Belum usai peristiwa haru yang memporak-porandakan hati, mereka meneruskan langkah kaki menyusuri lantai dua hingga sampailah mereka di ruangan yang cukup luas yang berisi beberapa lukisan dan keterampilan, buah tangan anak-anak panti. Sejenak tatapan mata Randy tertuju pada seorang anak perempuan yang sedang asyik melukis di sebuah kanvas berukuran sedang.
Sejenak kemudian Randy melangkah menghampiri anak perempuan tersebut diikuti oleh beberapa mahasiswa, sementara beberapa yang lainnya tetap berada di luar dan ada juga yang melanjutkan untuk meninjau kamar-kamar yang lain.
“Assalamu’alaikum, boleh kakak duduk di sini... “ sapa Randy lembut sembari menunjuk bangku kosong di sebelahnya.
“Wa’alaikum salam. Silahkan.” balas anak perempuan itu dengan tetap tersenyum dan menganggukkan kepalanya yang dibalut jilbab hitam.
“Kalau boleh Kakak tahu, nama kamu siapa?” tanya Randy sambil setengah membungkukkan tubuhnya mendekat ke arah wajah anak itu.
“Asti, Kak,“ jawabnya singkat.
“Nama Kakak siapa?” tanya Asti.
“Randy, “ jawab Randy tersenyum.
“Wah, Asti sepertinya pandai melukis ya? Bagus sekali,” puji Randy lagi sambil memperhatikan gerak tangan Asti yang sedang memainkan sebuah kuas di atas kanvas.
“Terimakasih Kak...” ucap Asti lembut dengan tetap mengumbar senyum di bibirnya mungilnya.
“Kalau boleh Kak Randy tahu, Asti lagi melukis apa?” tanya Randy ingin tahu lebih banyak.
“Cita-cita Asti, Kak...” jawab Asti sambil terus memainkan sebuah kuas pada kanvas di hadapannya.
Sejenak Randy mengernyitkan dahinya saat menatap kanvas yang ada di hadapannya. Karena disitu hanya ada torehan sebuah gambar taman dengan anak-anak kecil yang bermain tapi, mengapa itu bisa menjadi cita-citanya? Aneh, pikir Randy semakin dibuat penasaran dan ingin tahu.