“Kamu ini gimana sih, Mas?! Aku tadi kan pesan burung dara goreng, bukan ayam goreng Kanton! Kamu kan tahu aku sudah lama nggak makan burung dara goreng kesukaanku. Sekalinya mau makan, malah dibelikan menu lain. Maksudnya apa, sih?”
Jonathan menarik napas dalam-dalam berusaha menenangkan dirinya. Sabar…sabar…, batinnya mengalah.
Lalu dengan nada suara tenang, suami Theresia itu menerangkan baik-baik, ”Sayang, dengarkan dulu penjelasanku, ya. Menu burung dara yang kamu minta itu sedang kosong. Jadi aku belikan ayam goreng Kanton yang juga kesukaanmu sebagai gantinya. Kan cara masaknya mirip-mirip, Sayang. Cuma bedanya satu daging burung dara, sedangkan satunya lagi daging ayam. Malah ini dikasih krupuk kecil-kecil yang kamu suka.”
“Tapi aku sedang nggak ingin makan ayam goreng Kanton! Aku mau burung dara goreng! ”teriak Theresia penuh amarah. Wajah cantiknya cemberut, menunjukkan ketidakpuasannya terhadap menu masakan yang dibawa pulang suaminya.
“Baiklah. Kamu mau burung dara goreng buatan restoran mana? Aku belikan. Atau kita sekalian pergi makan di sana aja. Gimana?”
“Aku mau makan di rumah. Malas harus dandan rapi hanya untuk makan di restoran.”
“Kamu udah cantik pakai baju ini, Sayang. Nggak usah dandan lagi.”
“Kamu kan tahu, sekarang kalau makan di luar aku mesti motret masakannya dan upload di Instagram supaya dilihat followers-ku. Jadi aku mesti tampil keren, dong. Malu-lah kalau cuma pakai baju seadanya! Gimana, sih? Kamu kok nggak menaruh perhatian sama kebiasaan istrimu? Udah nggak cinta lagi, ya?!”
Jonathan mengelus dada melihat sikap istrinya yang semakin kekanak-kanakkan. Padahal dia tadi sudah berjuang mengemudikan mobilnya di tengah hujan deras hanya untuk membelikan makanan kesukaan istrinya di restoran langganan mereka.
Kebetulan hari ini sopir pribadinya tidak masuk kerja karena sedang sakit. Tetapi sesampainya di rumah Theresia malah marah-marah karena masakan yang dibelikan suaminya tidak sesuai dengan harapannya. Aku sendiri belum sempat membersihkan tubuhku di kamar mandi, keluhnya dalam hati.
Dipandanginya ayam goreng Kanton yang sudah dihidangkan pembantu rumah tangga mereka di atas sebuah piring berbentuk oval yang terbuat dari kaca. Kelihatannya enak, kok, gumamnya dalam hati.
Bukankah Theresia biasanya juga menggemari ayam goreng ini? Lalu mengapa dia masih mempermasalahkannya? Nanti kalau aku membelikan burung dara goreng yang diinginkannya di restoran lain, dianggapnya salah lagi karena nggak sesuai dengan ekspektasinya. Begini salah, begitu salah. Lalu aku harus bagaimana?
“Kok diam aja sih, Mas?! Ayo cepat berangkat belikan burung dara goreng buat istrimu yang kelaparan ini!”
“Lalu kamu maunya dari restoran mana?”
“Terserah! Pokoknya yang rasanya mirip dengan masakan restoran langganan kita!”
“Gimana kalau kupesankan lewat aplikasi online saja? Hujan sudah berhenti, pasti banyak driver yang stand by untuk menerima orderan.”