Waktu berlalu, dan kedekatan kami tak pernah berubah. Tapi semakin lama, aku mulai merasa bahwa Rina juga merasakannya. Ada momen-momen kecil, seperti saat kami berbicara hingga larut malam atau berbagi pandangan singkat yang lebih dalam dari sekadar kebiasaan. Aku sering menangkap tatapan Rina yang seolah menunggu aku mengatakan sesuatu, sesuatu yang lebih dari sekadar persahabatan. Tapi aku hanya bisa diam.
“Lu mikir apa, sih?” Rina tiba-tiba bertanya saat kami sedang duduk bersama di bangku taman, seperti biasa.
Aku terdiam sebentar, berusaha mencari kata-kata yang tepat. “Nggak ada, kok. Lagi pengen diem aja.”