Cintai Aku Tanpa Buah Dada

Eka Retnosari
Chapter #1

SUMPAH PADA HARI MINGGU

Pada Minggu pagi, salah satu buku dalam lemari terjatuh hingga mengenai salah satu bagian kaki. Ia, perempuan bernama Kersen yang memiliki tahi lalat sejumlah dua tersebut segera menoleh ke arah mulutnya sendiri yang menganga. Cermin di hadapannya, yang memiliki retakan pada salah satu bagian, yaitu batang hidungnya, yang digambar dengan sudut yang hampir sama dengan salah satu foto yang tinggal dalam lemarinya. Hujan tak turun pada Minggu pagi meski awan berkelindan. Kersen berjalan ke arah dapur untuk memastikan setiap sulur tak memasuki bingkai jendela yang acapkali dilupakannya ketika tertidur. Rambutnya belum bersentuhan dengan sisir meski ada beberapa helai yang menimpa ujung bahunya, juga tepi telinga. Ia lupa mematikan nyala api yang biru dan sedikit melucu. Ia tidak sedang tertawa ketika itu, jemarinya sedang ingin berdiang. Hatinya sedikit menghangat begitu seekor kucing melintasi dengan cepat. Matanya masih awas meski kacamata yang retaknya serupa dengan cermin di samping pintu depan, tertinggal di samping tempat tidur yang permukaannya penuh dengan celana yang dibiarkannya tertawa. Kucing itu menyapanya sambil menabrakkan salah satu bagian tubuhnya yang memiliki gelambir pada bagian bawah perutnya. Dua hari ia belum membandingkan kucing yang warnanya semula putih, kemudian memiliki sedikit warna cokelat meski tak pekat. Likat ia membalas tatapan kucing tersebut dengan lemparan sikat yang terarah ke bola matanya yang biru dan garis kuning pucat. Ia kembali melupakan benda yang harus diletakkannya di atas nyala api. 

Kersen berjalan dengan kaus kaki tebal bergaris yang memiliki lubang selebar penggaris. Penggaris tersebut memiliki retak pada salah satu bagian ketika ia untuk pertama kalinya belajar mengiris. Kersen telah lama melupakan pisau dan segala aturan untuk membelah setiap benda dengan angin yang berdesau dan hati yang kacau. Pada salah satu musim semi yang tak ramai oleh bunga, Kersen memanggang roti yang adonannya lebih banyak memiliki mentega dan bubuk merica. Roti tersebut kemudian dibelahnya menjadi tiga bagian yang tak sama rata serupa papan. Kucing yang belum ia beri nama tersebut kemudian mendapatkan salah satu bagian yang membuatnya tampak seperti sedang melahap salah satu bagian tubuhnya yang penuh dengan bulu dan kuku yang tak bertahi kuku. Kersen tidak tertawa ketika kucing tersebut berusaha untuk membuatnya tengadah sambil melebarkan bibirnya yang tak bergincu dan selalu meneteskan satu demi satu getir yang ketar-ketir di halaman lantai rumahnya yang tak bersemir. Pun ketika pada suatu waktu, setelah menghabiskan waktunya dengan menunggu kain yang diantarkan oleh seorang lelaki bertopi dan bercelana cokelat, kucing itu menghilang dan kembali dengan membawa belang. Bangkai ikan digondol di mulutnya dengan air liur berleleran hingga membasahi permukaan sepatu yang diletakkan di samping pintu. Kersen masih merentangkan bibir ke arah dagu dan pintu. Seseorang yang tiba di permukaan pintu, akan mengetuk kemudian meletakkan benda tanpa melontarkan sebuah bahasan tentang kendaraan yang melintasi jalanan dengan arak-arak yang memiliki aroma parfum yang baru dibeli ketika salah satu pekerja dapur di setiap rumah sedang memanaskan bubuk jeli dan lusinan kotak kecil berwarna hijau muda sedang menjadi mainan yang menyenangkan seorang anak berusia belasan. Kotak cokelat muda tersebut berisi benda berwarna merah muda. Terdapat warna kuning yang menghiasi tepi dan ruas yang menghasilkan retakan begitu ia terlempar dari tangan salah seorang yang matanya tak terlalu awas ketika orang yang melahirkannya sedang sibuk memanggang. Kotak cokelat muda tersebut menjadi hadiah bagi setiap penduduk yang memiliki rumput hijau di halaman depan dan kotak surat yang memiliki dua ruas angka. Seseorang, yaitu anak berusia belasan yang tak pernah lupa memakai celana cokelat, akan membagikan kotak cokelat tersebut ke setiap rumah yang atapnya memiliki ruang yang cukup untuk menampung empat ekor kucing dan enam buah guling. Sementara di bagian atas pintu, terdapat sebuah lonceng berwarna kuning yang akan berdentang setiap kali lelaki bercelana cokelat tersebut masih dalam perjalanan menuju seorang perempuan berambut kuning yang selalu telaten dalam menunggu. Lonceng tersebut akan berdentang setiap kali angin berembus dari arah utara, melintasi pintu rumah Kersen dan pagar yang telah memiliki belasan ruas yang lapuk dan buruk. 

