Cinta Yang Dirindukan Surga

DENI WIJAYA
Chapter #15

PERTUNANGAN AULIA #15

“Hei, beraninya kamu mengancamku, pria hidung belang! Memangnya kenapa, apa urusanmu?!” kata perempuan itu.

“Diam! Sudah kubilang jangan keluar rumah tanpa seijinku!” kata Hussin. 

Sang perempuan pun tak kalah keras jawabannya, ”Aku bukan Fatimah! Dan aku bukan istrimu!”

Dengan diliputi rasa amarah yang meledak-ledak, tangan Hussin spontanitas terangkat hendak menampar perempuan itu tapi terhenti seketika. Hussin seperti orang yang kehilangan wibawa, rupanya dia baru sadar bahwa saat ini masih berada di pasar.

Satu persatu pemilik toko di pasar keluar dan segera mengerumuni Hussin dan perempuan bercadar itu pun berbaur dengan pengunjung pasar yang lain. Urat-urat Hussin seperti berontak untuk meloncat dari dahi dan lehernya yang memerah.

“Kacau! Betapa bodohnya aku! Ukh..!” umpat Hussin dalam hati.

“Setiap orang di pasar mengenalku dan melihat kerumunan orang-orang itu!” gumamnya lirih.

Namun sang perempuan dengan wajah yang masih tertutup cadar, terus berteriak, “Tolong, tolong..! Pria hidung belang itu menggangguku!”

Pandangan Hussin menggelap. Pikirannya kacau. Bimbang dan yakin seolah sudah bercampur aduk jadi satu.

Tanpa pikir panjang, kakinya mundur dua langkah, lalu maju lagi dan tangannya menarik perempuan itu sambil berteriak, ”Percuma, jangan coba-coba mengelak! Besok… besok akan kuceraikan kamu. Mau kamu lemparkan reputasiku ke tong sampah? Jangan memaksaku mengumbar segalanya di depan orang banyak!“

“Saudara-saudara, hari ini kalian jadilah saksiku, besok akan kuceraikan perempuan ini. Aku telah menahan diri dan memendam amarah sekian lama. Tetapi kini pisau itu telah menusuk tulang. Saudara-saudara, jadilah saksiku. Besok saudara-saudara… ya besok.. besok! Aku bersumpah!” teriak Hussin berapi-api.

Kemudian sang perempuan tersebut berpaling pada kerumunan, “Apakah kalian akan tetap terpaku dan membiarkan orang gila ini menganiaya perempuan terhormat di jalanan? Jika suamiku ada di sini, dia akan mengajarimu untuk bersopan santun dan menghargai perempuan. Jika ada satu hari tersisa dalam hidupku, akan kubalas perlakuanmu! Kini kamu tahu tengah berhadapan dengan siapa? Aku akan membuatmu menderita…. satpam… satpam…. !”

Tak lama kemudian, dua lelaki meminggirkan Hussin dan seorang satpam pasar yang kebetulan lewat menyeruak kerumunan. Orang-orang mundur. Hussin, perempuan bercadar dengan ujung bordiran warna krem, para saksi dan dua lelaki penengah tersebut bergerak menuju kantor keamanan pasar. Di tengah jalan kedua pihak mengungkap cerita versi masing-masing pada petugas. Orang-orang yang berkerumun penasaran ingin mengetahui apa akhir dari drama ini.

”Pak Satpam, kamu mau bawa aku kemana, aku tidak bersalah!” teriak Hussin meronta.

Tubuh dan pakaian Hussin bermandi peluh. Kemudian dia berusaha untuk menyeruak kerumunan, mendekati dua orang petugas keamanan itu. Keraguan mulai menyergap rasa percaya dirinya. Tatapan matanya pada kaki perempuan bersepatu tali dan kaus kaki, berbeda dengan kaki istrinya, semakin menguatkan keraguan dalam hatinya. Keterangan perempuan itu kepada petugas juga dia kenal.

“Apa? Perempuan itu mengaku istrinya Said?!” gumam Hussin.

Hussin kenal sekali dengan yang namanya Said. Siapa yang tak mengenal dia, apalagi bagi orang-orang pasar. Said adalah seorang saudagar daging yang sangat terkenal di Saudi. Bahkan Hussin sendiri pernah juga berhutang pada Said.

“Apa benar dia istrinya Said? Jika benar, maka tamatlah riwayatku!” seloroh Hussin.

Memang selama ini Hussin belum sama sekali mengenal istri Said. Keringat dingin mulai mengalir deras di tubuhnya. Rasa khawatir, was-was bercampur rasa takut mulai menghampiri pikiran haji Abdulah. Keraguan telah menyelimuti hatinya. Dia sadar telah melakukan kesalahan, tapi sudah terlambat. Dia tak tahu apa jadinya nanti. Dia bagai terdakwa yang sedang menunggu vonis hakim.

Beberapa saat kemudian, mereka tiba di kantor keamanan. Orang-orang pun menunggu di luar. Hussin bersama perempuan itu diantar ke ruangan yang sudah ada satu orang kepala keamanan pasar di situ. Serdadu pengantar mereka memberi hormat, menceritakan detail kejadian, menarik diri dan kemudian segera menuju ke kursi di ujung ruangan.

Untuk beberapa saat suasana hening, sang kepala keamanan menatap Hussin, “Namamu?”

“Pak, saya orang tak penting, siap melayani Anda. Nama saya Hussin, e.. Haji Hussin, setiap orang di pasar mengenalku,” jawab Hussin.

“Pekerjaan?” tanya sang kepala keamanan.

“Saya penjual sate gule kambing. Saya siap menjalankan perintah, yang penting jangan sampai dilaporkan ke kantor polisi!” jawabnya lagi.

Lihat selengkapnya