Cinta Yang Terenggut

Sofia Grace
Chapter #3

Curhat Kepada Sahabat

Bastian menepuk-nepuk pundak Jonathan dengan perasaan sangat iba. Dia merasa beruntung perkawinannya sendiri dikaruniai dua orang anak perempuan yang lucu-lucu.

Walaupun terkadang masih terdengar suara sumbang mengapa dia dan istrinya tidak mencoba untuk mempunyai anak laki-laki, hal itu tidak dipedulikannya. Bagi dirinya anak laki-laki dan perempuan itu sama saja. Bahkan dikaruniai seorang anak tanpa kesulitan apapun itu sudah merupakan anugerah yang luar biasa dari Tuhan, batinnya dalam hati seraya membandingkan nasibnya dengan Jonathan.

“Bro, apakah kau keberatan mengadopsi anak? Barangkali ketidakmampuan istrimu mengandung itu merupakan suatu pertanda dari Tuhan agar kalian memelihara anak-anak yang telantar. Secara finansial, kalian berdua sangat mampu mengasuh beberapa anak sekaligus!”

Jonathan menghela napas panjang. Sepasang mata elangnya menerawang ke langit-langit restoran tempat mereka berdua menyantap makan siang. Beberapa saat kemudian terdengar suaranya lirih berkata, “Aku tidak pernah menuntut Theresia memberiku keturunan, Bas. Bagiku kehadiran seorang anak memang penting, tapi bukanlah yang utama. Perkawinan kami bisa langgeng sampai akhir hayat saja aku sudah amat bersyukur.”

“Bro, aku mau nanya sesuatu tapi kamu jangan tersinggung, ya.”

Jonathan mengangguk mengiyakan.

“Pernahkah tersirat dalam pikiranmu untuk…ehm…bercerai?”

Sahabat Bastian itu terpaku sejenak. Lalu dipandanginya lelaki yang duduk di hadapannya dengan tatapan penuh arti. “Jujur saja, pemikiran seperti itu sempat beberapa kali muncul setiap kali Theresia memperlakukanku dengan sewenang-wenang. Tetapi selalu kusingkirkan jauh-jauh karena….”

Jonathan menggantung kalimatnya. Diseruputnya minumannya dan ditenangkannya hatinya selama beberapa saat. Kemudian dilanjutkannya ucapannya dengan perasaan getir, “Pertama, aku dan Theresia menikah secara Katolik, Bro. Sampai kapanpun kami terikat pernikahan di mata Tuhan hingga maut memisahkan kami. Kami terikat oleh janji suci perkawinan yang menyatakan bahwa kami akan selalu bersama-sama dalam keadaan susah ataupun senang, berkekurangan ataupun berkelimpahan, dan sebagainya. Bukankah setiap pasangan pengantin juga menyatakan hal yang sama saat menikah, Bro?”

“Betul…,” jawab Bastian membenarkan. “Tapi seandainya pada waktu itu kau mengetahui bahwa nasibmu akan menjadi seperti ini, apakah kau masih mau mengucapkan janji suci itu?”

 “Aku tidak mau berandai-andai, Bas. Percuma. Toh, masa lalu tidak bisa diulang kembali.”

 “Lalu sampai kapan kau sanggup bertahan diperlakukan tanpa martabat oleh istrimu sendiri, Jon?”

“Aku tidak tahu,” sahut Jonathan seraya mengangkat kedua bahunya pasrah. Bastian menatapnya dengan sorot mata prihatin.

“Yang aku tahu…,” ucap Jonathan selanjutnya, “Theresia telah berkorban luar biasa untuk memberiku keturunan. Setelah dokter di Malaysia itu memvonisnya mandul, dia masih berusaha berkonsultasi dengan dokter-dokter ahli kandungan di Singapore. Bahkan dia sampai menjalani berbagai terapi pijat dan herbal di Cina yang entah apa namanya aku lupa. Aku selalu menemaninya, melihatnya begitu menderita dan kelelahan menjalani itu semua. Karena itulah ketika dirinya mengalami frustasi akibat kegagalan semua upayanya itu…aku berusaha memahaminya. Aku belajar memaklumi sikapnya yang lambat-laun berubah….”

“Menyakitimu….”

“Betul! Aku tidak sanggup meninggalkannya, Bas. Dia bisa mati sengsara.”

Lihat selengkapnya