Kersen menghitung jumlah dentangan yang tiba di telinganya setiap kali kucing tersebut berbaring dengan perut yang telah berselimutkan parut. Kersen selalu mengabaikan peluh dan jenuh. Ia berjalan ke arah depan rumah untuk menghitung jumlah daun yang tumbuh dari sebuah pohon yang ditanamnya ketika orang-orang sedang bertamasya bersama tawa yang terencana. Daun-daun yang masih berwarna hijau, daun-daun yang telah berwarna cokelat dan layu. Sehelai terbang, ia berwarna cokelat kemudian hinggap di atap kepalanya yang sesekali bercengkrama dengan lalat-lalat. Saat terdengar suara senapan dilesatkan ke salah satu ruas pohon, Kersen akan lekas menyobek salah satu daun yang uratnya telah memiliki bentuk dan warna yang sama dengan telapak tangannya yang ramai oleh aroma lauk pauk. Ia kemudian kembali menghitung jumlah kaca, remahan kaca, yang ditumpahkan langit, sekali waktu, ketika orang-orang merundukkan punggung dan menghapus luka dan bekas luka yang didapatnya selama perjalanan membilang payung. Jika kaca dan serakan tersebut tiba di halaman rumahnya, ia akan menampungnya. Dengan telapak tangan yang tengadah dan mulut yang bersimbah. Payung-payung kemudian dibentangkan ke arah terjauhnya dari gigir dan juga anyir. Pagar-pagar ditanam menjauh dari laut dan pohon-pohon yang berderet tanpa memperhitungkan sekat dan karet. 

Anak kecil berusia di bawah sepuluh tahun akan berlompatan dan membuang harapan tentang ayunan dan benda yang dapat membuat seseorang kehilangan harapan untuk meluruskan kaki dan mengaitkan kata-kata yang didapatnya dari orang yang melahirkannya. Tentang orang-orang yang akan ditemui oleh seseorang yang memiliki kemampuan untuk melihat mata orang lain secara sembarang. Kersen tak pernah menghabiskan waktunya, hidupnya, dengan mengaduh setiap kata. Meski benda-benda semacam piring, gelas, sendok, garpu, dan semacamnya selalu tepat waktu untuk mematuhi jadwal, yaitu berterbangan, memenuhi langit-langit hingga hampir menjangkiti awan. Hujan tak pernah tiba di permukaan meja yang sebagian lapisannya terkikis dan salah satu bilah kayunya selalu memiliki runcing yang mampu melukai setiap kaki yang datang bertandang. Namun, Kersen telah lama membiarkan setiap ruangan dalam rumahnya tak memiliki dering dan sapa. Setiap kaca memiliki debu yang menebal dan celah yang mengikuti aspal penutup jalan serta ulat-ulat yang berkelindan. Pada suatu waktu, ulat-ulat tersebut merangsek, meraih jalan keluar termudah dari setiap lubang tanah dan akar serta sisa-sisa pakaian yang dibakar. Satu buah truk yang tiba setelah menempuh perjalanan ribuan kilometer, menumpahkan lelaki-lelaki pekerja yang lehernya dilingkari bermeter-meter jerigen berisi minyak sebanyak lima liter. Sepatu dan pakaian mereka yang kumal berhamburan begitu tiba di atas permukaan tanah yang pias. Langit sesekali menumpahkan air demi membersihkan jejak pembawa pasir dan peniup desir perempuan berusia tujuh belas yang melintas sesekali waktu dengan payung transparan berenda yang selalu tahan pada segala macam beban percakapan yang kerap dilontarkan oleh setiap Tuan yang pandai memperbincangkan segala macam jalan. 

