Sesampainya di Singapura, Cindy disambut hangat oleh keluarganya. Kedatangannya seolah mengobati kerinduan mama papanya dan kedua kakaknya setelah beberapa bulan tidak berjumpa. Maklumlah, mereka semua mempunyai kesibukan masing-masing hingga untuk dapat berkumpul bersama keluarga lengkap sangat langka.
Namun tak satupun dari keluarganya yang menyadari perubahan yang terjadi pada diri Cindy. Dia lebih terlihat pendiam dari sebelumnya. Banyak waktu ia habiskan untuk membaca buku-buku seputar Islam. Tanpa Cindy sadari, perubahan perilakunya itu seringkali diamati oleh papanya. Hingga suatu saat, setelah merasa mantab dan yakin dengan agama Islam, Cindy mulai menata hati untuk mengutarakan keinginannya untuk memeluk Islam pada keluarganya.
“Ma, Pa, Kak Mona, Kak Ramon. Setelah sekian lama kupelajari dan kupahami, hari ini aku ingin mengutarakan keinginanku kepada kalian,“ kata Cindy dengan nada berat.
“Cindy sayang, apa yang ingin kamu sampaikan pada kami?” tanya Bu Maya.
“Iya, katakan saja. Ada apa sih kok sepertinya penting sekali?“ sambung Mona penasaran.
“Ma, Pa, setelah kurasa yakin, Cindy ingin memeluk Islam!” jawab Cindy dengan penuh keyakinan.
“Apa?!” sahut Pak Thomas. Untuk sesaat suasana menjadi tegang, diam tanpa kata. Hanya hati dan pikiran mereka masing-masing yang berbicara.
“Iya, Pa, aku ingin memeluk Islam,” Cindy menimpali.
“Kamu sadarkah dengan apa yang baru saja kamu katakan!” celetuk Pak Thomas.
“Cindy sadar, Pa. Dan tidak ada yang memaksa Cindy untuk memeluk Islam!” sahut Cindy dengan tegas.
“Apakah kamu yakin dengan pilihanmu, Cindy?” sambung Mona.
“That’s OK, I’m sure. Kak Mona. Cindy sudah yakin!” balas Cindy.
“Cukup! Cindy, kamu ini, tidak bisa seenaknya pindah agama. Kamu tidak bisa seenaknya sendiri mengambil keputusan, apa kata orang bila kamu pindah agama!” celetuk Ramon.
Bu Maya menimpali, “Hei, Ramon, kamu ini apa-apaan sih, biarkan Cindy sendiri yang memilih mau menganut agama apa!“
“Tapi Ma, apakah kita tidak malu, kita sebagai salah satu donatur gereja aktif, apalagi aku adalah salah satu anggota penginjil namun salah satu anggota keluarga kita keluar dari Kristen. Semua ini adalah omong kosong. Cindy, sekali lagi pikir matang-matang, jangan kamu buat malu keluarga kita di depan pendeta dan jemaat Kristiani lain!” hardik Ramon dengan penuh emosi.
“Ramon, apa-apaan kamu ini!” sahut Mona.
“Bukan begitu, Kak Mona. Ini soal harga diri!” balas Ramon.
“Ramon, agama itu urusan hati, urusan manusia dengan Tuhan. Agama itu tidak bisa dipaksakan,” Bu Maya menimpali ucapan Ramon.
“Sudah, sudah! Kalian tidak perlu bertengkar. Biarkan Cindy sendiri yang memutuskannya. Kalian tidak perlu ikut campur!” hardik Pak Thomas.
“Tidak bisa begitu pa, sudah hampir dua puluh tahun dia memeluk Kristen, tidak bisa dong seenaknya pindah agama, apa kata pendeta nantinya.” sanggah Ramon lagi.
“Ramon, biarkan Cindy yang memutuskan, kalau dia memilih Islam sebagai agamanya ya biarkan saja, kenapa harus ribut?” sela Bu Maya mencairkan suasana.