Cintai Aku Apa Adanya

Sandra Arq
Chapter #2

CHAPTER 2

Rifky kembali melirik arlojinya, ia terus bergumam dengan keadaannya sendiri yang masih belum beranjak dari Apartemen. Kejadian yang menimpanya hari ini berhasil menghambat semua rencananya, tanpa fikir panjang pemuda itu segera keluar dari kamar Ara dan merapikan jasnya yang berantakan, tentu ia ingin terlihat tampan di mata Keyla gadis pujaannya, saat hendak keluar dari pintu Apartemen. Rifky berpapasan dengan seorang wanita yang tengah memperhatikan penampilannya, wanita itu mengernyitkan kening dan melipat kedua tangannya di dada.

Rifky menghela nafas menatap ekspresi wanita itu yang seperti tak menyukai penampilannya, tanpa izin wanita itu segera masuk ke dalam Apartemen seraya mengamati sekitarnya.

"Mau kemana kamu?"

"Pergi"

"Pergi? pergi kemana?"

"Ke ulang tahun Keyla Mi" jawab Rifky

"Mami gak mengizinkan kamu pergi Ky" ujar wanita itu seraya duduk di sofa

"Loh, kenapa sih Mi? Rifky akan tetap pergi walaupun Mami gak mengizinkan. Keyla udah menunggu Rifky"

"Mami heran sama kamu, di luar sana masih banyak gadis-gadis cantik, berkelas, dan juga elegan yang lebih pantas buat kamu"

"Rifky gak mau berdebat Mi, walaupun Mami gak mengizinkan, Rifky akan tetap pergi" ujar Rifky tetap dengan pendiriannya

"Oke, kamu boleh pergi tapi Mami dan Papi sudah memutuskan kalau kamu akan bertunangan dengan gadis pilihan kami" timpal wanita itu

"Mi, Rifky tau mana yang terbaik buat Rifky. Ini jaman modern Mi bukan jaman Siti Nurbaya yang mau saja di jodohkan, lagian Rifky sama sekali gak kenal dengan gadis pilihan Mami itu. Rifky gak akan pernah menerima perjodohan bodoh itu"

"Terserah kamu, tapi keputusan kami sudah bulat. Minggu depan acara pertunangan kamu akan di percepat" ujarnya

Rifky tersentak mendengar itu, ia menatap Mami-nya dengan kecewa, entah apa yang membuat orang yang disayanginya ini tak pernah menyetujui hubungannya dengan Keyla, kepala Rifky terasa berat saat penjelasannya tak kunjung di respon, terus berdebat dengan Mami-nya yang keras kepala pun seperti hal yang sia-sia baginya.

"Rifky akan tetap pergi walaupun Mami gak mengizinkan, soal pertunangan itu Rifky gak akan pernah mau menerima Mi"

"Mami gak peduli,yang jelas minggu depan kamu akan bertunangan dengan gadis pilihan kami. Apa kamu tahu? sejak kamu berhubungan dengan Keyla, kamu benar-benar berubah Ky. Kamu gak punya banyak waktu lagi untuk keluarga, Mami heran apa yang sudah di berikan gadis itu sama kamu?,"

"Mi! Rifky capek berdebat terus sama Mami. Keyla gak seburuk yang Mami fikirkam, dia gadis yang baik dan selalu mengerti Rifky,"

"Gadis baik? kalau dia memang gadis yang baik. Kamu gak akan membentak Mami kayak gini Ky, fikiran kamu benar-benar sudah di cuci oleh gadis itu. Mami gak menyangka kamu bisa berbicara sekasar ini dengan Mami kamu sendiri,"

Rifky mengusap wajahnya kasar, ia berusaha mengendalikan emosinya yang mulai tersulut. Tubuh pemuda itu pun meluruh di sofa, Rifky tak tahu bagaimana lagi caranya membuat Maminya ini mengerti tentang perasaannya.