Kersen dari balik jendelanya yang tak bertirai kecuali kawat liat yang berjalitan membentuk garis di telapak tangannya yang pekat oleh sekat-sekat yang dibawanya dari beranda serta hamparan tanah di belakang rumah yang memuat ulat-ulat dengan wajah serupa dengan mereka yang berbaris kemudian tiba di bawah setiap ban yang permukaannya tak memiliki perekat. Ban truk tersebut berhenti selama sepuluh menit, sebelum akhirnya berucap pamit. Kepada setiap peladang yang memasang wajah dan kepalanya untuk dijerang di bawah terik dan matahari yang terang benderang. Tiga dari ulat-ulat yang memiliki selaput tersebut kemudian menaiki ban untuk kemudian tiba di permukaan dinding truk bermuatan. Menyelinap pada salah satu punggung, merebah di permukaan lantai, kemudian memasuki salah satu jerigen yang kelak akan mendarat kemudian tiba di salah satu halaman rumah seorang tuan. Kersen menunggui waktu hingga truk tersebut meninggalkan debu dan gerimis di bawah seseorang pemilik alis. Peladang akan kembali menggemburkan tanah dengan tetesan keringat yang aromanya dapat tiba di rongga hidung ribuan ngengat yang masih dalam perjalanan menuju kiamat. Bulir hujan menjadi sarapannya saat lapar, tanpa nampan yang mengejar. Pada siang hari, jika kucing yang ia beri nama dengan nama-nama yang berlainan sesuai musim melintasi dapur hingga menaiki jendela kemudian melompati setiap dahan, Kersen akan menghitung jumlah daun dan tangkai apel yang ditinggalkan oleh pemamah dan pelesat anak panah. Sekali waktu, anak-anak berusia sembilan hingga sebelas tersebut akan melintas dengan kaki yang tak memedulikan alas. Mereka akan tiba dengan membawa suara kereta yang disisakan oleh mimpi yang didapatnya ketika tertidur di samping perapian yang letupannya hampir terdengar seperti deburan. Pada akhir musim panas, seluruh penduduk akan memimpikan hal yang sama dengan setiap pelanduk yang berlari tanpa suara dan luka yang tak terperi. Anak-anak berusia sembilan hingga sebelas tersebut akan memimpikan punggung yang memunggungi dan mangkuk-mangkuk putih yang berhamburan ke langit yang lengkung dan permukaannya memiliki teduh yang gaduh. Punggung-punggung tersebut ditutupi kain berwarna putih yang menawan setiap mata perawan. Mulut mereka hampir saja terbuka, hendak menyampaikan sapaan paling tepat yang biasa mereka dengar sehari-hari, ketika pintu bagian belakang rumah dibuka sebagian. Namun, penduduk yang memiliki waktu tidur siang selama sepuluh menit tersebut menelan sebanyak-banyaknya udara yang berembus pelan di samping setiap telinga yang awas mendengar setiap embusan napas. Ketika terlelap, penduduk kota tersebut tak mampu mengingat setiap nama dan obrolan terakhir yang ditinggalkan di meja makan. 

