Demikianlah percakapannya dengan Rosa seminggu yang lalu. Tak terasa hari ini keponakan yang direkomendasikannya itu datang juga menemui kepala HRD untuk menjalani prosedur penerimaan karyawan baru.
Dalam hati sebenarnya Jonathan hampir pasti akan mempekerjakan gadis itu untuk menggantikan posisi tantenya. Dia merasa tak enak hati kalau sampai menerima orang lain sebagai sekretarisnya.
Pertama, dirinya kuatir akan menyinggung perasaan wanita yang lebih senior darinya itu. Kedua, takutnya Rosa tidak akan sepenuh hati mengalihkan seluruh tugasnya kepada orang baru. Hal itu dapat berakibat fatal bagi kinerja Jonathan selanjutnya.
Bayangkan, wanita itu mengetahui segala informasi penting mengenai kedua perusahaannya! Dia bisa saja menjualnya kepada perusahaan pesaing jika merasa tidak puas dengan kebijakan yang kubuat, pikir sang direktur utama itu waspada. Ironis sekali, seorang pimpinan puncak perusahaan merasa takut dengan sekretarisnya sendiri, batin Jonathan geli.
Tiba-tiba terdengar suara pintu ruangan kantornya diketuk dari luar. Direktur utama itu segera membenahi posisi duduknya menjadi lebih berwibawa. Kemudian dia berseru mempersilakan tamunya masuk.
Pintu terbuka dan seorang gadis bertubuh tinggi langsing serta berkulit putih memasuki ruangan yang sangat luas itu. Dia mengangguk dan tersenyum canggung kepada Jonathan yang menatapnya dengan sorot mata menyelidik.
Saat gadis itu sudah berdiri persis di hadapan calon bosnya itu, dia mengulurkan tangannya dan berkata tenang, “Selamat siang, Pak Jonathan. Saya Karin, keponakan Bu Rosa.”
Laki-laki itu mengangguk dan tersenyum ramah. Dia bangkit berdiri dan menerima uluran tangan gadis itu. “Halo, Karin. Silakan duduk.”
Gadis berambut panjang lurus itu mengangguk sekali lagi dan duduk persis di hadapan pemimpin tertinggi perusahaan tersebut.
Halus sekali tangannya, gumam Jonathan dalam hati. Ingin rasanya tadi kugenggam lebih lama. Mengingatkanku pada waktu berkenalan dengan Theresia belasan tahun yang lalu. Tangan yang mungil, halus, dan menenangkan hati saat kugenggam.
Tiba-tiba laki-laki itu terkejut dengan pemikirannya sendiri. Benar-benar gila aku ini. Kok bisa-bisanya terpesona dengan tangan calon sekretarisku sendiri! Sadar, Jon. Sadar! Kau sekarang akan mewawancarai calon sekretaris baru, bukan mendekati seorang gadis!
“Ehm…, Karin umur berapa sekarang?” tanyanya memulai wawancara. Geblek! Kok nanya umur, sih? Nanya pengalaman kerja, dong! ucap nuraninya mengejek.
“Dua puluh tiga tahun, Pak.”
“Oh, masih muda sekali, ya.” Tambah geblek! Memangnya mau mencari sekretaris umur berapa, sih? kata hatinya kembali mengolok-olok.
Karin tersenyum manis. Aduh, jantungku kok deg-degan melihatnya, ya? pikir Jonathan semakin tidak tenang. Dia jadi bingung sendiri sekarang. Kok dirinya bagaikan anak remaja yang sedang dimabuk asmara?