"Rifky gak tahu gimana menjelaskan semuanya sama Mami, tapi Keyla wanita yang terbaik buat Rifky Mi. Dia gak seburuk yang Mami fikir, Rifky capek gak ada gunanya kita berdebat terus kayak gini" lirih Rifky

"Yang menurut kamu baik, belum tentu terbaik buat keluarga kamu. Sekuat apapun kamu berusaha memperjuangkan dia, Papi dan Mami sudah memutuskan kalau kamu bertunangan dengan gadis pilihan kami" ucap wanita itu tegas, seraya keluar dari Apartemen Rifky.

Rahang Rifky mengeras mengingat keputusan Mami-nya yang masih keras kepala, Rifky pun melemparkan benda-benda di depannya hingga berhamburan ke lantai. Ia terus berteriak memikirkan tentang masalah pertunangan bodoh itu, kedatangan Maminya secara tiba-tiba pun membuat moodnya rusak. Keyla pasti kecewa padanya saat ini karena tak melihat kehadirannya.

"Aku akan tetap memperjuangkan dia Mi, aku gak akan menyerah sampai kalian merestui hubungan kami" lirih Rifky begitu sesak

Pemuda itu pun segera meninggalkan Apartementnya menuju ke Hotel, mungkin bertemu dengan kekasihnya itu akan membuat perasaannya lebih lega.

*

Mata Ara menyipit saat cahaya lampu menerpa wajahnya, gadis itu terus memegangi kepalanya yang begitu pusing, entah dimana ia saat ini. Ara pun mengedarkan pandangannya ke sekeliling ruangan yang terlihat begitu asing untuknya. Gadis itu mencoba duduk walaupun tubuhnya masih terasa sakit semua.

"Aku dimana?" tanya Ara bingung, ia beranjak dari tempat tidur seraya mengamati ke luar jendela.

Ara pun kaget ketika menyadari berada di gedung tinggi. Ara mengusap matanya tak percaya kenapa ia bisa berada disini, entah siapa yang sudah membawanya.

"Apa mugkin saat ini aku sudah berada di surga?" benak Ara penuh tanya saat melihat pemandangan yang begitu indah dari gedung pencakar langit dihadapannya.

"Apa ini surga Tuhan? Hmm sangat indah" ujar Ara masih tak percaya. Lamunannya pun membuyar saat mendengar bunyi perutnya yang mulai keroncongan. Ara tertawa merasakan perutnya yang kelaparan, mungkin ia sedang berkhayal, jika di surga makhluk Tuhan tak akan mungkin kelaparan.

Ara menyusuri kamar yang begitu asing ini dengan perasaan bingung, tak banyak yang bisa ia lakukan. Ia cuma duduk di sofa seraya mengamati dinding yang terpajang foto-foto seseorang yang terlihat begitu tampan, begitu banyak foto yang terpasang hingga ia sendiri tak bisa menghitungnya.

"Dia kan? jadi ini Apartemen dia"

Ucapan Ara pun terhenti ketika melirik menu makanan yang tersedia di meja, cacing di perutnya pun mulai menari-menari seakan meminta makan.

"Apa pemuda itu yang menyiapkan semua ini?" batin Ara

Ara kembali mengingat kejadian di jalanan sore tadi saat mobil laki-laki sombong itu hampir menabraknya. Ara pun merasa bersalah karna merepotkannya.

Ara segera mengambil sendok dan mulai melahap sup di depannya, seumur hidup baru kali ini ia merasakan makanan selezat ini. Ia terlihat menikmati semua menu hingga habis, pusing yang ia rasakan pun mulai menghilang, entah apa yang harus ia lakukan sekarang, gadis itu melirik jam di dinding yang menunjukan pukul 9 malam.

Ara menutup mulutnya tak percaya, entah sudah berapa lama ia disini, kenapa ia baru menyadarinya. Gadis itu pun menjadi bingung sendiri.