Kersen, pada akhir musim panas mendapati perapiannya penuh dengan debu berwarna abu-abu. Ia memiliki sejumlah penggaris, kayu, kertas-kertas berisi gambar wajah yang tak memiliki bentuk dagu yang sama dengan pemahat kayu yang pandai melucu. Pemahat kayu tersebut tinggal tiga ratus meter dari ladang dan memasang lampu yang menyerupai lampu seorang nenek tua yang pernah melakukan perjalanan terjauhnya menempuh Tembok Besar China dengan berbanjir peluh. Sambil tertawa, nenek tua tersebut akan memastikan lampu lampion yang dipasangnya telah memiliki cahaya yang cukup untuk menerangi setiap wajah yang tiba untuk melaporkan jumlah lelah setelah menempuh satu musim yang penuh dengan tetirah. Karena mereka bertetangga, pemahat kayu dan nenek tua akan memiliki sempat untuk melanjutkan obrolan tentang jumlah kentang yang permukaan kulitnya masih berwarna kuning dan tanah sisa yang masih bersih. Obrolan tersebut hanya berlangsung selama satu hingga dua menit tanpa salah satu mengangkat dagu. Pemahat kayu akan mempersilakan nenek tua untuk memasuki rumah terlebih dahulu dengan menanggalkan rasa ragu dan perasaan semacamnya yang berlalu untuk sementara waktu. Ia kemudian akan memasuki ruangan kamarnya tanpa membiarkan salah satu lampu yang menempati ruangan tempatnya melihat dan menatapi langit-langit, berpindah ke halaman rumah berpengait. Seperti pada malam-malam sebelumnya, halaman rumahnya tak pernah dihampiri wajah yang lelah ataupun wajah yang merengut karena perasaan bersalah atau kekalahan yang diraih selama perjalanan mengurai berbagai jenis amarah. Setelah pukul dua belas malam atau dua jam sebelumnya, pintu rumah pemahat kayu akan tertutup rapat seperti mulut-mulut yang bekerja dengan melakukan hal yang sama. Dengan segala benda dan peralatan di setiap tangan yang terbuka, menghadap ke arah pejalan yang berjalan dengan kepala menunduk dan mulut terkatup rapat, menatapi setiap akar yang mengurat. 

Kersen pada malam-malam yang gersang, ketika angin berembus dengan pelan dan menggerakkan setiap benda yang ringan dan masam oleh segala gantungan, melepaskan pakaian terluarnya untuk melekatkan kulit lengannya pada tiang berlapiskan api yang berdiang. Nyala api tersebut tersisa setelah musim dingin sebelumnya, salju tak turun dengan melimpah ruah seperti musim dingin sebelumnya yang rimbun. Oleh pemahat kayu dan juga salju yang sebelumnya telah menempuh perjalanan jauh. Agar sampai kepada setiap bongkahan yang membeku pada waktunya, pada waktu-waktu sebelumnya, pada ribuan hari yang lampau, pada setiap kenangan yang digali perlahan dan kisau. Oleh para pelalu yang menyengajakan diri untuk singgah sementara waktu. Setelah ribuan tahun berpindah dari satu kota ke kota lain, dari satu desa ke desa lain, dari setiap jendela ke setiap jendela. Terbahak pada salah satu dinding yang penuh dengan ratapan pemahat yang menyimpan rindu pada salah satu wajah sehingga seringkali mulut mereka terlupa, tertukar ketika harus mengucap dan melafalkan salah satu nama yang berjumlah tak terhingga. Pada salah satu dinding, salah satu pemahat kemudian terbahak karena menemukan namanya dilekatkan oleh seseorang yang punggungnya memiliki derak, yang suara deraknya dapat ia dengar meskipun matanya sedang terkatup rapat dan napasnya sedang demikian tercekat. Ketika mulut dan punggung tersebut berjauhan jaraknya dengan punggung yang lain yang juga berjalan menuju kepulangan masing-masing, hatinya kembali asing. Ia, pemahat dengan tas di punggung dan pakaian hangat yang setiap kancingnya melekat pada setiap lubang yang tak ia permasalahkan ketika salah satunya terlepas ke permukaan jalan yang dipijak, tanah yang dihentak, dan mulut yang telah lama tak berpesta dengan lemak-lemak. Yang tertinggal pada salah satu panci juru masak yang memasak dengan jendela yang terbuka dengan angin yang merdeka mempermainkan setiap tungku yang dimasak dengan bebas pula dari segala macam jadwal dan titah yang harus benar dan tepat waktu seperti ujung kayu yang bercumbu dengan kayu. 

