihatnya layar ponselnya menyala berkedip-kedip dan bergetar halus di atas meja. Tidak, sepertinya Randy tidak ingin meraih ponsel itu. Tanpa perlu melihat nama yang tertera di layar, ia sudah dapat menduga siapa yang memanggil.
“Pasti Raffi, kenapa malam-malam begini dia menelponku?!” gumam Randy.
Dia biarkan saja, namun juga tanpa keinginan mematikan ponsel itu. Cukuplah Randy meniadakan semua nada panggilan. Silent.
“Ya Allah, aku masih tidak mengerti apa sebab sosok gadis dengan sepasang mata birunya itu selalu muncul dalam pikiranku. Dan inilah untuk pertama kalinya aku benar-benar merasakan kegelisahan karena godaan wanita, “ keluh kesah Randy.
Setengah mati dia mencoba membuang, tapi bayangan sosok gadis itu selalu datang. Meskipun dia harus mengacak-acak rambut di kepalanya. Bingung. Selain juga berupaya menyingkirkan pikiran itu dari benaknya. Siapa tahu dengan begitu bayangannya bisa keluar dari dalam kepalanya. Namun tetap saja tak bisa.
Dan tiba-tiba…”Kriek.. Brak!”
“Aduh… astaghfirullah!” Randy meringis kesakitan.
Suara itu kedengaran amat menyeramkan, dan setelah beberapa saat kemudian barulah Randy menyadari ternyata dirinya terjatuh dari kursi.
“Hehehe.. Apa yang terjadi dengan diriku?” gerutu Sandy.
“Kalau Raffi tahu, pasti dia akan menertawaiku habis-habisan… “ gumam Randy.
Sepertinya Randy baru saja melakukan hal bodoh seperti itu lagi? Hal yang mungkin membuat orang lain ‘ngakak’ di atas penderitaannya.
“Awww… sakit banget kakiku, jangan-jangan keseleo nih…. Astaghfirullah… Ya Allah, apa yang terjadi denganku ini… ” rintih Randy seraya bangkit dari lantai.
Ketika lewat tengah malam Randy terbangun. Rupanya dia baru sadar bahwa dirinya tertidur di kursi. Dinginnya udara malam telah mengusik mimpinya. Tapi meski demikian Randy tak ingin melanjutkan mimpinya. Bergegas dia menuju sumur dan mengambil air untuk bersuci.