"Ya Tuhan, aku kok sampai gak sadar begini" sesal Ara, ia meraih ponselnya di tas ada 15 kali panggilan tak terjawab. Gadis itu pun segera membaca sms yang di kirim oleh Verrel yang mengkhawatirkan keadaannya.

"Verrel pasti ke rumah tadi, hmm gimana mau balas ya sedangkan pulsa aku juga gak ada" ujar Ara bingung, ia segera ke ruang tamu Apartement meminjam telpon. Mungkin berbicara sebentar saja tidak jadi masalah fikirnya.

"Hallo Rel"

"Ra ini kamu ya?"

"Iya, hmm maaf ya Rel. Aku baru tahu kalau kamu tadi menelpon"

"Iya gakpapa, kamu sekarang di mana Ra? biar nanti aku jemput"

"Aku...aku di rumah teman Rel, sebentar lagi aku pulang"

"Dimana alamatnya? biar aku jemput sekarang ya, kebetulan aku lagi di luar nih beli pesanan nyokap"

"Gak usah Rel, nanti aku pulang sendiri aja. Lagian jalanan masih cukup ramai jam segini" ujar Ara merasa tak enak

"Hmm ya sudah, kamu hati-hati ya Ra. Kalau sudah sampai rumah telpon aku"

"Iya Rel" ucap Ara menutup telponnya, gadis itu pun menarik nafas lega. Ia tak ingin Verrel kembali repot memikirkannya.

Sejak kematian Ibunya. Pemuda itu pun selalu ada membantunya, Ara begitu bersyukur memiliki sahabat sebaik Verrel, walau terbilang ia berasal dari keluarga yang berada tapi Verrel sama sekali tak memandangnya dengan sebelah mata, tak seperti pemilik Apartemen ini membayangkan wajahnya yang jutek saja membuat Ara ngeri sendiri.

"Sudah jam 10 malam, kok dia belum pulang ya. Apa aku tinggalkan pesan aja?" batin Ara bingung

Ara merasa tak enak jika harus meninggalkan Apartemen pemuda itu tanpa mengatakan terima kasih karena pertolongannya. Walau bagaimana pun juga ia sudah membantunya tadi, Ara melirik secarik kertas di meja, ia pun menuliskan pesan singkat kepada pemilik Apartement ini, bukan ia tak ingin menunggu, melihat pergaulan anak orang kaya biasanya di jam seperti ini belum pulang ke rumah, sering sekali ia dengar mereka lebih menghabiskan waktu untuk hangout dengan teman-teman atau pacar mereka.

Setelah menuliskan pesan terima kasihnya, Ara membereskan Apartement pemuda itu yang terlihat berantakan mungkin dengan cara ini bisa membalas kebaikannya fikir Ara.

Hampir satu jam Ara berkutat pada pekerjaan rumah tangga, gadis itu memang terbiasa melakukan semua ini dengan mandiri. Ketika Ibunya masih hidup, banyak hal yang diajarkan beliau padanya yang begitu berarti bagi Ara hingga saat ini. Rasa rindu pun kembali menyeruak di hati Ara membayangkan senyum Ibunya yang selalu membuatnya damai, gadis itu membuka kaca jendela menatap langit malam yang kelam, ia yakin jika orang yang di cintainya itu sudah bahagia bersama Tuhan sekarang, walau ia tak bisa melihat Ibu-nya lagi tapi sosoknya akan selalu ada di hatinya dan ia yakin Ibu-nya pasti mendoakannya dari sana.

"Ara kangen Ibu, tempatkan beliau di surgamu Tuhan. Semoga suatu saat nanti aku bisa bertemu lagi dengannya" lirih Ara menangis, gadis itu duduk di jendela dan memeluk lututnya. Ia mengamati suasana malam di gedung tertinggi ini paling tidak bisa sedikit membuat perasaannya tenang, angin sepoy yang berhembus pun memberikan kenyamanan di hatinya.