Kersen melekatkan salah satu alas kaki yang terbuat dari kayu yang kayu tersebut pernah tergeletak sekali waktu di halaman musim semi yang meranggas dan masih menyisakan batu cadas. Seseorang membawa wajah seseorang yang lain untuk diperlihatkan, untuk diperkenalkan, sesudah perjalanan yang panjang dan lengang oleh lalu-lalang serta alang-alang. Lampu-lampu, pada pagi hari tak dibiarkan tumbuh meliar seperti sayap belalang dan api yang berkobar sembarang. Di salah satu rumah, seorang perempuan tua asyik masyuk dengan pakaian hangat dan buku harian yang bagian tengahnya memiliki bunga mawar kering yang didapatnya dari seorang penadah buah tangan dan madah. Seseorang menjatuhkan mawar tersebut pada suatu hari, pada suatu waktu, ketika tangannya penuh dengan benda berupa kaca dan pelana kuda. Orang-orang tak diperkenankan lagi menaiki kuda, terlebih pada waktu senja. Buku-buku dibagikan secara cuma-cuma untuk dibuka salah satu halamannya, pada malam hari yang sepi oleh suara belati. Kersen menalukan salah satu alas kaki kayunya dengan alas kaki lainnya yang juga terbuat dari kayu yang melekat di permukaan dinding dan topi yang mengarah ke arah jalan yang permukaannya penuh dengan batu dan alu yang tak lagi digunakan oleh seseorang yang memiliki waktu untuk tergugu pada salah satu waktu. Taluan itu berjumlah satu kemudian dua, lalu tiga, empat, dan seterusnya hingga seorang pemadat di salah satu tempat pembuangan sampah memutuskan untuk minggat. Setelah menghabiskan setengah malamnya dengan menciumi aroma sampah dari bak sampah berwarna biru tua dan tinja yang berleleran setelah dimainkan oleh dua ekor anjing yang ekornya tercelup ke salah satu genangan air kencing seorang perenang. 

Pemadat tersebut merapatkan jaket yang terbuat dari wol seadanya yang kerahnya tak pernah tuntas menutupi lehernya yang tak dapat ditebas. Meski oleh angin dan tamparan yang telah ditabung selama bertahun-tahun. Begitu ia menemukan sebuah sungai yang dapat membuatnya bercermin selama tiga detik, dilompatinya dengan mata yang berat dan penuh dengan kata-kata yang dibawanya dari halaman terakhir tempat ia menghabiskan malamnya untuk terlelap dan merindukan pepohonan para pemantik. Kersen menyanyikan salah satu lagu tentang petani yang lupa jalan pulang dan lumbung-lumbung yang membumbung. Dagunya yang lancip mematuhi aturan untuk terangkat pada waktunya dan merunduk pada waktunya pula. Ia menenggak segala macam udara yang diembuskan oleh gunung, pegunungan dengan tujuh buah gua yang di dalamnya, salah satunya, terdapat pesta sederhana yang dihadiri oleh lima orang remaja yang mempermasalahkan masa depan sebagai sebuah hidangan yang dapat dilahap bersama di atas bongkahan dan juga bejana. Ia memiliki suara yang tak begitu baik, seperti suara mulutnya yang ramai ketika mengunyah salah satu paha ayam yang telah dipotongnya dari satu ekor ayam yang diantarkan oleh seorang anak berusia sepuluh yang kakinya tak beralas dan dahinya penuh dengan peluh. Anak itu meminta dua puluh sen yang kemudian dikabulkan dengan tanpa menyertakan segala bentuk tambahan. Kersen kembali menalukan alas kakinya hingga mulutnya tak lagi memiliki getaran perasaan. Kemudian pada salah satu hujan, Kersen memutuskan untuk menutup harinya dengan membilang tanaman. Salah satu truk pada pukul lima menjelang bata abu-abu terakhir dipancang di tepi sebuah sungai, melontarkan tiga buah keranjang berisi sayur mayur yang bagian tepinya meninggalkan bulatan dan kelokan berbentuk lingkaran mata seorang tua yang pandai menyanyikan sebuah nyanyian. 

