Akhirnya wanita itu menghentikan aksinya dan bersimpuh di lantai sambil menangis tersedu-sedu. Jonathan menatapnya dengan perasaan iba campur dongkol. Bukan baru sekali ini istrinya melakukan kekerasan fisik terhadapnya. Dirinya selalu berusaha bertahan karena memahami alasan di balik sikap istrinya itu.
“Sudahlah, Sayang,” ucap Jonathan lembut seraya memeluk Theresia yang masih menangis. “Aku yang bersalah. Aku minta maaf.”
Begitulah, setiap kali terjadi perselisihan diantara mereka berdua, laki-laki yang sudah sepuluh tahun membina rumah tangga dengan Theresia itu selalu menyalahkan dirinya sendiri di hadapan istrinya. Dengan begitu, wanita cantik itu akan mereda emosinya dan tidak histeris lagi.
“Aku mau minum obat….”
“Jangan, Sayang. Kamu harus berusaha mengendalikan dirimu sendiri. Jangan bergantung terus pada obat penenang.”
“Obat itu memang diresepkan untukku supaya aku bisa tenang, kan? Ambilkan aku obat itu, Mas. Aku benar-benar membutuhkannya. Please….”
Jonathan mengeluh dalam hati. Kenapa aku selalu menuruti kemauannya? Dasar bodoh kau, Jonathan! Benar-benar laki-laki pengecut! serunya mengumpat diri sendiri dalam hati. Suami macam apa dirimu yang tidak mampu membimbing istrimu menjadi manusia yang baik?!
“Mas…, tolong ambilkan obatku. Aku tidak bisa tenang kalau tidak meminumnya…,” pinta Theresia lemas. Tubuhnya terkulai lemas dalam pelukan suaminya.
Jonathan mengangkat tubuh istrinya dan menggendongnya masuk ke dalam kamar tidur mereka. Didudukkannya tubuh yang ramping itu di atas tempat tidur. Disusunnya bantal-bantal sedemikian rupa sehingga menjadi tempat bersandar yang nyaman bagi Theresia.
Istrinya itu diam saja melihat tingkah suaminya yang melayaninya sedemikian rupa. Baginya hal itu sudah biasa dan layak diterima olehnya.
Selanjutnya Jonathan meninggalkannya dan kembali beberapa saat kemudian sambil membawa segelas air putih dan sebuah botol obat berisi kapsul-kapsul. Dia mengeluarkan sebutir kapsul dan memberikannya kepada istrinya. Theresia menolak dan berkata, “Dua butir, Mas.”
“Dokter meresepkan sebutir untukmu sekali minum, Sayang.”
“Sudah nggak mempan untukku. Aku butuh dua butir. Cepat berikan padaku!”