Ara tiba-tiba menunduk mengungkapkan kesedihannya, kenapa hidupnya harus seberat ini. Apa ia akan sanggup menjalankan semuanya seorang diri tanpa orang-orang yang di kasihinya? Ibu yang jauh darinya dan Mama yang tak pernah menginginkannya, semua itu membuat Ara begitu terluka, tapi ia tak boleh menyerah untuk itu. Ia akan berusaha tegar demi mewujudkan mimpi-mimpi indahnya walau kadang harapan mungkin tak semudah itu di dapat, tapi dengan kerja keras segala yang tak mungkin bisa menjadi berarti di dunia ini.

Setelah cukup puas memandangi pemandangan malam, Ara segera meninggalkan Apartement Rifky, ia berjalan menyusuri trotoar sembari menunggu bus, di jam seperti ini keadaan ibukota pun masih terlihat sangat ramai dengan aktivitas orang-orang di ruas jalan yang sedang mencari nafkah.

Ara pun memutuskan untuk mampir sebentar di warung membeli air mineral, ia memandangi ke tengah jalan raya yang di lalui oleh mobil yang berlalu lalang. Tapi tak ada bus kota yang ia tunggu, apa mungkin jam segini kendaraan umum itu sudah tidak melintas fikirnya. Tentu jalan satu-satunya yang akan ia tempuh adalah berjalan kaki ke rumahnya kalau memang tak ada lagi bus yang lewat.

"Mbak mau kemana? kok sendirian aja sih" tanya seseorang menghampiri gadis itu

"Hmm mau pulang mas"

"Pulang? pulang kemana"

"Ke rumah"

"Oh kirain mau pulang ke hati abang hahaha" tawa salah satu pemuda yang berpenampilan urakan di hadapannya, perasaan Ara pun mulai tak tenang melihat tatapan tajam orang itu yang mengerikan. Di tambah lagi tawa dari beberapa orang teman-temannya, Ara sedikit menjauh dari mereka tapi orang itu terlihat tak menyerah, setelah membayarkan uang air mineralnya Ara mempercepat langkahnya menjauhi mereka.

Jantungnya berdetak tak beraturan mengamati orang-orang itu membuntutinya, entah apa mau mereka ,wajah Ara begitu ketakutan karena jalanan yang ia lewati begitu sepi.

"Nona manis kok cepat banget sih jalannya haha" goda orang-orang asing itu

"Sudah, daripada pulang ke rumah mending ikut kita deh" ujar salah satu dari mereka mencolek dagu Ara

"Saya mohon jangan ganggu saya, saya mau pulang" pinta Ara ketakutan

"Hhh kenapa? Ayo ikut kita aja. Kita akan ajak nona bersenang-senang" ujar salah satu pemuda yang berambut gondrong mencengkram tangan Ara. Gadis itu pun berteriak mencoba menepis tangan orang itu, tapi ia tak sekuat itu melawan gerombolan lima orang laki-laki liar itu, air matanya pun tak berhenti mengalir karena sikap mereka yang tak sopan.

"Lepasin saya mas, saya mohon. Saya mau pulang" tangis Ara terisak

"Gak bisa nona manis, lebih baik kamu bersenang-senang dengan kita malam ini haha," seringai orang itu

"Betul hahaha, puasin kita satu persatu ayo cantik" ujar mereka semakin kurang ajar.

Tubuh Ara pun di dorong secara paksa oleh mereka ke tembok entah apa yang terjadi setelah ini. Ara berteriak sekuat tenaga dan terus melawan mereka, i mencoba mempertahankan hal yang berharga dari dirinya, bajunya pun terus di tarik oleh laki-laki bajingan di depannya hingga robek. Tangisnya seakan tak berarti bagi mereka semua.

"Saya mohon jangan, tolong lepasin saya. Saya mohon," tangis Ara

Lihat selengkapnya