Keranjang-keranjang tersebut diletakkan di samping sebuah papan yang pada awal musim panas, berisi foto dan gambar anak-anak berusia lima belas yang masih memiliki mata yang awas. Foto-foto tersebut direkatkan dengan tempelan berupa telapak tangan dan jari seseorang yang wajahnya dapat diingat dan dihafalkan sekelebat bayangan dan embusan angin yang tiba tak untuk melekat sebelum sekarat. Tiga keranjang tersebut berisi sayuran berdaun lebar yang tepinya selalu disambar oleh seorang penyamar yang tiba di pintu kota dengan memasang banyak petuah tentang perahu layar. Laut adalah tempat tidur, alas kaki, permadani berwarna biru yang memiliki jarak terjauh antara ia dengan tepian tempat ia mengendarai keranda berdipan. Kersen tak perlu menaiki tangga demi mendapati aroma laut dan menghitung jumlah burung yang mengepak dan pulang ketika salah satu rumah ibadah yang dihuni oleh seorang tua beserta anaknya yang masih terbata dalam membaca, mengumandangkan sebuah panggilan bagi setiap petidur untuk memasuki setiap pintu terdekat dengan pengantar debur. 

Ia tak memasang atap, juga kursi, cerobong yang tinggi, serta genteng yang memiliki lapisan cat paling baru dan memiliki kilap hingga permukaannya menyerupai belacu. Ia tertidur dengan permukaan dinding yang penuh dengan anyaman dan aroma roti serta remah-remah yang tak pernah berjumpa dengan waktu terbaiknya untuk membusuk di sudut kamar atau dapur yang menyisakan empat pasang dupa. Saat kedua telinganya penuh dengan suara, Kersen akan menoleh ke arah pemanggil, menunggu hingga setiap suara mereda, berjumpa dengan setiap pemapahnya yang sebagian masih menempuh perjalanan dengan menggunakan kereta, kuda, dan kaki yang melepuh di setiap penghujung penatap pelana. Keranjang-keranjang tersebut akan bertahan hingga hari ketiga salah seorang penduduk telah kehilangan minyak yang biasa disimpannya di dalam salah satu gelas yang biasa dipakainya untuk menyalakan lampu ketika sebuah buku tipis dan tua, memintanya untuk segera dibaca. Lamat, Kersen membilang jumlah pendatang yang menganggap sebuah keranjang sebagai sebuah hiasan atau jambang. Seseorang yang lain yang langkah kakinya terdengar ketika ia mendapati mimpi yang tiba sebelum terik, tiba untuk mengambil dua buah kentang yang ditukarnya dengan sebuah bongkahan yang permukaannya memiliki nama yang diukir dengan menggunakan pahatan seorang lelaki yang tak pernah lagi terpejam setelah ribuan tahun kehilangan. 

Lelaki pemahat tersebut telah kehilangan dua anaknya yang menemukan lelap paling panjang dan boneka terlucu dari ribuan boneka yang pernah dimilikinya ketika ruangan di salah satu rumahnya masih memiliki hiasan dan tungku pemasak berbagai jenis makanan. Matanya telah demikian berat oleh kantuk dan syak wasangka tentang nasib dan takdir yang berlompatan di halaman. Lelaki pemahat tersebut kemudian memutuskan untuk membuka pintu rumah dan menyediakan dirinya sebagai penunggu hujan dan ragu yang diurai secara perlahan. Sebagian orang yang tak pernah menghampiri rumah ibadah, pintu-pintu gereja yang dijagai oleh seorang lelaki yang rambutnya selalu basah sebasah telapak tangannya, memercayai bahwa hujan adalah awal dari perjumpaan. Maka, ia bersama seseorang yang lidahnya telah dipangkas oleh seorang lelaki berusia tujuh belas yang matanya tak lagi awas karena bilasan dan lemparan kotoran penunggang kuda betina yang tak memiliki kehendak untuk melawan, membangun dua buah parit yang digunakannya sebagai alat untuk memanggil ribuan hujan serta meriam yang dilesatkan ke sebuah gunung dan bukit yang dipercaya oleh seseorang sebagai tempat penyimpanan harta karun. 

Kersen menjadi salah satu yang menghitung jumlah peluh yang diteteskannya selama membangun parit di halaman. Lelaki pemahat tersebut mengunci mulut dan bibirnya dengan sebuah perekat. Satu hari sebelumnya, perekat tersebut ditemukannya di salah satu perlintasan yang menghubungkan dua buah rumah yang dihuni oleh dua orang perempuan yang wajahnya hampir serupa. Perempuan tersebut memiliki senyuman bulan sabit dengan kedua pipi yang juga menyerupai bulan ketika ia masih purnama di salah satu cawan seorang pengandai awan. Bulan sabit tersebut dihidangkan di atas sebuah meja yang mempertemukannya dengan orang-orang, yaitu lelaki, yang juga pernah mendapati seseorang yang biasa ditemukannya ketika seseorang yang lain sedang memindahkan tepung ke dalam mangkuk besar yang terletak di atas sebuah meja yang bersampingan dengan botol-botol berisi bedak. Seseorang kemudian memindahkan bulan sabit di wajahnya ke dalam salah satu mangkuk terbesar yang dibuat ketika Kersen masih membilang jumlah sayuran dalam tiga buah keranjang tanpa belah. Perempuan paling tua dengan dua buah tahi lalat di pipi kanan menjadi penduduk paling akhir yang menepuk dada ketika sebuah batang cabai ditemukannya di dalam keranjang yang tak terdapat kaca dan bongkahan bata. Perempuan tua tersebut, setelah mendapati cabai di dalam keranjang, kemudian berlari secepat anak burung yang belum berjumpa dengan induk semang. 

Ia berjalan kemudian terbang, melintasi gundukan tanah yang dipakai penduduk untuk menimbun mayat-mayat yang tergeletak di sebuah jalan, di samping sebuah rumah, di tepian sebuah sumur, di sebuah tanjakan menuju puncak sebuah gunung berisi harta karun, dan di dalam sebuah kolam yang permukaan airnya dapat memantulkan wajah salah satu Narcissus yang lengang berjalan tanpa penutup kepala dan bongkahan di salah satu dada. Pada salah satu pohon, perempuan tua tersebut akan hinggap untuk menghitung jumlah atap yang masih memiliki jendela dengan lampu menyala. Jika perempuan tua tersebut mendapati salah satu jendela dengan sebuah kepala menghadap ke arah salah satu pohon yang memiliki jarak terdekat dengan rawa-rawa, mulutnya akan menganga untuk mengeluarkan sebuah teriakan yang lebih mirip dengan sebuah jeritan. Rambutnya yang panjang hingga betis, juga putih seperti daging ikan, akan menebarkan semilir, tertiup angin, kemudian tiba pada salah satu wajah seorang perempuan yang memiliki wajah serupa Kersen yang malam harinya ia gunakan untuk menghiasi salah satu halaman. Dengan satu atau dua buah kisah yang didapatnya dari seorang perempuan yang sekali waktu melintas dengan membawa mulut dan lidah yang mendesah. Helaian rambutnya yang rapuh akan terjatuh kemudian tertinggal dalam salah satu paha seorang lelaki tua, pelamun, yang tak lagi memiliki jadwal untuk terlelap dan terbangun pada waktu yang sama demi menghitung jumlah lap. Helaian rambut yang terjatuh diperlakukannya seperti obrolan seseorang yang melintas sekali waktu ketika seseorang, anak kecil, sedang tergugu sembari menatapi orang melucu. 

Orang yang pandai melontarkan hal-hal lucu adalah ia yang memiliki rimbun rambut di bawah lubang hidung yang biasa dipakainya untuk mengumpulkan sebanyak-banyaknya udara. Orang-orang semacam itu melintas sekali waktu, tak untuk saling bertemu, terlebih lagi menunggu. Ia dengan lawakannya tentang buah di sebuah pohon paling tinggi di kota itu akan segera memunggungi setiap pelalu dan penunggu untuk tiba di sebuah rumah dengan dinding dan pintu berwarna cokelat pekat. Lelaki tersebut selalu menutup pintu rumahnya dengan pelan hingga perempuan yang dinikahinya ketika seorang penganyam menemukan bongkahan emas seberat satu kilogram dalam sebuah vas bunga dengan diameter selebar langkah kaki anak terakhirnya, tak pernah menyadari kedatangan dan wajahnya. Sebagian penduduk, ketika dikabari tentang emas dan vas bunga, menghabiskan waktunya dengan mengumpulkan banyak air dan menyediakan ruang yang luas di belakang rumah demi menampung air hujan yang masih dalam perjalanan. Hujan kemudian tak pernah turun. Meski seorang anak yang matanya masih putih dan belum pernah dipertemukan dengan tubuh-tubuh yang berjalan dan menari tanpa pakaian di tubuhnya, mendapatkan rayuan dari ibu yang melahirkannya untuk mengeluarkan tangisan paling pilu ke arah setiap kepala yang berlalu. Langit berubah biru pekat kemudian biru muda, sesekali putih bersih dengan awan tipis setipis bibir ibu yang melahirkannya tanpa haru di dada. Anak kecil tersebut hanya mampu meneteskan air mata sebanyak satu liter yang kemudian dipindahkannya ke dalam botol yang semula berisi air susu yang diperahnya dengan sambil memaki dinding yang terdapat empat buah wajah tanpa rambut dan telinga. Empat buah wajah tersebut ditemukannya ketika ia terbangun dari tidur dengan wajah penuh air liur dan telapak tangan anak yang mengecap nama ibu yang melahirkannya tiap kali hendak terlelap tanpa sempat membasuh tubuh dengan air pembasuh. 

Perempuan tua di atas pohon, setelah merasa cukup dengan helaian yang dijatuhkannya, kemudian menempuh malam harinya dengan hinggap ke pohon yang lebih rendah, sampai akhirnya ia tiba di permukaan tanah merah. Karena perutnya belum sempat diisi oleh makanan, maka tanah menjadi santapan. Ia melahap setiap tanah beserta butirannya dan remah-remah yang bergumul untuk menjadi batuan tumpul. Ketika lelaki dengan rambut rimbun di bawah lubang hidungnya membanting pintu belakang rumahnya dengan kegaduhan yang dapat membangunkan pelamun dan penduduk yang memiliki kegemaran untuk menawan, perempuan tua tersebut mengeluarkan sendawa ke arah hamparan. Dengan cepat, ia melesat kemudian tiba pada undakan dengan tangga yang terbuat dari bebat yang diikat dan melekat begitu kuat. Ia menghilang dengan alang-alang tertiup angin dan tangisan tentang hujan yang tak kunjung tiba di buaian. Kersen kemudian menunggu hingga hujan tiba pada salah satu halaman seorang peladang yang menanam akar pada akhir petang dengan biji-biji yang diletakkan di atas atap pada pukul delapan pagi ketika bidadari yang terlelap di atas karpet sedang mengembangkan senyum yang menawan. Ia menanam tiga pot bunga berwarna kuning yang diletakkan di samping jendela dengan bingkai terbuat dari kertas ampas. 

Lelaki paling tua di kota itu yang usianya memasuki angka sembilan puluh delapan, memiliki tumpukan kertas surat kabar yang pernah dibelinya ketika tinggi tubuhnya memiliki ketinggian yang sama dengan pohon yang tertanam di halaman rumah yang menghadap ke arah sungai dan barisan anak berusia tujuh yang mulutnya selalu ramai dengan seringai. Saat itu, minuman yang ditenggaknya pada pagi hari adalah teh yang diendapkan selama satu malam dalam sebuah teko kaleng yang akan menimbulkan kegaduhan tiap kali benda tersebut terjatuh di permukaan lantai seusai dipakai. Teh tersebut dipetik oleh seorang perempuan tua yang adalah ibu yang telah melahirkannya dengan aroma teh menyengat hingga lubang hidung menjulang. Perempuan yang melahirkannya memiliki kebiasaan memetik daun teh yang terletak sekitar ratusan meter dari pintu rumah yang terbuat dari kayu dan potongan alu. Pintu yang dilintasinya pada setiap hari itu, memiliki ketinggian kurang dari dua meter dan lebar sebanyak dua puluh jengkal jemari tangannya yang sekali waktu pernah dipakai menari. 

Lihat selengkapnya